Menuju konten utama

BI Turunkan DP KPR, REI: Harusnya Jangan Dipukul Rata

REI menilai kebijakan penurunan DP kredit KPR harusnya tidak dipukul rata ke semua daerah.

BI Turunkan DP KPR, REI: Harusnya Jangan Dipukul Rata
Sejumlah pekerja mengerjakan bagian atap bangunan perumahan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (17/1). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat hingga 30 Desember 2016, jumlah capaian program satu juta rumah mencapai angka 805.169 unit, jumlah itu meningkat dibanding tahun 2015 yang mencapai sekitar 699.770 unit rumah. Sementara, Kementerian PUPR optimis target satu juta rumah bisa tercapai pada tahun 2017. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/foc/17.

tirto.id - Kebijakan Bank Indonesia untuk kembali memangkas syarat besaran uang muka alias down payment (DP) kredit properti rata-rata sebesar lima persen dianggap kurang sesuai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Wakil Ketua Umum DPP REI bidang Pertanahan Adri Istambul Lingga Gayo mengatakan, sebaiknya Bank Indonesia melakukan maping sebelum mengambil kebijakan yang akan direalisasikan pada 2 Desember 2019 itu.

Adri juga menilai, kebijakan tersebut sebaiknya dilakukan di beberapa kawasan tertentu. Misalnya, untuk beberapa kawasan yang memiliki permintaan kredit tinggi. Beberapa kota yang disebut Adri diantaranya yaitu Bandung, Surabaya sampai kawasan Jabodetabek.

"Itu tidak bisa pukul rata semua. Dilihat di mana memang di tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi ya kan daerah daerah yang memang produktif kan ya. Misalnya Jabodetabek, Surabaya, Bandung kan atau daerah yang memang kebutuhan backlog perumahannya masih dibutuhkan," katanya kepada Tirto, Jumat (20/9/2019).

Ia menilai, pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah di Indonesia berbeda-beda. Hal tersebut tentu akan membuat masyarakat yang mengambil kredit rumah akan berat. "Pertumbuhan ekonomi di satu daerah itu kan tidak sama," tuturnya.

Sebab, jika DP diturunkan, maka nilai cicilan akan dibuat lebih mahal. Sementara cicilan kerap kali naik turun mengikuti suku bunga yang sering kali naik daripada turun.

Kondisi ini tentu ke depan akan memberatkan masyarakat yang memiliki pendapatan tetap atau karyawan-karyawan yang kenaikan gajinya tak secepat pertumbuhan bunga kredit properti.

"BI kan memiliki data, sehingga BI harus juga memetakan," terangnya.

Jika pemetaan tersebut tidak dilakukan, Adri khawatir strategi pemerintah yang tadinya ingin menggenjot konsumsi rumah tangga melalui permudahan DP kredit properti malah akan meningkatkan Non Performing Loan (NPL) alias kredit macet.

"Ini kan dengan DP rumah yang turun kan berarti cicilannya yang bertambah. Kalau dia income-nya tetap, kemudian suku bunganya naik ini akan berbahaya," tandasnya

Sebagai informasi sebelumnya, melalui pelonggaran LTV ini, mulai 2 Desember 2019, syarat rasio uang muka untuk rumah tapak dengan tipe di atas 70 meter persegi sebesar 15 persen dari harga nilai rumah tersebut, dibanding sebelumnya yang sebesar 20 persen.

Sejak awal tahun, BI selalu menembakkan stimulus terhadap sisi pasokan kredit perbankan dengan melonggarkan likuiditas. Kini, BI membidik sisi permintaan dengan menurunkan besaran uang muka kredit dan pembiayaan yang harus dibayar nasabah.

Secara rinci, jika rumah tersebut termasuk dalam tipe 21-70 meter persegi, maka uang muka dapat lebih rendah lagi yakni 10 persen dari total nilai jual aset tersebut dari sebelumnya 15 persen.

Baca juga artikel terkait KPR atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana