tirto.id - “Aku masih ingin berlatih. Tapi baru lima menit napasku sudah habis. Saat itulah kami menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.” kata Paulo Dybala.
Pada 21 Maret 2020, bintang andalan Juventus itu divonis positif COVID-19. Dybala melalui jalan terjal sepanjang masa karantina. Dia terus mendapat hasil positif dalam empat kali pemeriksaan selanjutnya, hingga akhirnya sembuh pada 6 Mei 2020. Namun, hingga sebulan usai sembuh, Dybala mengaku masih kesulitan untuk kembali ke level kebugaran 100 persen.
“Aku belum merasa kembali 100 persen. Namun, kondisiku sudah cukup bagus,” tuturnya kepada Goal.
Dybala bukan satu-satunya atlet yang terpaksa melalui pengalaman buruk itu. Per akhir April 2020, tak kurang dari 14 pemain Serie A dinyatakan positif COVID-19. Termasuk di antaranya Blaise Matuidi, Patrick Cutrone hingga Manolo Gabiadini. Dalam pengetesan lanjutan yang dilakukan pada 20 Agustus 2020, pemberitaan AP menyebut delapan penggawa Serie A lainnya juga divonis positif.
Keadaan di Inggris pun sama belaka. Sejak 17 Mei hingga 19 Juli, EPL mengidentifikasi 20 orang pemain dan ofisial tim sempat jadi pasien positif, meski semuanya kini telah dinyatakan negatif. Termasuk di antaranya palang pintu Manchester City Benjamin Mendy dan jenderal lapangan tengah MU Paul Pogba. Kemudian pada pengetesan terakhir di awal September, EPL mengonfirmasi tiga kasus baru. Dua penggawa City, Riyad Mahrez dan Aymeric Laporte, disebut-sebut termasuk di antaranya.
Atlet-atlet basket pun tak luput dari serangan wabah, meski tidak semuanya dipublikasikan. Hingga pertengahan Juli, 20 pemain Liga Basket Amerika Serikat (NBA) menyatakan kepada publik bahwa mereka sempat divonis positif corona. Termasuk di antaranya bintang Denver Nuggets Nikola Jokic, point-guard andalan Houston Rockets Russel Westbrook, hingga bintang Utah Jazz Donovan Mitchell.
“Anda bisa terlihat baik-baik saja meski sebenarnya positif. Kurasa itulah bagian paling menakutkan dari virus ini,” kata Mitchell kepada The Guardian.
Baik Serie A, EPL, maupun NBA memang berhasil mengatasi krisis finansial akibat macetnya jadwal kompetisi di tengah pandemi. Kompetisi itu kembali bergulir dengan kebijakan tanpa penonton, penerapan buble, hingga pengetesan berkala. Sebagian kompetisi bahkan sudah memutar musim baru.
Meski demikian, para atlet penyintas COVID-19 masih dibayangi kekhawatiran lain: efek samping terhadap kesehatan dalam jangka panjang.
Masalah Jantung dan Paru-paru
Kekhawatiran itu tergambarkan, misalnya, tatkala penggawa Boston Celtics Jaylen Brown bertanya kepada 380 ribu lebih pengikutnya di Twitter.
“Apa dampak [fisik] jangka panjang akibat COVID-19?” Cuit Brown pada 28 Mei 2020.
Atas pertanyaan Brown—dan mungkin para atlet lain—pakar penyakit menular New York University Celine Grounder melontarkan satu jawaban jujur, “Kami tidak tahu.”
Pengetahuan para pakar terhadap efek jangka panjang COVID-19 belum cukup mamadai. Pasalnya, kurun pandemi ini belum melampaui satu tahun sehingga belum ada penyintas dalam jangka panjang.
“Kupikir sebagian besar atlet yang menderita [Covid-19] tidak akan berakhir menjadi pengguna ventilator selamanya atau bahkan meninggal,” kata epidemiolog asal Emory University Neel Gandhi kepada Wall Street Journal. “Tapi, aku tetap khawatir virus ini akan membuat para atlet tidak bisa bermain pada level yang seharusnya bisa mereka capai.”
Kekhawatiran Gandhi beralasan. Meski efek spesifiknya belum bisa didefinisikan dengan jelas, sejumlah penelitian telah memperingatkan potensi munculnya penyakit berbahaya di kalangan penyintas COVID-19.
Studi yang dipimpin Profesor Valentina Puntman dari Goethe University Frankfurt, misalnya, menyebutkan bahwa 78 dari 100 sampel penyintas COVID-19 di Jerman mengalami permasalahan jantung. Bahkan, bila mengacu pada hasil MRI, sebanyak 60 pasien di antaranya terindikasi mengalami miokarditis.
Miokarditis adalah kondisi peradangan atau inflamasi pada miokardium—otot jantung yang berfungsi memompa darah ke seluruh organ tubuh. Ketika otot ini mengalami peradangan, fungsi jantung dalam memompa darah akan terganggu. Akibatnya, muncul gejala-gejala berupa nyeri dada, gangguan irama jantung, dan sesak napas.
Miokarditis ringan lebih mudah sembuh, baik dengan atau tanpa perawatan. Namun, bila mencapai level berat, miokarditis bisa mengakibatkan penggumpalan darah yang memicu komplikasi seperti stroke atau serangan jantung.
Selain itu, para peneliti dan epidemiolog juga menyatakan kekhawatiran potensi gangguan pada paru-paru penyintas COVID-19.
Temuan paling kuat terkait masalah paru-paru itu tersua dalam penelitian yang dipublikasikan University Clinic Innsburg, Austria, awal September ini. Hasilnya menyatakan bahwa sekitar 88 persen penyintas COVID-19 menunjukkan tanda-tanda penyakit paru-paru pada enam pekan setelah meninggalkan rumah sakit. Studi itu juga menyebut bahwa 47 persen di antaranya disertai gangguan pernapasan.
Angka tersebut baru berkurang setelah 12 pekan kemudian. Namun, tingkat jumlah sampel yang mengalami gejala masih cukup besar, yakni 56 persen.
“Banyak penyintas COVID-19 mengalami gangguan paru-paru beberapa pekan setelah sembuh. Setelah waktu moderat, kondisinya akan membaik,” kata Sabina Sahanic, peneliti yang terlibat dalam studi tersebut, seperti diwartakan The Guardian.
Kendati dilakukan di Austria, penelitian tersebut diklaim relevan untuk kasus di kawasan-kawasan lain. Klaim tersebut setidaknya turut divalidasi oleh profesor sekaligus konsultan bidang kesehatan pernapasan Universitas Southampton Tom Wilkinson.
“Ada semakin banyak penelitian yang membuktikan bahwa terdapat konsekuensi kesehatan jangka panjang bagi para penyintas COVID-19,” kata Wilkinson. “Konsekuensi tersebut sebenarnya wajar dalam kasus penyakit-penyakit yang melibatkan rawat inap dan ventilator.”
Secercah Penyemangat
Masuk akal bila temuan-temuan tersebut membuat para atlet penyintas COVID-19 khawatir. Apalagi, hampir tiap pekan mereka dituntut tampil prima di atas lapangan.
Walau demikian, ahli penyakit menular dari Universitas Kobe Profesor Kentaro Iwata memberi secercah penyemangat. Setidaknya sampai saat ini, menurut Iwata, para atlet tak perlu khawatir berlebihan terhadap gejala penyakit yang bisa mengganggu performa mereka.
Landasan dari pernyataan Iwata sederhana. Dari penelitian-penelitian yang telah muncul, sebagian besar mengambil sampel penyintas pada rentang usia 50-60 tahun. Di sisi lain, usia produktif atlet sepak bola, basket, bulu tangkis, dan olahraga populer lain berada pada rentang 20-35 tahun.
“Efek sampingnya tak akan berbahaya bagi orang-orang muda yang sudah terbiasa hidup sehat,” kata Iwata kepada Japan Times.
Lagi pula, menurut Iwata, atlet profesional cenderung punya kondisi jantung dan paru-paru lebih baik karena terbiasa berolahraga dan berlatih secara konsisten. Karena itu, tingkat kerentanan mereka terhadap penyakit pun lebih ringan.
“Di kebanyakan kasus para atlet olahraga, gejala yang mereka rasakan juga cenderung ringan dan mereka lebih cepat sembuh,” kata Iwata. “Hampir tidak akan ada masalah juga dengan kondisi kardiopulmoner mereka. Meskipun, aku tak menyangkal bahwa kemungkinan-kemungkinan buruk masih bisa terjadi.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi