tirto.id - Tanggal 2 Juli, sekitar 16.000 orang berkumpul untuk menyaksikan konser Guns N Roses di gedung Riverport Amphitheatre, St. Louis, Missouri. Awalnya konser berjalan lancar. Guns N Roses bermain sekitar 1,5 jam. Selagi memainkan lagu "Rocket Queen", mulailah kejadian tak enak itu. Axl Rose, sang vokalis, mulai merepet kepada penjaga keamanan di depan panggung.
"Singkirkan kamera itu... Ambil kameranya!" sembari menunjuk seorang penonton yang membawa kamera dan merekam konser GNR.
Axl diam sejenak, menanti sang penjaga bertindak. Karena tak digubril, Axl kembali ngomong, "Oke, kalau begitu aku yang ambil." Dalam hitungan mikro detik setelah melontarkan kata itu, Axl langsung meloncat dari atas panggung ke arah penonton, menyibak kerumunan penonton, dan memukul pria yang membawa kamera. Setelah berhasil kembali ke atas panggung, Axl masih terbakar amarah.
"Karena penjagaan yang kayak tai, aku pulang!" Axl berteriak seraya membanting mikrofon. "Kami cabut!" ujarnya sembari pergi dari atas panggung, diikuti personel lainnya.
Sekitar 20 menit, lampu panggung tetap mati. Penonton mulai marah. Pukul 23.30, lampu ruangan dimatikan dan kru band mulai membereskan peralatan di atas panggung. Penonton yang tahu GNR tak akan kembali, jadi marah dan mulai melempar barang-barang ke atas panggung. Kericuhan dimulai.
Penonton merusak pembatas panggung. Kursi-kursi dicabut dan dilempar ke sembarang arah. Panitia memanggil lebih dari 500 orang polisi, yang kemudian menghajar penonton dengan baton. Penonton tambah ngamuk. Mereka berkelahi dengan polisi. Ada penonton yang naik ke atas panggung dan melempar polisi dengan logam-logam yang ada di sana.
Polisi sampai merasa perlu membawa tukang sembur api supaya penonton minggat. Tindakan itu dibalas oleh penonton dengan membakar pohon, semak-semak, menghancurkan ruangan tiket, memecah kaca, membawa kabinet speaker, drum, dan apa saja yang bisa diangkut sebagai buah tangan.
Sekitar 60 orang cedera dan harus masuk rumah sakit. Dan 15 orang lain ditahan karena dianggap sebagai biang kerusuhan. Kerugian diperkirakan mencapai jutaan dolar. Sekitar seminggu kemudian, editor Just Rock, majalah musik di St. Louis, mewawancarai Axl Rose soal kerusuhan ini. Pangkal pertama karena beberapa penonton melempar Duff dengan botol bir. Namun masalah yang paling bikin Axl muntab adalah orang-orang yang merekam konser dan mengambil gambar mereka padahal sudah dilarang.
"Saat orang bilang, 'Axl tidak mau difoto', mereka tidak memikirkan gambar besarnya. Kami adalah band yang paling banyak dibajak sepanjang sejarah. Setidaknya ada 47 album bajakan di luar sana. Bahkan lagu-lagu baru yang sedang direkam. Saat aku memainkan 'November Rain', orang-orang senang karena mereka sudah tahu lagunya. Lagu yang belum dirilis itu bahkan sudah terjual jutaan keping dalam versi bajakan. Saat banyak orang tidak mau bekerja sama untuk menghindari pembajakan, itulah yang membuatku marah," kata Axl.
Mungkin saat itu Axl tidak sadar bahwa tak sampai satu dekade sejak dia ngamuk-ngamuk, orang sudah bisa merekam dan mengambil foto dengan ponsel, benda yang pada 1991 masih tak jauh berbeda besarnya dengan singkong yang baru dicabut dari kebun.
Kamera Ponsel dan Konser
Pada 2000, Samsung mengeluarkan ponsel SCH-V2000, ponsel pertama dengan kamera. Resolusinya memang rendah, hanya 0,35 megapiksel. Memori penyimpanannya pun hanya bisa 20 foto. Namun ponsel ini hanya bisa mengirim foto lewat komputer. Sharp kemudian merilis J-SH04, dengan kamera 0,11 megapiksel. Perbedaan penting antara produk Samsung dan Sharp adalah, ponsel Sharp bisa mengirimkan foto secara langsung tanpa perlu mencolokkan ke komputer. Dua tipe ini adalah ponsel-kamera generasi awal.
