tirto.id - "Food is everything we are (makanan adalah segalanya bagi kita)," begitu kata Anthony Bourdain, koki petualang yang disebut-sebut paling berpengaruh di dunia. Makanan menurut dia, adalah tentang dari mana asal kita, bagaimana kita dibesarkan, dan apa yang kita santap saat kecil dulu.
Kutipan Bourdain itu memang kuat. Ia menggambarkan betapa kompleksnya relasi makanan dan seseorang. Namun, jika makanan adalah soal itu semua, bagaimana bisa, misalnya, kakak-beradik yang dibesarkan dengan kultur dan masakan yang sama pada akhirnya memiliki preferensi berbeda?
Preferensi makanan bukan semata-mata ditentukan oleh hal-hal yang terjadi pada kita selama hidup. Ia bukan semata-mata soal apa yang diberikan dan disodorkan kepada kita. Lebih dari itu, masing-masing dari kita masih memiliki kebebasan untuk mengatakan, "Ya!" atau, "Tidak!" Itu semua, sedikit banyak, kembali ke pertanyaan yang membuka tulisan ini. Apa yang memengaruhi keputusan kita memilih makanan?
Jika Bourdain membingkai makanan sebagai produk kultural, atau bahkan struktural, sejatinya ada penggerak yang lebih primal bagi manusia dalam membentuk preferensi kulinernya. Itu, tak lain, adalah otak kita sendiri. Saat melihat makanan, otak bisa memproses segala hal yang perlu diketahui tentangnya, sebelum membuat keputusan.
Bagaimana Proses Otak Memilih Makanan?
Pada 2015, sekelompok peneliti dari California Institute of Technology (Caltech) mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Mereka penasaran, kenapa manusia lebih memilih makanan yang "menggoyang lidah", meskipun jauh di lubuk hatinya ingin menyantap makanan sehat?
Para peneliti tersebut lantas berhipotesis: jangan-jangan, yang membuat manusia lebih mementingkan rasa dibanding aspek kesehatan adalah otak.
Dalam penelitian itu, para responden diminta memilih antara dua jenis makanan. Saat melakukannya, gerak tangan mereka direkam lewat komputer. Dari arah dan kecepatan gerak kursor, para peneliti bisa memperkirakan kapan momen pastinya ketika "rasa" dan "kesehatan" mulai memengaruhi keputusan responden.
Hasilnya sesuai dugaan. Riset tersebut menemukan, ternyata, manusia memproses informasi soal rasa sekitar 195 milidetik lebih cepat ketimbang soal kesehatan. Itulah yang membuat rasa acap kali memenangi pertarungan atas kesehatan di otak manusia. Informasi tentang kesehatan biasanya baru dipertimbangkan sesaat sebelum keputusan dibuat.
Para peneliti itu lantas menyimpulkan: yang paling bisa mengendalikan diri sesungguhnya adalah orang-orang yang otaknya mampu memproses informasi kesehatan lebih cepat.
Akan tetapi, penelitian terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari University of Melbourne dan Western Sydney University, sedikit banyak, membantah temuan ilmuwan Caltech. Mereka menemukan bahwa informasi yang diproses oleh otak, baik itu soal rasa, wujud, aspek kesehatan, bahkan familiaritas, terhadap makanan, ternyata diproses secara paralel, bukan berurutan. Semua itu terjadi dalam kurun lebih kurang 200 milidetik.
Penelitian yang terbit di jurnal Appetite itu terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dilakukan di laboratorium dengan menggunakan EEG (electroencephalography), alat yang merekam aktivitas listrik otak dengan ketelitian waktu dalam hitungan milidetik. Sementara itu, bagian kedua dilakukan secara daring. Hasil keduanya kemudian dibandingkan.
Ada 117 partisipan dalam penelitian tahap pertama. Semuanya merupakan mahasiswa University of Melbourne dan tidak memiliki gangguan makan atau pantangan apa pun. Lalu, di kepala masing-masing peserta dipasang 64 elektroda untuk merekam aktivitas otak.
Setiap peserta diperlihatkan 120 foto makanan, masing-masing tampil selama dua detik. Makanan-makanan itu beragam, dari yang sehat hingga yang tinggi kalori, dari yang mudah dikenali hingga yang tampak asing. Setiap melihat gambar, peserta harus menjawab salah satu dari tiga pertanyaan yang muncul secara acak dengan opsi "ya" atau "tidak": Apakah makanan ini sehat? Apakah makanan ini menggugah selera? Apakah kamu tertarik memakannya?
Selama proses berlangsung, EEG merekam aktivitas sinyal-sinyal listrik di otak sejak detik pertama kemunculan gambar hingga keputusan dibuat. Dari data inilah para peneliti memetakan urutan waktu yang sangat detail tentang kerja otak dalam menilai makanan.
Sementara itu, tahap kedua melibatkan kelompok berbeda, sebanyak 421 orang. Mereka tidak ikut dalam perekaman EEG, tetapi diminta menilai gambar makanan yang sama secara daring. Setiap orang menilai 160 foto makanan berdasarkan 12 atribut, mulai dari rasa, kesehatan, jumlah kalori, hingga familiaritas makanan itu bagi mereka. Penilaian ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar, yaitu gizi, hedonik, dan familiaritas.
Kategori gizi mencakup tingkat kesehatan, kalori, kelayakan, dan proses pembuatan makanan. Kategori hedonik mencakup rasa, keinginan memakannya, perasaan positif dan negatif, serta tingkat rangsangan emosional. Adapun kategori familiaritas mencakup seberapa sering mereka melihat makanan itu, seberapa mudah mengenalinya, dan seberapa khas tampilannya.
Data yang didapat dari eksperimen kedua tersebut digunakan untuk membangun semacam peta atribut makanan: cara pandang orang secara umum dalam menilai suatu makanan. Peta tersebut lantas dikombinasikan dengan hasil eksperimen laboratorium (eksperimen tahap pertama) untuk mencari tahu waktu persisnya informasi tentang makanan diproses di otak.
Hasilnya, ketika gambar makanan muncul di layar, otak langsung memproses banyak atribut sekaligus. Dalam waktu sekitar 200 milidetik setelah gambar terlihat, sinyal otak mulai menunjukkan bahwa peserta sedang menilai berbagai hal, bukan cuma soal enak atau tidak enak, tetapi juga aspek-aspek lain. Semua informasi itu muncul hampir bersamaan dan tidak ada satu pun atribut yang benar-benar mendahului yang lain.
Setelah fase awal yang sangat cepat itu, muncul gelombang aktivitas otak lebih panjang, dimulai sekitar 400 hingga 650 milidetik setelah gambar ditampilkan. Fase ini menunjukkan proses evaluasi lebih mendalam: otak mulai menimbang dan membandingkan informasi yang sudah terkumpul. Semua informasi yang terkumpul dalam 200 milidetik pertama itu digabungkan, diproses ulang, lalu akhirnya para partisipan membuat keputusan final.
Untuk memastikan hasil tersebut tidak disebabkan oleh tampilan visual semata, tim peneliti benar-benar mengontrol gambar yang ditampilkan. Dengan begitu, mereka bisa memastikan bahwa respons yang muncul dari para peserta adalah respons terhadap makanan sebagai makanan, bukan sekadar gambar makanan.
Ketika semua atribut dibandingkan satu per satu, muncul sebuah pola. Atribut kesehatan, pertimbangan kalori, dan tingkat pemrosesan makanan, muncul lebih awal di fase pertama. Sementara itu, atribut rasa, keinginan memakannya, dan emosi positif, lebih dominan di fase kedua.
Meski demikian, selisih waktu di antaranya sangatlah kecil, hanya puluhan milidetik, sehingga tidak cukup untuk dianggap sebagai urutan. Pada akhirnya, para peneliti menganggap semua informasi itu muncul dan diproses secara paralel.
Dengan demikian, eksperimen terbaru itu berhasil meruntuhkan penelitian sebelumnya, yang menyebut bahwa informasi tentang rasa muncul terlebih dahulu ketimbang soal kesehatan. Yang menentukan keputusan seseorang dalam memilih makanan bukanlah soal urutan proses dalam otak, melainkan adu kuat sinyal dari tiap atribut yang muncul.
Yang memengaruhi keputusan kita memilih makanan ternyata memang banyak. Rasa jelas berpengaruh, tetapi ia bukan satu-satunya faktor yang ditimbang oleh otak. Ada aspek-aspek lain, termasuk soal familiaritas.
Bourdain tidak salah ketika meletakkan makanan dalam bingkai kultural dan struktural karena, ternyata, faktor-faktor eksternal itu turut membentuk insting primal kita. Namun, lagi-lagi, itu semua mesti berkompetisi dengan informasi lain untuk membentuk keputusan akhir seseorang dalam memilih makanan yang akan disantap.
Dengan kata lain, pertanyaan mau makan apa? sejatinya memang pertanyaan yang ribet!
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id

































