tirto.id - Pada 1981, Mochtar bersama Sudono Salim (Liem Sioe Liong) membeli 49 persen saham Bank Perniagaan Indonesia (BPI). Lalu, pada 1985, BPI dan Bank Umum Asia merger menjadi Bank Lippo. Setahun sebelum membeli saham BPI, Mochtar juga sudah memperoleh lisensi untuk menjalankan perusahaan asuransi jiwa yang kemudian dia namakan Lippo Life.
Pada 1980-an, bisnis asuransi belum menjanjikan. Capaian Lippo Life saat itu diakui Mochtar dalam biografinya, My Life Story (2016), jauh di bawah tiga perusahaan yang mendominasi bisnis asuransi jiwa: PT Jiwasraya, PT Asuransi Jiwa Bumiputera, dan produk asuransi jiwa keluaran Bank Central Asia (BCA)—bank milik Sudono Salim.
Namun, Mochtar menemukan jurus baru untuk memasarkan produk asuransi jiwa Lippo Life. Mochtar meminta seluruh pegawai Bank Lippo untuk menyarankan nasabah banknya membeli Warisan, produk asuransi jiwa Lippo Life. Cara ini belum pernah dilakukan perusahaan asuransi jiwa di Indonesia saat itu.
Agar Lippo Life dan Bank Lippo sinergis, Mochtar menjanjikan bonus bagi pegawai Bank Lippo yang turut mempromosikan Warisan dan mendirikan kantor Lippo Life di cabang-cabang Bank Lippo. Mochtar juga mengangkat Billy Sindoro, yang saat itu menjabat kepala beberapa cabang Bank Lippo, sebagai direktur manajer Lippo Life sekaligus Kantor Manajemen Cabang Bank Lippo. Di dunia perbankan, Billy mengawali kariernya sebagai auditor di BPI dan Bank Umum Asia.
Setelah tiga tahun menjalankan strategi itu, seperti diungkap Mochtar dalam biografinya, Lippo Life terus berkembang dan menyaingi dua perusahaan jiwa lainnya. Hasil tersebut juga tidak lepas dari peran Billy.
"Keputusan yang saya buat telah merancang tahapan kesuksesan kami, tetapi itu juga hasil kerja keras Billy Sindoro dan pegawai Bank Lippo dan Lippo Life yang mengarahkan kami untuk mendapatkan keberhasilan itu," ujar Mochtar.
Billy Melesat lalu Meleset
Karier Billy terus menanjak. Sekarang, dia menjabat sebagai direktur operasional Lippo Group. Namun, dalam sepekan terakhir, apa yang dilakukan Billy justru mengguncang perusahaan yang namanya bermakna "harta kekayaan" tersebut.
Pada Selasa (16/10/2018), KPK menahan Billy sebagai tersangka dugaan suap kepada Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin untuk memuluskan perizinan proyek hunian Meikarta.
Bukan cuma penahanan Billy yang mengguncang Lippo Group. Tiga hari sebelum Billy terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Senin (15/10/2018), Eddy Sindoro, adik Billy, dibekuk KPK di Singapura.
Eddy ditetapkan sebagai tersangka sejak 23 Desember 2016. Kasusnya: dia menyuap panitera di PN Jakarta Pusat Edy Nasution sebesar Rp150 juta untuk menunda proses "aanmaning" atau peringatan eksekusi PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL). MTP dan AAL merupakan anak perusahaan Lippo Group.
Pada sesi penutupan Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (15/10/2018), saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) turun sebesar 14,77 persen. Saham pengembang Meikarta tersebut menjadi sebesar Rp1.385 per saham dari semula Rp1.625 per saham pada sesi pembukaan hari itu. Sedangkan saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) terkoreksi sebesar 2,68 persen, menjadi Rp290 per saham.
Sehari berikutnya, saham LPCK semakin anjlok. Pada Selasa pukul 09.30, saham LPCK mencapai titik terendah sejak Januari 2018, yakni senilai Rp1.150 per saham. Begitu juga saham LPRK pada jam itu mencapai titik terendah sejak Januari 2018, yakni senilai Rp262 per saham.
Kedua saham perusahaan Lippo Group tersebut naik sedikit, tapi belum menyamai nilai sebelum Billy terjaring OTT KPK. Pada sesi penutupan BEI Rabu (17/10/2018), nilai LPCK sebesar Rp1.315 per saham, sementara LPKR senilai Rp286 per saham.
Nyatanya, suap merupakan kasus yang paling banyak ditangani KPK. Catatan akhir tahun 2017 yang dirilis KPK menyimpulkan ada 93 perkara suap yang ditangani KPK pada 2017. Jumlah ini meningkat dari 79 kasus pada 2016.
Modus suap pun tidak hanya dilakukan para pebisnis semacam dua petinggi Lippo Group di atas, tetapi juga oleh politikus yang masih bertalian darah.
Ratu Atut, eks gubernur Banten, divonis penjara 4 tahun dan denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan karena terbukti menyuap Akil Mochtar terkait Pilkada Lebak 2014. Saat itu, Akil merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menangani sengketa pilkada tersebut. Adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan, juga terlibat perkara serupa. Wawan divonis 5 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Di tingkat kasasi, hukuman Wawan diperberat: 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Suap Widjojo Bersaudara
Aksi suap yang dilakukan Billy dan Eddy juga membuka ingatan kasus suap yang melibatkan kakak-adik pebisnis, Anggodo Widjojo dan Anggoro Widjojo, hampir satu dekade silam.
Anggoro, yang saat itu menjabat direktur PT Masaro, menjadi tersangka sejak 19 Juni 2009 karena diduga menyuap mantan Ketua Komisi IV DPR Yusuf Emir Faisal dengan uang 60 ribu dolar Singapura dan Rp75 juta guna mendapatkan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT).
Kompas (30/7/2009) melaporkan, pada 12 Februari 2007, Komisi IV DPR mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah memaksimalkan penggunaan SKRT yang nilai investasinya sejak 1991 mencapai Rp2 triliun. PT Masaro diminta menambah peralatan supaya SKRT dapat digunakan. Namun spesifikasi peralatan tersebut bertarikh 2002 dan harganya ditentukan PT Masaro.
Gelagat persekongkolan PT Masaro dan Yusuf Emir sebenarnya sudah dicium KPK setahun sebelumnya. Menurut Kompas (20/8/2009), pada 29 Juli 2008, KPK menggeledah kantor PT Masaro yang terletak di Jalan Talang Betutu, Jakarta Pusat terkait kasus korupsi alih fungsi lahan hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api di Sumatra Selatan.
Namun, penggeledahan Juli 2008 itu berbuntut lain. Adik Anggoro, Anggodo Widjojo, menghubungi pimpinan KPK Ari Muladi pada 30 Juli 2008. Direktur PT Saptawahana Mulia itu meminta dipertemukan dengan penyidik atau pimpinan KPK. Tujuannya agar KPK tidak melanjutkan proses hukum yang melibatkan kakaknya. Ari Muladi menyetujui permintaan itu.
Berdasarkan catatan Jejak Kasus KPK, Ari Muladi menyampaikan kepada Anggodo pada 8 Agustus 2008 bahwa uang untuk pimpinan KPK yang mencakup Bibit Samad Rianto, Mohammad Jasin, dan Bambang Widaryatmo serta para awak media berjumlah Rp3,75 miliar. Anggoro menyerahkan sejumlah uang pada 11 Agustus 2008, Rp400 juta pada 12 November 2008, dan Rp1 miliar pada 13 Februari 2009 kepada Ari Muladi.
Pada 26 Juli 2009, Anggoro diketahui pergi ke Singapura. Padahal, dia sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 9 hari sebelumnya karena dua kali mangkir dari panggilan KPK. Sementara Anggoro buron, sang adik ditahan KPK pada 14 Januari 2010. Anggodo kemudian dijatuhi pidana 6 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada tahap banding, Pengadilan Tinggi Jakarta meringankan pidana Anggodo: 5 tahun penjara dan dendar Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan. Namun, Pada Maret 2011, Mahkamah Agung RI menolak permohonan kasasinya dan menjatuhkan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta atau pidana kurungan selama 5 bulan.
Anggoro baru bisa ditangkap di Zhenzhen, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) lima tahun kemudian, yakni pada Januari 2014. Lalu, pada Juni 2014, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 2 bulan kurungan.
Kasus yang membelit Anggoro tersebut merupakan pemicu konflik KPK versus Polri berjuluk "Cicak versus Buaya". Istilah tersebut pertama kali disebut Kabareskrim Polri Susno Duadji untuk menggambarkan adanya persaingan antara KPK dan Polri.
Pada Juli 2009, dua wakil ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri karena diduga menerima aliran suap dari Anggoro dan menyalahgunakan kewenangan saat mengeluarkan keputusan cegah kepada Anggoro berpergian ke luar negeri.
Sebelumnya, Susno merasa disadap KPK terkait aliran dana Rp10 miliar dalam penanganan kasus Bank Century.
Pemutaran rekaman pembicaraan antara Anggodo, petinggi Polri, dan Kejaksaan membuktikan bahwa Bibit dan Chandra tidak bersalah.
Editor: Ivan Aulia Ahsan