tirto.id - Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut angka kesembuhan pasien COVID-19 sebagai indikator kemampuan pemerintah menangani pandemi. Terakhir, itu disinggung dalam rapat terbatas kabinet, Senin 19 Oktober lalu. Ia menyebut tingkat kesembuhan mencapai 78,84 persen, lebih tinggi daripada angka global, 74,67 persen.
Masalahnya sembuh dari Corona bukan akhir dari penderitaan. Hidup para penyintas mungkin tidak akan sama lagi.
Salah satu pembantu Jokowi di kabinet, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, bercerita masih kesulitan bernapas kendati telah dinyatakan sembuh dari Corona pada Senin 28 September. Ia bercerita di Instagram, Minggu (11/10/2020) lalu.
Ketika berjalan cukup lama atau menaiki tangga, ia merasa terengah-engah.
Berdasarkan keterangan dokter, katanya, butuh beberapa waktu agar pernapasannya kembali normal.
“Jangan kena Covid apalagi harus dirawat sampai ICU. Kenapa? Enggak enak, sisanya harus perbaikan lagi. Paru-paru saya dalam posisi belum begitu normal,” kata dia.
Hal serupa dialami penyelam profesional asal Italia, Emiliano Pescarolo, yang menghabiskan 17 hari di ruang isolasi rumah sakit di Genoa. Tiga bulan setelah keluar, ia masih merasakan sesak napas. Hanya untuk berjalan kecil saja “rasanya seperti mendaki Gunung Everest.” Bahkan pria 42 tahun itu merasa terengah-engah hanya karena berbicara.
Anak dari penyintas COVID-19 di Indonesia juga bercerita ke KawalCovid19 bahwa ayahnya masih sering sesak napas sehingga membutuhkan bantuan oksigen. Sang ayah pun bisa terengah-engah ketika sedang makan. Akibatnya berat badannya turun hingga 15 kilogram.
Sang ayah pun sering kehabisan napas ketika sekadar berjalan, padahal sebelumnya dia mengalami penyumbatan pembuluh darah sehingga dokter menyarankannya berjalan kaki rutin setiap hari.
“Papa juga tidak bisa pakai masker karena pasti akan merasa sesak. Makanya, jika kami berkunjung dan bertemu papa, papa selalu memakai masker oksigen,” tulisnya.
Efek lanjutan dari penyintas COVID-19 pernah diteliti oleh 15 ilmuwan pada pertengahan tahun ini. Sebanyak 57 pasien menjadi sampel. Mereka adalah pasien yang telah pulih dan sebulan meninggalkan rumah sakit. Peneliti menjalankan serangkaian tes untuk melihat fungsi pernapasan, mulai dari CT Scan, tes jalan enam menit, serta tes fungsi paru-paru dan fungsi otot pernapasan.
Dari hasil CT Scan, didapati empat orang mengalami fibrosis paru. Semuanya sebelumnya mengalami COVID-19 gejala berat.
Selain itu, sepanjang 30 hari setelah dinyatakan sembuh, enam pasien mengalami batuk ringan, empat sesak napas, dan tiga orang mengalami mengi (bengek). Sebagian pasien juga mengalami masalah pada fungsi paru-paru dan fungsi otot pernapasan.
Peneliti juga menemukan 30 orang mengalami abnormalitas pada kapasitas difusi gas oksigen yang masuk ke paru-paru dan akan dialirkan ke seluruh tubuh (diffusing capacity for carbon monoxide, DLCO). 26 mengalaminya dalam skala ringan dan empat dalam skala sedang.
Sebanyak lima orang didapati mengalami gangguan sedang dan satu orang mengalami gangguan tingkat ringan pada forced vital capacity (FVC) atau besarnya udara yang dapat diembus dalam satu tarikan napas.
Sebanyak lima orang mengalami gangguan tingkat ringan pada forced expiratory volume in one second (FEV1) atau besarnya udara yang diembus dalam satu detik. Lalu, 25 orang mengalami gangguan ringan pada rasio FVC/FEV1--nilai yang menunjukkan berapa persen kapasitas udara paru-paru yang dapat diembuskan selama satu detik.
Tujuh orang ditemukan mengalami penurunan volume paru-paru (TLC) dalam satu bulan, enam di antaranya pada tingkat ringan dan satu pada tingkat sedang.
Terkait dengan kekuatan otot pernapasan, penelitian ini menemukan lebih dari setengah sampel mengalami gangguan. Sebanyak 28 dan dan 13 pasien memiliki nilai maximal inspiratory dan expiratory mouth pressures (PIMax dan PEMax) di bawah 80 persen dari nilai yang diprediksi.
Fibrosis
Sekretaris Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia Erlang Samoedro menerangkan fenomena sesak napas pada penyintas COVID-19 diakibatkan oleh fibrosis, yakni perubahan jaringan paru menjadi jaringan parut.
“Jaringan parut itu bekas luka. Kalau Anda terluka, kan, ada bekasnya? Jadi itu mengganggu proses difusi oksigen dari udara ke darah,” kata Erlang kepada reporter Tirto, Rabu (21/10/2020). Terganggunya oksigen ke dalam darah membuat seseorang sesak napas.
Erlang mengatakan fibrosis itu bisa terjadi pada pasien COVID-19 yang bergejala. Semakin berat gejalanya, maka kemungkinannya mengalami fibrosis juga semakin besar.
Pada sejumlah kasus, fibrosis memang bisa sembuh sendiri. Tetapi jika fibrosis terjadi secara luas dan dalam, maka bisa permanen. Dan pasien yang mengalami itu cukup banyak. Mereka akan dilatih oleh dokter rehabilitasi medik agar paru-paru yang tersisa bisa efektif menyalurkan oksigen ke dalam darah.
Karenanya, Erlang mengatakan bagi sebagian pasien kesembuhan dari COVID-19 bukanlah akhir cerita.
Co-Founder KawalCovid19 Elina Ciptadi mengatakan atas dasar itu semua pemerintah semestinya fokus pada pencegahan, alih-alih membendung di hilir. Pemerintah harus menggencarkan tes, penjejakan, dan isolasi.
"Tes itu kelihatannya mahal, tapi lebih murah di antara 3T (test, trace, treatment) lainnya," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino