Menuju konten utama

Betapa Tidak Siapnya Indonesia Jika Terjadi Reinfeksi COVID-19

Di Indonesia, penanganan pasien pertama COVID-19 dan yang tertular kembali tidak berbeda. Suspek reinfeksi kecewa.

Betapa Tidak Siapnya Indonesia Jika Terjadi Reinfeksi COVID-19
Murid SMP Negeri 1 Surabaya mengikuti pelaksanaan tes usap (swab) di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (25/11/2020). ANTARA FOTO/Moch Asim/hp.

tirto.id - Damar—bukan nama sebenarnya, 28 tahun, dinyatakan berstatus positif COVID-19 pada Minggu 13 Desember lalu. Sebelumnya dokter yang tertugas di salah satu rumah sakit swasta di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah itu pernah berstatus positif dan sembuh. Dengan kata lain, dia diduga mengalami reinfeksi.

Dalam dunia medis, seseorang disebut mengalami reinfeksi jika mengidap virus yang sama tapi strukturnya beda. Jika strukturnya sama persis, maka istilahnya adalah 'repositif'. Untuk menentukan reinfeksi dan repositif, maka harus dibuktikan dengan metode whole genome sequencing, yang tidak dilakukan pemerintah Indonesia.

Damar pertama kali berstatus positif saat masih bertugas di salah satu rumah sakit di Yogyakarta, 30 Juli. Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta langsung mengisolasi Damar ke sebuah shelter di Kabupaten Bantul. Setelah itu, ia dipindahkan ke salah satu rumah sakit lapangan khusus COVID-19 di Yogyakarta.

“Saya sampai di-swab sepuluh kali. Yang pertama hingga delapan hasilnya positif, sembilan dan sepuluh hasilnya negatif. Hasil swab negatif dua kali berturut-turut baru dinyatakan selesai isolasi dan sembuh,” Damar saat bercerita kepada wartawan Tirto, Senin (14/12/2020) pagi.

Damar merasakan betul bagaimana penanganan pandemi oleh otoritas daerah saat itu sangat ketat. Pasien selalu ditempatkan di rumah sakit, dirawat berminggu-minggu hingga dapat dipastikan negatif lewat swab sebanyak dua kali, hingga dievaluasi menyeluruh. Saat ini keadaan berbeda, katanya. Kewajiban swab dua kali sebelum dinyatakan sembuh dihilangkan. Kemudian, untuk pasien yang tidak bergejala, hanya diisolasi mandiri di rumah selama 10 hari. Mereka dianggap selesai melakukan kewajiban sebagai pasien sesuai dengan protokol revisi kelima.

Damar memutuskan pindah kerja ke rumah sakit swasta di Kabupaten Banyumas setelah dinyatakan sembuh. Untuk keperluan itu dia beberapa kali menjalani tes swab dan hasinya selalu negatif. Dia pun mulai bekerja di tempat baru pada pertengahan November.

Hanya butuh dua pekan bagi Damar untuk merasakan situasi rumah sakit padat oleh pasien. Keadaan tersebut masuk akal karena Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah zona merah. Sejak awal Desember pula para dokter dan perawat bergiliran positif COVID-19 untuk pertama kalinya, katanya.

“Orang-orang sudah sempat berpikiran bahwa saya aman karena sudah memiliki antibodi,” katanya. Dugaan ini akhirnya meleset. “Nyatanya saya positif lagi pada Desember.”

Damar bekerja dalam tim yang terdiri dari beberapa dokter. Pada 2 Desember, mereka mendapat fasilitas swab oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas secara gratis. Swab hanya dilakukan satu kali lewat tenggorokan. Hasilnya: semua berstatus negatif. Damar skeptis dengan hasil itu karena seharusnya swab yang benar dilakukan lewat tenggorokan dan hidung sebanyak dua kali, diulang dengan jarak 24 jam. Jika kedua hasilnya negatif, itu baru dinyatakan sehat.

Kecurigaan Damar terbukti. Pada 9 Desember, salah seorang dokter rekan Damar berstatus positif setelah melakukan swab mandiri di rumah sakit lain.

“Akhirnya rumah sakit kami berinisiatif untuk melakukan swab mandiri dengan layak untuk para dokter pada 11 dan 12 Desember. Pada 13 Desember, dua dokter positif, salah satunya saya. Dan satu dokter lagi masih menunggu hasil,” kata Damar. “Mereka baru pertama kali, saya sudah kedua kali. Berarti saya terinfeksi lagi.”

Kebijakan Reinfeksi di Indonesia

Damar ragu apakah dia masuk dalam kategori reinfeksi atau repositif sebab tak ada penelitian tentang itu. “Pertanyaan saya ke pemerintah: saya ini suspek reinfeksi, apakah mereka tidak ingin tahu, saya ini reinfeksi dengan virus yang baru atau tidak? Kok diam-diam saja?” tanya Damar.

Usai hasil positif swab keluar, ia hanya diminta isolasi mandiri di indekos selama sepuluh hari tanpa ada penanganan lebih lanjut. Damar hanya diberi beberapa obat untuk meningkatkan imunitas tubuh seperti pasien COVID-19 pada umumnya. Damar menduga ini juga berlaku bagi yang lain. “Saya takutnya sistem penanganan kita semua menyamaratakan kasus pertama dan reinfeksi.”

Di beberapa negara, kata Damar, ketika seorang pasien mengalami COVID-19 untuk kali kedua, pemerintah meneliti dan membandingkan perbedaan struktur virus infeksi pertama dan infeksi kedua. Jika terdapat perbedaan, orang itu dikategorikan mengalami reinfeksi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Adam Prabata, kandidat doktoral ilmu medis di Universitas Kobe, Jepang, yang juga rutin memberikan edukasi mengenai COVID-19 di Instagram.

Damar juga mempertanyakan mengapa dinas kesehatan tak mencari tahu dia berkontak dengan siapa saja beberapa hari sebelum dinyatakan positif. Dengan kata lain, tak ada upaya tracing. “Saat saya di Yogyakarta, tracing sangat ketat. Kenapa ada perbedaan perlakuan antar daerah?”

Damar mengaku sempat membaca beberapa riset penanganan COVID-19 dari beberapa negara, bahwa orang-orang yang terkena reinfeksi kebanyakan akan memiliki gejala klinis yang lebih berat dan kemungkinan akan drop. Kendati saat ini Damar tak merasakan apa pun—karena memang tanpa gejala—namun rasa khawatir itu tetap ada. “Kalau ada perburukan, gimana?”

Damar mengaku kecewa karena dari awal Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas tak melakukan swab yang layak untuk para dokter dan perawat, padahal merekalah salah satu pihak yang paling rentan terpapar COVID-19. “Dokter kalau tidak terdeteksi secara proper, kita ketemu puluhan pasien setiap hari, kalau nyebar ke mereka semua, itu lebih bahaya.”

Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas dan pemerintah pusat, kata Damar, juga harus segera melacak para tenaga medis yang mengalami reinfeksi dan menjelaskan itu ke publik. Hal tersebut semata-mata untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa kemungkinan terpapar COVID-19 untuk kedua kalinya bisa terjadi.

Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, Sadiyanto, untuk dimintai keterangan terkait metode swab yang dilakukan kepada para dokter dan penanganan dugaan reinfeksi COVID-19 via Whatsapp. Namun hingga Selasa (15/12/2020) pagi tak ada jawaban.

Sedangkan Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito mengakui bahwa penelitian terkait reinfeksi Corona di Indonesia masih sangat terbatas. “Sejauh ini penanganan pasien COVID-19 mengikuti prosedur pada umumnya, tidak dibedakan antara infeksi pertama kali atau reinfeksi,” katanya kepada wartawan Tirto, Senin sore.

Baca juga artikel terkait PENANGANAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino