Menuju konten utama

Kematian Meninggi Tanda Penularan COVID-19 Makin Tak Terkendali

Angka kematian meninggi. Epidemiolog bilang itu tanda penularan semakin tak terkendali. Rumah sakit pun semakin berat bebannya.

Kematian Meninggi Tanda Penularan COVID-19 Makin Tak Terkendali
Petugas pemakaman memasukan jenazah ke liang kubur di lokasi pemakaman Covid-19 TPU Tegal Alur, Jakarta, Kamis (3/12/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Setelah hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, 9 Desember 2020, jumlah kematian akibat COVID-19 semakin menanjak. Tren itu diprediksi akan semakin meningkat mengingat laju penularan yang belum terkendali dan maraknya kegiatan yang mengundang kerumunan akhir tahun ini.

Pada 11 Desember, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 mencatat ada penambahan 175 kematian dalam sehari. Jumlah ini merupakan rekor tertinggi sepanjang pandemi melanda Indonesia. Rekor sebelumnya terjadi pada 9 Desember dengan 171 kematian dan 169 kematian pada 27 dan 29 November.

Sepanjang satu pekan, 7-13 Desember, total ada 1.079 kematian akibat COVID-19. Sebagai pembanding, pada tanggal yang sama pada bulan sebelumnya, kematian yang tercatat sebanyak 595.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adi Sasmito mengatakan angka kematian nasional mingguan meningkat 15,5 persen. Karenanya, dia bilang pemerintah akan mengevalusi kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit rujukan COVID-19 serta mendorong untuk pendeteksian penyakit sedini mungkin.

“Pemerintah terus menjadikan data-data yang ada ini sebagai dasar pengambilan upaya kesehatan yang tepat sasaran,” kata Wiku kepada reporter Tirto, Senin (14/12/2020) lalu.

Perkembangan ini memang membebani rumah sakit. Sekretaris Jenderal Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia Partakusuma mengatakan tempat tidur ICU di banyak rumah sakit sudah penuh terisi, bahkan di beberapa daerah hunian tempat tidur COVID-19 mencapai 60-80 persen, padahal batas idealnya hanya 50 persen. “Sebaiknya di bawah 50 persen supaya mudah pergerakan keluar masuk pasien,” kata Lia kepada reporter Tirto, Selasa (15/12/2020).

Selain itu, masing-masing rumah sakit pun berbeda kapasitas sumber daya manusianya. Hal itu menurutnya menjadi problem tersendiri karena banyak pasien COVID-19 memiliki penyakit penyerta.

Namun Wiku membantah kenaikan angka kematian itu disebabkan lonjakan kasus aktif yang membuat rumah sakit tak bisa melayani dengan baik. Menurutnya, dalam rapat koordinasi rutin yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masalah yang ada masih bisa ditangani oleh pemerintah setempat.

Puncak Gunung Es

Jika melihat pada data di masing-masing daerah, besar kemungkinan angka kematian yang dilaporkan oleh Satgas Penanganan COVID-19 hanyalah puncak gunung es. Berdasarkan data corona.jakarta.go.id, misalnya, ada 2.311 orang meninggal dalam status suspek dan 5.109 orang meninggal dalam status probable. Jika dijumlahkan, ada 7.420 orang meninggal sebelum hasil tes PCR keluar, terpaut jauh dari kematian terkonfirmasi COVID-19 yang mencapai 2.963.

Sementara di Jawa Barat, 928 orang meninggal dalam status probable dan di Jawa Timur jumlah kematian dalam status suspek dan probable mencapai 1.036 orang.

Epidemiolog Masdanila Pane mengatakan secara umum peningkatan jumlah kematian “menunjukkan case finding kita terlambat.” Kepada reporter Tirto, Senin, Masdalina bilang idealnya kasus ditemukan kala pasien masih tanpa gejala atau gejala ringan sehingga peluang sembuh masih tinggi. Namun, karena kapasitas tes masih rendah, maka kasus baru ditemukan kala pasien inisiatif memeriksakan diri ke rumah sakit karena gejalanya sudah parah.

Sepekan terakhir, jumlah orang yang dites di Indonesia baru mencapai 221.135, masih belum memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 1.000 orang per 1 juta penduduk dalam satu pekan alias 267 ribu orang per pekan.

Kondisi itu diperparah dengan tingginya positivity rate. Pada Minggu (13/12/2020), dari 25.347 orang yang dites, 6.189 di antaranya positif. Positivity rate mencapai 24,4 persen, hampir 5 kali dari standar maksimal yang ditetapkan WHO, 5 persen.

Tes juga tak jarang salah sasaran. Misalnya, beberapa instansi pemerintahan yang mewajibkan pegawainya menjalani tes PCR dalam kurun waktu tertentu, padahal di sisi lain reagen terbatas dan mahal. Semestinya, kata Masdanila, penggunaannya ditujukan bagi orang yang kontak erat maupun suspek.

Masdalina lantas menafsirkan kondisi penularan COVID-19 di Indonesia semakin tidak terkendali. Jika kapasitas tes tidak ditingkatkan, maka kasus akan terlambat ditemukan dan jumlah kematian akan meroket. “Jadi yang dilaporkan selama ini hanya permukaan gunung es saja, dan itu sudah berlangsung 10 bulan, sementara di bawah kasus terus menyebar,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait KASUS COVID-19 DI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino