Menuju konten utama

Blunder Iklan yang Mendukung Pelecehan dan Rasisme

Sepatu Jimmy Choo diiklankan dengan menampilkan catcalling sebagai kewajaran. Di sisi lain, pariwara H&M menyiratkan rasisme.

Iklan rasis H&M. FOTO/AP

tirto.id - Sepatu itu bernama Maine 100 dan dibanderol dengan harga sekitar 25 juta rupiah. Bentuknya boots dengan bahan suede yang diberi taburan kristal tiga dimensi pada seluruh permukaan sepatu, termasuk bagian hak. Jimmy Choo, lini sepatu pencipta benda ini, menyebutnya sebagai sebuah kebaruan bagi desain boots klasik yang sesuai dengan para penggemar disko.

Pernyataan yang tertera di keterangan produk pada situs resmi Jimmy Choo selaras dengan iklan bertajuk Shimmer in The Dark yang disebarluaskan pada akhir tahun lalu.

Dalam iklan terdengar iringan musik disko yang seirama dengan langkah kaki Cara Delevigne, model iklan. Di tayangan itu, Cara yang mengenakan sleek dress mini berjalan seorang diri di malam hari menuju tempat bernama I Want Choo. Sepanjang jalan, beberapa orang menoleh padanya. Seorang pria berjas menatap Cara sampai ia mesti berbalik badan. Setelah itu, pria berkulit hitam bersiul kemudian memuji sepatu Cara. Demikian pula dengan pria penjual makanan yang ada di sudut jalan. Seusai memberi masakannya pada Cara, ia berteriak “It’s a great shoes!” Melihat respons mereka, Cara melemparkan senyum.

Kenyataannya senyuman itu hanya tampak pada layar kaca. Beberapa waktu setelah iklan disiarkan, netizen memberi komentar tentang iklan tersebut. Mashable mengutip sejumlah komentar terhadap iklan.

“Saya sangat tidak setuju dengan keputusan Cara Delevigne dan Jimmy Choo menggunakan #sexualharassment untuk menjual sepatu,” anggapan lain menyebutkan, “Saya sedih melihat Cara menerima tawaran untuk membintangi iklan buruk dan regresif ini.”

Beberapa waktu kemudian, Jimmy Choo menghapus link iklan dari akun Twitter resmi. Kepada Business Insider, pihak brand tidak langsung merespons permintaan konfirmasi tentang iklan ini. Sampai sekarang, Shimmer In The Dark masih bisa dilihat di akun Facebook Jimmy Choo.

Wulan Danoekoesoemo, salah satu pendiri Lentera Sintas Indonesia, yayasan yang bergerak untuk membantu advokasi dan pemulihan korban kekerasan seksual, menyebut bahwa catcalling ialah salah satu jenis kekerasan seksual yang kerap terjadi tetapi paling jarang dilaporkan.

“Belum banyak orang yang datang pada kami untuk melapor bahwa dirinya mengalami street harassment. Walaupun kita sudah sama-sama tahu bahwa kota ini belum ramah bagi para pejalan kaki perempuan, masih agak sulit untuk mendata tindakan tersebut di Indonesia, “ kata Wulan yang satu tahun terakhir menggagas kampanye #maribicara untuk meningkatkan kesadaran publik tentang kekerasan seksual.

Artikel berjudul "The Sexual Objectification of Girls and Aggression Towards Them in Gang and Non-gang Affiliated youth" menyebut bahwa tayangan yang tersebar di media massa punya korelasi positif dengan obyektifikasi terhadap perempuan. The Telegraph menyebutkan bahwa 90 persen perempuan di Inggris pernah mengalami pelecehan di jalanan. Di Amerika Serikat, 72 persen wanita pernah mengalami kejadian tersebut. Di Afrika Selatan, 80 persen wanita pernah mengalami kekerasan seksual di jalan.

Stop Sexual Harassment menyebutkan beberapa jenis kekerasan seksual selain catcalling yang bisa termasuk dalam street harrasment. Hal tersebut termasuk pandangan, siulan, penguntitan, tindakan menghalangi jalan, menyentuh bagian tubuh, dan masturbasi.

Sembilan puluh lima persen wanita pernah menjadi korban dari pandangan yang tak menyenangkan. Begitu pun halnya dengan siulan. Tujuh puluh lima persen wanita pernah diikuti oleh orang tak dikenal. Enam puluh dua persen wanita mengaku pernah dihalangi jalannya oleh pria.

Tirto berbincang dengan Yuswo Hadi, pengamat branding. Ia menceritakan pendapatnya bahwa di zaman sekarang saat semua orang bisa menjadi publisher, perhatian dari konsumer menjadi hal yang sulit didapatkan. Viral menjadi salah satu cara yang dipercaya bisa mencuri perhatian.

“Bayangkan, agar seluruh dunia tahu tentang sebuah produk, berapa yang harus dibayar oleh suatu brand? Membuat sesuatu yang positif, kreatif dan viral tidak semudah itu. Oleh karena itu sejumlah brand terkadang memilih untuk menanggung risiko dengan menyerempet topik sensitif yang diharapkan dapat mencuri perhatian. Tetapi harusnya mereka ingat bahwa ada batasannya,” kata Yuswo.

Di tahun 2017, Jimmy Choo bukan satu-satunya brand yang mendapat komentar-komentar miring dari publik tentang ilklannya. Baru-baru ini H&M menyatakan permintaan maaf kepada publik lantaran munculnya iklan sweater anak bertuliskan Coolest Monkey In The Jungle.

Dalam iklan, sweater hijau tersebut dikenakan oleh seorang anak berkulit hitam. Sejumlah pihak merasa tersinggung akan hal ini. Penyanyi The Weekend memuat protesnya pada akun Twitter. Ia menyatakan terkejut, malu, dan merasa disindir oleh iklan tersebut. Ia berkata dirinya enggan bekerjasama dengan H&M. Lini tersebut mengungkap permintaan maaf. Mereka berkata bahwa akan menarik produk tersebut dari pasaran.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/01/17/kontroversial-agar-viral-rev1-01_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik Kontroversial Agar Viral" /

Beberapa bulan sebelum kejadian H&M, Dove menuai protes lantaran iklannya dianggap rasis. Iklan sabun tersebut memuat gambar wanita berkulit hitam yang mengenakan baju cokelat. Gambar bergerak menunjukkan aksi wanita kulit hitam membuka kausnya, setelah membuka kausnya, sosoknya berubah menjadi wanita berkulit putih.

Dove menyatakan permintaan maafnya. Juru bicara brand tersebut berkata sebenarnya iklan bertujuan untuk memberi gambaran Dove sebagai sebuah produk yang bisa digunakan oleh semua kalangan wanita. Tetapi kesalahpahaman terjadi.

“Kata maaf selalu diikuti dengan misi, filosofi, dan idealisme produk. Secara tidak langsung, ungkapan ini bisa jadi meningkatkan kembali awareness orang dengan brand. Saya rasa brand besar pasti bisa memperkirakan dampak yang ditimbulkan dari sebuah iklan. Mereka sudah mempertimbangkan skenario dan crisis management,” lanjut Yuswo.

Ia mengingat tentang sebuah brand yang sanggup mendukung kampanye mendukung isu sosial tetapi dikemas dengan baik. Tetapi tentang sejumlah iklan yang muncul ketika orang mengampanyekan gerakan sejenis #MeToo dan anti-rasisme, Yuswo menyebut sejumlah brand telah melakukan, “Eksperimen yang tidak baik.”

Baca juga artikel terkait RASIALISME atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani
-->