tirto.id - “Saya meminta Presiden [AS] Donald Trump untuk menolong kami pergi [dari negara ini], dan juga meminta perdana menteri Inggris agar melakukan yang terbaik untuk menolong kami, untuk memberikan kami kebebasan. Saya juga meminta [tolong] pada perdana menteri Kanada.”
Teriakan putus asa itu berasal dari pria asal Pakistan bernama Ashiq Masih. Ia adalah suami dari Asia Bibi, perempuan yang menjadi pusat kontroversi dalam sepekan terakhir di negeri tersebut dilansir dari Al-Jazeera.
Bibi, seorang kristiani, terjerat kasus penistaan agama Islam sejak 2010 dan menghadapi tuntutan hukuman mati. Pada Rabu, (31/10), lalu, Pengadilan Tinggi Pakistan membebaskan Asia Bibi dari segala tuntutan. Sejak itu, gelombang protes dari partai Islamis ultra-kanan Pakistan Tehreek-e-Labbaik (TLP), melumpuhkan sebagian wilayah di Pakistan selama tiga hari.
TLP, partai yang baru berdiri tiga tahun lalu, sangat fokus pada isu penegakan hukum terhadap apapun yang mereka pandang sebagai penodaan agama. Partai ini awalnya didirikan sebagai bagian dari gerakan mobilisasi dukungan terhadap pembunuh Salman Taseer yang dihukum mati pada 2016.
Taseer adalah gubernur Provinsi Punjab. Ia sempat membela Bibi sebelum akhirnya dibunuh oleh pengawalnya sendiri pada 2011. Tak hanya Taseer yang jadi korban. Ada pula Shahbaz Bhatti, menteri federal urusan minoritas, yang juga dibunuh pada tahun yang sama setelah meminta Bibi dibebaskan.
Permohonan Ashiq sendiri datang setelah pemerintah Pakistan sepakat dengan para pemrotes untuk memasukkan Bibi ke dalam daftar cekal (exit control list/ECL) sehingga ia tak bisa pergi ke luar negeri.
Pemerintah Pakistan juga mengatakan bahwa mereka tidak keberatan jika kelompok-kelompok Islamis mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan tinggi tersebut.
Pengacara Bibi, Saiful Malook, bahkan telah lebih dahulu meninggalkan negara di Asia Selatan itu pada Minggu (4/10), karena merasa hidupnya terancam.
Ras, Kelas, dan Agama
Kasus Bibi adalah secuil kisah suram pemeluk agama minoritas di Pakistan. BBC melaporkan, penganut Kristen dan Hindu adalah kelompok minoritas terbesar di Pakistan dan merepresentasikan sekitar 1,6 persen dari keseluruhan populasi negara beribukota Islamabad itu. Mayoritas pemeluk Kristen sebelumnya adalah pemeluk Hindu yang berkasta rendah.
Kendati secara umum masyarakat Pakistan hidup berdampingan, tuduhan penistaan agama kerap menjadi motif tindakan kekerasan massal terhadap minoritas di Pakistan, khususnya terhadap umat Kristiani. Kelompok-kelompok Islamis juga kerap menarget minoritas.
Gelap adalah kata yang cocok untuk menggambarkan suasana minoritas kristiani di Pakistan. Sebagaimana ditulis kolumnis DawnMarylou Andrew, minoritas Kristen Pakistan tidak hanya mengalami perlakuan intoleransi dari lingkungan sekitar; mereka juga kerap mendapatkan perilaku tak menyenangkan karena warna kulit yang gelap.
Minoritas kristiani juga dianggap buta huruf Urdu, yang semakin membuat mereka terasing dari mayoritas muslim Pakistan.
“Ibu saya bekerja di bank swasta beberapa tahun yang lalu. Dia bercerita bagaimana petugas kebersihan yang beragama Islam di kantornya menolak untuk membersihkan kamar mandi atau menyapu lantai, karena mereka percaya bahwa hanya orang Kristen dan Hindu yang cocok untuk tugas-tugas semacam itu,” terang Marylou.
Kendati demikian, Maryloy merasa masih beruntung. Ia menjadi sebagian kecil kelompok minoritas yang jarang menghadapi tantangan dari diskriminasi yang terjadi di sekitarnya, terutama selama kehidupannya dalam menimba ilmu di sekolah maupun saat ini di kantornya.
Kisah lebih suram dikisahkan oleh Rehmat Masih yang tinggal di Islamabad selama lebih dari empat dekade. Bagi Masih, seperti dilaporkan NBC News, diskriminasi telah menjadi bagian dari hidupnya sejak lama.
“Saya pikir menjadi orang Kristen di Pakistan adalah kejahatan,” sebutnya. “Jika kami coba berbicara bebas, kami bakal jadi mayat di jalanan.”
Banyak orang Kristen di Islamabad tinggal di tempat-tempat kumuh yang tidak dialiri air dan listrik. Rehmat sendiri tinggal di tempat yang dikenal sebagai “100 Quarters”, yang tak lain adalah 100 apartemen yang dihibahkan oleh Pemerintah Pakistan kepada masyarakat Kristen yang hingga tahun 2014 telah menampung lebih dari 1.000 keluarga Kristen.
“Mereka membiarkan kita hidup seperti ini di tengah Islamabad. Sementara para pejabat mengendarai BMW setiap hari dan melihat kondisi ini. Namun kita tetap begitu-begitu saja. Kenapa?” protes Rehmat.
Menurut laporan Dawn, dari total 649.176 pos pekerjaan di pemerintahan federal tahun 2016-2017, hanya 2.82 persen yang diisi oleh non-muslim. Padahal, seperti dilansir dari Herarld, minoritas non-muslim memiliki kuota lima persen untuk pekerjaan pegawai negeri tersebut.
Untuk representasi politik, masyarakat minoritas Pakistan juga tidak punya banyak pilihan. Masih dari NBC News, masyarakat Hindu, Sikh, Parsi, dan Kristen total hanya memiliki jatah 10 kursi dari 343 kursi yang tersedia di parlemen. Mirisnya, kursi-kursi itu sudah ‘dipesan’ oleh para kenalan dan kerabat dari partai yang berkuasa sehingga tak mewakili suara minoritas yang sesungguhnya.
Sentimen negatif terhadap minoritas juga kerap didorong faktor politik luar negeri. Salah satunya terkait perang di Afghanistan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Masih dari BBC, beberapa bulan setelah AS menyerang Afghanistan pada 2001, sebuah granat meledak di sebuah rumah sakit Kristen di Taxila dan menewaskan empat orang. Serangan terhadap minoritas Kristen masih terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian.
Hindu Sama Saja
Dalam “I am Hindu—and a proud Pakistani” di Quartz pada Juni 2015, aktivis Hak Asasi Manusia dan penulis asal Pakistan Kapil Dev menuliskan bahwa perlakuan yang diterima oleh minoritas Hindu di negerinya tak jauh berbeda dengan minoritas Kristen.
Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari Lal Malhi, seorang anggota majelis nasional (MBA) dari partai Tehreek-i-Insaf, sejumlah anggota majelis nasional yang beragama Islam kerap memperolok orang-orang Hindu yang mereka anggap menyembah sapi.
Pandangan miring terhadap pemeluk Hindu, menurut Kapil, salah satunya disebabkan oleh sentimen negatif masyarakat Pakistan terhadap India. Ini karena mereka kerap mendengar kasus-kasus perlakuan diskriminatif terhadap Muslim di India.
Respons yang kerap Kapil dengar tiap kali terjadi kekerasan terhadap komunitas Hindu di Pakistan, pembakaran kuil Hindu serta pemaksaan terhadap pemeluk Hindu untuk berpindah agama adalah: “Apa kamu tidak lihat kekejaman terhadap Muslim di India, terutama di Kashmir dan kerusuhan Gujarat tahun 2002?”
“Saya bisa bilang, atas nama komunitas saya, bahwa kami sering merasa seperti warga ‘tanah tak bertuan’,” ucap Kapil. “Ke mana kami harus pergi?”
BBC melaporkan, sekitar 1.200 orang telah bermigrasi ke India sejak 2010 hingga 2015. Menurut seorang pengungsi bernama Bhagwan Das, problem terbesar yang dialami oleh komunitas Hindu di Pakistan adalah masalah pendidikan formal untuk anak-anak mereka. Ia mengatakan, orang-orang Hindu kerap diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
“Anak-anak kami tidak merasa diterima di sekolah-sekolah di sana. Orang-orang Muslim mengejek kami karena Hindu. Gadis-gadis kami juga dilecehkan secara seksual,” kata Das.
Mala Das, seorang remaja putri yang juga pengungsi, mengenang masa ketika ia dan keluarganya tinggal di Pakistan. Ia mengaku lebih sering berdoa di dalam rumah bersama keluarganya karena merasa takut. “Jika kami pergi ke kuil [Hindu], kami berusaha menghindari pandangan mata para tetangga kami,” terang Mala.
Hubungan antar-komunitas muslim dan kelompok minoritas, khususnya warga Kristen, juga kerap terganggu akibat kasus-kasus penodaan agama. Kejadian ini sering berujung dengan serangan terhadap kelompok minoritas, biasanya dilakukan oleh kelompok Islam garis keras.
Pada Maret 2017, misalnya, India Today melaporkan serangan oleh kerumunan massa terhadap sebuah kantor polisi di Kota Hub, Provinsi Balochistan. Mereka menuntut agar polisi menyerahkan seorang pria Hindu yang diduga menista agama di media sosial agar dapat dihukum mati di muka umum.
Masyarakat Pakistan menyadari ketegangan agama ini. Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2013, sebanyak 57 persen Muslim Pakistan menganggap konflik agama sebagai masalah utama nasional.
Editor: Windu Jusuf