Sekarang, kamera ponsel sudah semakin canggih. Kamera milik ponsel Sony Xperia XZ misalkan, sudah punya kamera 23 megapiksel. Atau Nokia Lumia 1020 rilisan 2013 yang punya kamera 41 megapiksel. Hasilnya, orang semakin gemar memotret dan merekam. Menghasilkan jurnalisme warga yang banyak mengabarkan kejadian penting sebelum wartawan datang.
Penggunaan kamera juga semakin marak dalam konser atau festival musik. Ponsel dengan kamera membawa banyak sekali perubahan dalam adab dan kebiasaan menonton konser. T-Mobile, salah satu perusahaan telekomunikasi asal Jerman, pernah membuat perbandingan menarik antara kebiasaan menonton konser di tahun 1969 dan tahun 2012.
Di satu sisi, teknologi memang memudahkan untuk dokumentasi. Misalkan pada 1969, bagian dari era yang sering disebut sebagai era keemasan dunia musik, seorang fotografer harus mengusung kamera yang beratnya mencapai 11 kilogram. Belum lagi ia harus membawa serta puluhan rol film, sebab satu rol film cuma bisa untuk 8 foto saja. Di tahun 2012, seorang penonton cukup membawa ponsel yang beratnya hanya 1 kilogram saja. Dari gawai mungil itu, sekitar 5.722 foto bisa diambil dari kamera 8 megapiksel. Selain itu ponsel pintar juga membantu dalam hal pembelian tiket, karena sekitar 47 persen penonton membeli tiket melalui gawainya.
Ponsel dengan kemampuan kamera juga memunculkan kebiasaan mengambil foto dan merekam konser. Dari hasil penelitian T-Mobile, sekitar 53 persen penonton menggunakan ponsel pintar sebagai kamera utama. Dan sekitar 66 persen menggunakan kamera untuk mengambil foto saat konser berlangsung.
Perkembangan media sosial juga berpengaruh dalam kebiasaan saat menonton konser atau festival musik. Pada 1969, para penonton biasanya mengabari keluarga atau kawan melalui telepon umum. Atau sebelumnya janjian di suatu tempat sebelum masuk ke gedung konser. Sekarang, orang bisa dengan mudah mengabari posisinya di mana, kebanyakan melalui media sosial yang punya fasilitas penandaan lokasi (geo tagging). Atau melalui pesan pendek, baik sms ataupun aplikasi seperti WhatsApp dan Line.
Selain itu, penonton di era kiwari seperti sekarang, membagi histeria dan kesenangannya melalui media sosial. Tidak lagi melulu lewat kisah yang dituturkan lewat mulut. Setidaknya 32 persen penonton sekarang membuat status di Facebook atau mencuit di Twitter saat pertunjukan berlangsung. Dan sekitar 53 responden mengirim pesan pendek selama konser.
Hal ini jadi wajar karena menurut survei Ticketmaster dan Live Nation, dua perusahaan yang bergerak di bidang pertunjukan, lebih dari 50 persen penonton konser berusia 18 hingga 34 tahun. Mereka gabungan dari generasi X dan generasi milenial, dua generasi yang paling akrab dengan kemajuan teknologi saat ini. Mereka adalah pengguna ponsel sekaligus pengguna internet dan media sosial.
Hasilnya adalah ratusan foto amatir, ada yang berkualitas lumayan, ada yang disebut jelek pun belum bisa. Begitu pula di situs Youtube, yang dibanjiri ribuan atau bahkan ratusan ribu video konser amatir. Ada yang bisa ditonton, ada yang bikin kuping budeg karena suara yang sember, ada yang bikin mata juling karena gambarnya goyang-goyang.
"Mengambil foto dan video waktu konser ini cara biar saya tetap ingat momen ini. Momen penting ini," ujar Anton, salah satu kawan yang sering menonton konser dan punya banyak koleksi foto dan video dari ponselnya.
Foto dan Pelemahan Memori
Tapi apakah benar mengambil foto dan merekam video ini bisa membantu ingatan tentang berjalannya konser? Ternyata tidak juga. Psikolog Linda Henkel menyebutkan kalau penggunaan kamera berlebihan ternyata sama sekali tidak membantu penyegaran memori. Psikolog yang meneliti tentang ingatan manusia di Universitas Fairfield, Connecticut, memunculkan teori bernama Photo-Taking Impairment Effect, atau efek pelemahan memori karena pengambilan foto.
Linda membuat eksperimen dengan mengirimkan beberapa orang kelompok pelajar ke museum seni. Mereka kemudian mengamati beberapa obyek, dan memotret obyek yang lain. Di laboratorium, mereka diberi uji ingatan. Dari hasil itu, Linda menemukan hasil yang disebutnya sebagai efek pelemahan memori karena pengambilan foto.
"Para pelajar itu hanya mengingat sedikit obyek yang dipotret, hanya ingat beberapa detail. Mereka hanya mengingat sedikit hal yang dipotret, ketimbang benda yang diamati dengan mata," kata Linda.
Efek ini muncul sebab memori manusia melemah karena secara tidak sadar mereka mengandalkan memori luar otak, dalam hal ini kamera, untuk mengingat detail suatu obyek, alih-alih mengingatnya dengan otak.
"Setiap saat kita mengandalkan alat seperti kamera, kita seperti membuang proses kognitif yang bisa membuat kita benar-benar mengingat suatu hal," ujarnya.
Yang juga diingatkan oleh Linda adalah, manusia kerap menyamakan foto sebagai perekam momen dan pembeku ingatan. Itu salah. Foto tak akan berubah setiap saat kamu lihat, tapi memori dan kenangan akan berubah sewaktu-waktu. Tapi ini bukan berarti mengambil foto adalah kegiatan yang salah. Hanya saja Linda menyarankan supaya kita lebih sadar saat mengambil foto. Nikmati momen tersebut, lalu ambil satu dua foto.
Selain soal pelemahan memori, penggunaan kamera ponsel secara berlebihan saat konser bisa memicu kekesalan. Mulai dari penonton yang merasa terganggu, hingga musisi sendiri. Agung Setyawan, salah satu kawan yang frekuensinya menonton konser nyaris sama dengan sholat Jumat alias seminggu sekali, mengatakan ia amat kesal jika penonton di depannya sibuk mengeluarkan ponsel setiap saat.
"Itu seperti gak menghargai penonton. Ya sebenarnya terserah aja sih dia mau merekam. Tapi kadang mereka membawa tablet yang segede gaban gitu buat motret atau merekam. Penonton di belakangnya pasti terganggu," katanya gemas.
Di Indonesia, yang pada 2018 diperkirakan punya 100 juta pengguna ponsel pintar, penonton memotret dan merekam sepanjang konser adalah pemandangan biasa. Namun ada beberapa konser yang tidak membolehkan penonton mengambil gambar atau video, yang tentu saja merupakan hal bagus. Semisal di konser "Tentang Rasa" yang diadakan oleh musisi solo asal Yogyakarta, Frau. Peraturan ketat ini membuat penonton bisa lebih konsentrasi menyimak penampilan Frau.
Sedangkan di luar negeri, sudah banyak artis yang melarang penonton mengambil gambar dan merekam konser. Beyonce, dalam konsernya baru-baru ini, berkata pada penonton yang sibuk mengarahkan ponsel ke panggung, "Kamu harus merasakan momen ini! Taruh kameramu!"
Almarhum Prince, sejak beberapa tahun terakhir, menerapkan peraturan bernama Purple Rule bagi para penonton konsernya. Salah satu peraturannya adalah larangan menggunakan piranti fotografi, videografi, dan ponsel pintar. Kalau ada yang ketahuan, mereka akan digelandang keluar. Selain itu, duet She & Him juga melarang penggunaan ponsel pintar untuk mengambil foto dan video.
Band rock Yeah Yeah Yeahs malah lebih keras lagi. Di pintu masuk gedung konser, selalu tertulis pengumuman, "Dimohon jangan menyaksikan konser melalui layar kamera atau ponsel. Taruh ponsel dan kamera sialanmu itu sebagai bentuk penghormatan terhadap penonton di belakangmu, Nick, Karen, dan Brian."
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir memang hampir semua foto dan video yang diambil oleh penonton melalui gawai tak ada yang berkualitas bagus. Padahal banyak musisi yang menyadari pentingnya dokumentasi, akan mengeluarkan rilisan konser mereka. Baik yang dijual dalam bentuk DVD, atau yang diunggah ke Youtube. Yang perlu dilakukan hanya sabar menunggu.
Jadi ada baiknya mulai sekarang kita belajar menyimpan ponsel pintar sewaktu menonton konser. Seperti kata Beyonce, nikmatilah konser dengan mata dan otakmu, bukan dengan foto dan video amatirmu yang jelek itu.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani