tirto.id - Di era digital, seseorang perlu berpikir dua kali jika ingin berkelakar di depan kamera dan menyebarkannya di media sosial. Guyonan tak pantas di internet biasanya menuai perasaan tersinggung. Itu sesuatu yang lumrah. Namun, guyonan akan jadi tak lucu jika melibatkan pihak berwajib.
Diwartakan International Business Times pada Maret 2018, seorang remaja putri di Cina ditangkap polisi setelah membuat "lawakan" sensasional. Dari sebuah kamar hotel di selatan provinsi Hainan, Ye Mouyi membuat video menawarkan berhubungan seks gratis di tempat dia berada saat itu. Perempuan ini sekadar main-main ketika membuatnya, tetapi video telanjur tersebar dan menghasilkan reaksi yang tak diharapkan.
Video Mouyi dengan cepat viral di situs dan aplikasi pesan seperti Weibo dan WeChat, membuat puluhan pria menyambangi hotelnya. Pihak hotel juga kerepotan karena front office kebanjiran panggilan telepon. Mouyi lantas memilih segera pergi dari hotel dan berhasil lolos dari kejaran para laki-laki tadi. Namun, ia gagal lolos dari jeratan hukum. Akibat ulahnya ini, polisi mengejar Mouyi dan menangkapnya atas tuduhan prostitusi dan mengganggu operasional hotel tempat dia menginap sebelumnya. Sebagai ganjaran, Mouyi divonis penjara 15 hari dan denda 500 RMB. Media sosial Mouyi pun dibekukan sejak itu.
Dari tanah Afrika sebulan sebelum kasus Mouyi terjadi, seorang bintang pop Mesir juga ditahan setelah ia tertangkap kamera melontarkan ujaran yang dianggap tidak sensitif. Lebih dari setahun lalu saat mengadakan konser di Uni Emirat Arab, Sherine Abdel Wahab sempat berseloroh di depan penggemar: meminum air Sungai Nil bisa menyebabkan penyakit schistosomiasis—parasit yang sempat mewabah di Mesir.
Kritik lantas menghujani Sherine dan penyanyi ini sempat meminta maaf atas pernyataannya via Facebook. Namun, ucapan Sherine tetap diperkarakan secara hukum sampai akhirnya ia dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda 10.000 EGP karena dianggap menyebarkan berita bohong.
Masih soal tuduhan membuat berita bohong, di Inggris pada 2006 silam, seorang pengusaha sempat dijatuhi hukuman penjara dua bulan setelah mengatakan bahwa dirinya membawa bom ke pesawat. Dilansir The Scotsman, setelah Peter Aldred melontarkan ucapan tersebut kepada pramugari EasyJet, 124 penumpang harus dievakuasi dan penerbangan ditunda. Begitu petugas memeriksa tas Aldred, hasilnya tidak sesuai klaim laki-laki tersebut. Akibat lelucon Aldred, EasyJet menelan kerugian sebesar 25.000 poundsterling.
Bukan hanya Aldred yang berurusan dengan hukum karena bercanda tak pantas di Inggris. Tahun 2016, Mark Meechan juga harus berurusan dengan pengadilan setelah mengunggah video candaan di Youtube. Niat awalnya hanya menggoda pacarnya. Meechan mengangkat sebelah kaki depannya, diimbuhi kelakar "gas the Jew" dan "sieg heil", sebuah ucapan penghormatan yang dipakai Nazi. Meechan pada akhirnya harus ke meja hijau karena dianggap telah menyebarkan ujaran ofensif dan sikap anti-Semit.
Kasus keisengan berupa informasi palsu yang dilontarkan calon penumpang pesawat terbang sempat terjadi pula di dalam negeri. Tahun 2015, seorang penumpang Airfast asal Wamena diamankan petugas setelah mengatakan membawa bom dalam kardus di Bandara Adi Sumarmo, Boyolali, Jawa Tengah.
Atas perbuatannya itu, Komandan Lanud Adi Sumarmo, Agus Priyatno menyatakan bahwa penumpang yang bermaksud bercanda tersebut bisa dikenakan sanksi sesuai pasal 437 UU Penerbangan yang berbunyi “Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”
Setahun kemudian, seorang anggota TNI membuat informasi palsu serupa di bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru. Penumpang Lion Air tersebut membuat penerbangan tertunda setelah mengabarkan pramugari bahwa ia membawa bahan peledak. Kepada Antara, Komandan Detasemen Polisi Militer TNI AD Pekanbaru, Letkol CPM Johny JP Pelupessy menyatakan bahwa yang bersangkutan akan dikenakan sanksi disiplin dari kesatuannya.
Sebagian orang memandang ada batasan samar antara candaan yang hanya buat senang-senang dan hoaks yang meresahkan. Seorang laki-laki berinisial H di Mamuju, Sulawesi Barat, ditangkap polisi setelah membuat status Facebook yang diklaimnya cuma kelakar. Ia menulis dengan gaya penulisan berita soal keadaan kotanya yang siaga 1 karena telah ditemukan korban mutilasi bernama Martha di daerah pasar lama.
Di pengujung status, ia baru mencantumkan punchline komedi dengan menerangkan bahwa Martha yang dimaksud adalah “MarthaBak telor”. Kendati sudah menuliskan kalimat tersebut, H tetap diproses secara hukum karena dianggap telah meresahkan warga.
Dalam kasus-kasus individual seperti Mouyi dan Aldred, informasi palsu yang mereka buat mengakibatkan kerugian bagi hotel dan maskapai. Namun, ada kasus ketika informasi palsu dibuat oleh suatu perusahaan dan merugikan diri mereka sendiri.
Pada April Mop 2016 lalu, Google membuat fitur “mic drop” untuk Gmail. Fitur ini berbentuk tombol oranye di samping tombol kirim yang terdapat di Gmail, berisi gambar karakter Minion yang menjatuhkan mikrofon. Fitur ini membuat percakapan seseorang di e-mail terhenti dan ia tidak bisa mengakses balasan dari orang-orang yang ia kirimi pesan.
Alih-alih mengundang pujian khalayak atas "kreativitasnya", Google justru mendapat tanggapan negatif dari sebagian pengguna Gmail. The Guardian melaporkan, ada seorang penulis yang kehilangan pekerjaannya karena gagal mengirim tulisan tepat waktu kepada atasan setelah menekan tombol mic drop. Di forum bantuan, ada yang menggerutu korespondensi bisnisnya terdampak setelah ia menekan tombol tersebut. Lalu, ada juga yang menyatakan sempat bereaksi kasar terhadap salah satu pelanggannya setelah tidak sengaja mengeklik tombol mic drop.
Dari penangkapan Mark Meechan, muncul wacana tentang seberapa bebas seseorang berekspresi di muka umum. Komedian Inggris Ricky Gervais membela Meechan dengan mengatakan di Twitter, “Jika Anda tidak percaya pada hak seseorang untuk mengatakan sesuatu yang Anda anggap ofensif, artinya Anda tidak percaya pada kebebasan berpendapat.”
Di satu sisi, internet, khususnya media sosial, dipandang sebagai ruang personal tempat seseorang bisa mengungkapkan isi kepala dan hatinya. Namun di lain sisi secara bersamaan, medium tersebut juga dianggap sebagai ruang publik yang memungkinkan setiap pengguna menjadi polisi-polisi moral yang membatasi ekspresi satu sama lain.
Seseorang bisa saja membuat status atau mengunggah gambar dan video yang diperuntukkan hanya bagi pengikut-pengikutnya. Ia pun bisa menghapus unggahan-unggahan tersebut setelah memublikasikannya di internet. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan unggahannya tetap tersimpan dan tersebar luas lalu mendatangkan konsekuensi negatif di kehidupan nyata.
Penulis: Patresia Kirnandita