Menuju konten utama

Black Marketplace Lahir untuk Melawan Rasisme di Industri Mode

Muncul gelombang kelahiran sejumlah marketplace yang dikelola dan diperuntukkan untuk kelompok kulit hitam. Upaya meruntuhkan rasisme di dunia mode.

Black Marketplace Lahir untuk Melawan Rasisme di Industri Mode
Ilustrasi marketplace fesyen kelompok kulit berwarna. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kala gerakan Black Lives Matter (BLM) memanas pada 2020 kemarin, industri fesyen ikut terseret dalam pusarannya. Pasalnya, industri fesyen sudah lama dikenal sebagai industri yang kental dengan rasisme sistemik. Kelompok kulit hitam seringkali menghadapi tantangan dan kesulitan untuk bisa berkembang dalam industri ini.

Oleh karena itu, BLM kemudian turut menerbitkan dukungan kuat bagi para pelaku fesyen kulit hitam. BLM memicu ruang diskusi, perdebatan, dan perbincangan mengenai inklusifitas di ranah fesyen.

“Kelompok kulit hitam adalah titik fokus pada banyak percakapan dan inspirasi fesyen. Oleh karena itu, seharusnya ada ruang aman bagi desainer kulit hitam agar mereka juga punya kesempatan berkembang dalam industri ini,” kata Edvin Thompson, desainer kelahiran Jamaika pemilik label Theophilio, kepada them.

Teen Vogue mencatat, bisnis milik kelompok kulit hitam mengalami lonjakan konsumen setelah mekarnya gerakan BLM. Pada Juni 2020, pencarian di Google untuk bisnis milik kulit hitam mencapai popularitas tertingginya di Amerika Serikat. Khalayak pun turut memberi dukungan dan mengangkat pembicaraan terkait komunitas kulit hitam di media sosial.

Itu jelaslah sebuah kabar yang menggembirakan, mengingat kuantitas badan usaha milik kelompok kulit hitam sempat mengalami penurunan sebesar 41 persen pada periode Februari-April 2020.

Gerakan BLM juga memicu berbagai upaya untuk melawan rasisme sistemik yang sudah mengakar dalam industri fesyen. Council of Fashion Designers of America (CFDA), contohnya, mengeluarkan pernyataan untuk mempekerjakan talenta kulit hitam di setiap sektor bisnis fesyen pada 1 Juni 2020 lalu. Penyataan itu lantas diikuti berdirinya Black in Fashion Council yang digagas oleh Lindsay Peoples Wagner dan Sandrine Charles.

Sementara itu, dari segi bisnis, muncul gelombang kelahiran sejumlah blackmarketplace yang digagas, dikelola, dan khusus menjual produk fesyen dari para desainer kulit hitam. Lokapasar khusus itu dimaksudkan untuk mempermudah para pebisnis kulit hitam untuk memasarkan produk fesyennya.

Lokapasar Kulit Hitam

Lokapasar yang dimiliki oleh komunitas kulit hitam sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Ada nama-nama terkenal, seperti Inkloo, Geenie, dan Amp Beauty LA, yang sudah jamak dirujuk sebagai lokapasar untuk produk kosmetik dan busana. Tak sekadar menangguk profit, mereka juga membawa semangat dan nilai-nilai antirasisme.

Belakangan, ada dua lokapasar yang naik daun: Black Fashion Fair dan Black Owned Everything.

Black Fashion Fair (BFF) dibangun oleh Antoine Gregory dan rilis pada akhir 2020 lalu. BFF dibangun untuk menonjolkan karya para desainer kulit hitam.

Gregory adalah pengarah gaya dan konsultan kreatif jebolan Fashion Institute of Technology (FIT). Dia mulai memikirkan ide membuat sebuah platform pada 2015. Dia menyadari, hanya ada segelintir mahasiswa kulit hitam di FIT. Lalu, dia juga sering mendapati dirinya adalah satu-satunya orang kulit hitam di beberapa perusahaan fesyen tempatnya bekerja.

Selain itu, Gregory juga menyadari bahwa representasi desainer kulit hitam sangatlah kurang dalam agenda mode New York. Keresahan itulah yang kemudian memantapkan dirinya menginisiasi BFF pada 2018.

Bagi Gregory, BFF bukanlah sekadar platform untuk menjual produk dari label milik desainer kulit hitam. BFF juga dirancang sebagai ruang untuk pertukaran konsep, edukasi, dan tempat para desainer kulit berwarna berbagi pengalaman kulturalnya. Jadi, BFF sekaligus berperan mendekatkan sistem industri mode ke komunitas kulit hitam yang sebelumnya terkucilkan.

Situs BFF sendiri dibuat untuk menjadi basis data daring yang menampung semua nama desainer kulit hitam berbakat, dari yang sudah mapan sampai yang baru memulai karir.

Saat pandemi berlalu nanti, BFF berencana menggelar berbagai acara, mulai dari pameran fesyen hingga lokakarya. BFF juga akan menyisihkan 15 persen pendapatannya untuk mendukung program beasiswa, bimbingan, dan magang bagi kelompok kulit hitam di industri ini.

“Saya ingin membuat infrastruktur dan jaringan untuk para desainer kulit hitam. Tidak hanya dalam ranah mode, tapi juga untuk mereka yang berkecimpung di bidang desain produk, desain interior, furnitur, atau bahkan arsitektur. Pokoknya, semua industri yang jarang memiliki representasi kulit hitam," tutur Gregory.

Black Owned Everything (BOE) yang digagas oleh desainer Zerina Akers juga memiliki semangat serupa. BOE sendiri rilis tak seberapa lama setelah BFF, yakni pada 12 Februari 2021.

“Saya menyadari perlunya ruang ritel bagi label adibusana milik kelompok kulit hitam agar mereka bisa menjangkau pasar global,” kata Zerina kepada Teen Vogue. “Saya berharap, BOE mampu memberdayakan para kreator kulit hitam dan menjadi wadah inspirasi.”

Ide membangun BOE tercetus saat Zerina menemukan sejumlah label fesyen milik komunitas kulit hitam yang berkualitas, tapi minim dukungan dan publisitas. Sebelum BOE diwujudkan, Zerina mempromosikan label-label tersebut melalui laman Instagram pribadinya dan meminta pengikutnya menilik produk mereka.

“Saya menciptakan ruang ini tidak hanya untuk menyadarkan orang-orang betapa beragamnya kita, tapi juga untuk melihat berbagai hal melalui perspektif yang berbeda,” kata Zerina seperti dikutip Teen Vogue.

Infografik Marketplace Fesyen Kelompok Kulit Berwarna

Infografik Marketplace Fesyen Kelompok Kulit Berwarna. tirto.id/Quita

Pentingnya Representasi

Dalam sebuah wawancara dengan Vogue, Gregory mengungkapkan bahwa representasi adalah satu hal yang penting untuk melawan rasisme sistemik di industri mode. Representasi akan membawa perubahan.

“Pengalaman masa kuliah dan kerjaku di industri fesyen akan berbeda dan menjadi lebih baik jika aku melihat lebih banyak orang kulit hitam sepertiku. Tapi, aku hampir tidak pernah melihatnya sehingga aku menjadi versi diriku yang bukan sebenar-benarnya,” katanya kepada Vogue.

Maka Gregory berupaya mewujudkan representasi itu dengan membangun BFF. Dia memberikan visibilitas bagi semua orang dari berbagai level dan peran yang berbeda di industri ini.

"Satu-satunya cara yang benar-benar mangkus untuk membuat perubahan penting adalah dengan memiliki representasi di semua level dalam industri fesyen. Itulah yang ingin saya wujudkan dalam Black Fashion Fair,” terang Gregory sebagaimana dikutip Bazaar.

Kebanyakan orang cenderung lebih mengenal nama label atau merek dibanding nama desainer kulit hitam. Menurut Gregory, kecenderungan inilah yang menempatkan kelompok kulit hitam dalam bayang-bayang industri. Kontribusi dan nama mereka dapat dengan mudah dilupakan dan dihapuskan.

Gregory mengatakan kekhawatiran ini sudah terbukti dengan hilangnya beberapa desainer kulit hitam dalam pembicaraan di kancah mode global. Keresahan itu mendorong Gregory membuat utas Twitter tentang nama-nama para desainer kulit hitam yang dimulainya pada 2016.

“Saya memperbaruinya selama bertahun-tahun,” katanya seperti dikutip Essence. “Kucatat nama, merek, dan situs web mereka karena sering kali kita mengenal desainer berdasarkan mereknya. Menurutku, desainer kulit hitam pantas dikenal dengan namanya."

Gregory juga menerapkan hal yang sama pada katalog BFF. Gregory dengan sengaja mendaftar nama-nama desainer kulit hitam berdasarkan nama asli mereka, bukan label atau merek milik mereka. Dengan begitu, Gregory berharap para pelaku industri mode dan publik mengingat dan lebih terbiasa dengan nama-nama desainer kulit hitam.

Jadi, ketika seseorang menyebut merek-merek, seperti Pyer Moss, Brother Vellies, dan Hanifa, publik juga mengingat Kerby Jean-Raymond, Aurora James, dan Anifa Mvuemba.

Baca juga artikel terkait FESYEN DESAINER atau tulisan lainnya dari Hasya Nindita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Hasya Nindita
Editor: Fadrik Aziz Firdausi