Menuju konten utama

Lelucon Seksis Bukan Sekadar Lelucon

Mantan pemain Liverpool, Steven Gerrard, baru saja mendapat kritik pedas dari warganet. Gara-garanya, Ia mempublikasikan tulisan bernada seksis di akun media sosialnya.

Lelucon Seksis Bukan Sekadar Lelucon
Ilustrasi catcalling. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sebuah foto yang menampilkan tiga anak perempuan dan satu bayi laki-laki belum lama ini diunggah oleh Steven Gerrard. Mereka adalah anak-anak dari laki-laki 37 tahun tersebut. Sekilas, tampak tidak ada yang salah dengan foto keluarga yang ditampilkan Gerrard di Instagram itu. Namun, ketika membaca caption-nya, warganet dapat menangkap rangkaian kata yang tak pantas diucapkannya.

“Sepertinya, cucian dan setrikaan-nya (putra Gerrard) sudah ada yang mengurus saat dia dewasa kelak,” demikian ditulis ayah dari Lilly-Ella, Lexie, Lourdes, dan Lio itu.

Kontan, kalimat ini memicu kontroversi. Sebagian pengikut akun dan penggemar Gerrard merasa kecewa mendapati tulisan semacam ini. Mereka berargumen, kalimat yang dicantumkan Gerrard di media sosialnya mencerminkan sikap seksis dan tidak sensitif.

“@stevengerrard Saya seorang penggemar Liverpool dan saya kecewa dengan post seksis semacam ini.”

“Saya begitu menggilai kalian, saya tak bisa mengatakan saya memaafkan pemain sepak bola favorit saya setelah ia mengucapkan hal seperti ini. Kita tahu ini sebuah lelucon, tapi ini juga sesuatu yang sangat buruk. Pahamilah bahwa mentalitasmu (Gerrard) memengaruhi anak-anakmu, tentunya kamu tak ingin putri-putrimu tumbuh dengan berpikir mereka ada untuk melayani laki-laki.”

“Lihat caption menjijikkan itu!!!”

Demikian cuplikan-cuplikan tanggapan warganet yang menyatakan sikap kontra terhadap pernyataan Gerrard seperti dilansir situs Express. Sementara, sebagian lainnya memaklumi ucapan suami Alex Curran ini. Mereka tak ambil pusing dengan kata-kata yang dianggap sebatas candaan.

“Para perempuan mengeluh, ini sebuah lelucon! Apakah kalian tidak punya hal lain untuk dikerjakan?” begitu salah satu ungkapan warganet yang mencoba membela Gerrard.

Bahasa dan Cerminan Budaya Maskulin

Entah disadari atau tidak, ucapan Gerrard ini menyiratkan stereotip bahwa perempuan sudah sepatutnya mengerjakan hal-hal domestik. Banyak sekali peran-peran lain yang dilekatkan dengan perempuan, terlepas dari kenyataan bahwa mereka bisa memilih untuk mengambil atau tidak peran tersebut.

Perempuan dianggap lebih pasif atau submisif, tidak sepatutnya mengekspresikan seksualitas, dan berhubungan badan hanya untuk kepentingan prokreasi adalah contoh-contoh gagasan yang dikemukakan oleh psikoanalis Sigmund Freud. Tak hanya disiplin ilmu yang melanggengkan stereotip semacam ini. Dalam praktik kehidupan sehari-hari seperti ritual budaya, percakapan di ranah kerja dan lingkungan pergaulan, atau bincang-bincang pada makan malam keluarga, ujaran-ujaran seksis kerap ditemukan.

Laki-laki pun merasakan stereotip serupa. Kata-kata seperti “Laki-laki kok menangis?”, “Yang benar saja! Kamu menari balet?”, atau “Kenapa kamu menjadi bapak rumah tangga?” adalah segelintir ucapan seksis yang tak jarang didengar. Dengan melakukan hal-hal yang jamak dilakukan perempuan, mereka dianggap mencederai nilai-nilai maskulinitas yang dominan di masyarakat.

Dalam konteks aktivitas seksual, bahasa-bahasa seksis juga tidak jarang terdengar. Sebagian laki-laki menganggap perempuan sebagai objek hasrat seksual mereka dengan mengatakan, "Perempuan yang ini sudah pernah saya 'pakai'.". Alih-alih menganggap para perempuan sebagai makhluk yang setara dan sama-sama menjadi subjek, laki-laki seperti ini melihat mereka serupa benda mati yang bisa diperlakukan sesuka hati.

Sherryl Kleinman, pengajar Departmen Sosiologi, University of North Carolina, berargumen bahwa bukan tanpa sebab bahasa cenderung memberi privilese kepada laki-laki. Sejak lama, peran perempuan di ranah publik dikesampingkan sehingga ujaran-ujaran yang lazim digunakan pun diciptakan dan diatur oleh laki-laki. Alih-alih sekadar merepresentasikan realitas, bahasa juga menjadi peneguh realitas itu sendiri. "Kata-kata adalah sarana yang digunakan untuk mengejawantahkan pemikiran. Kita bisa memakainya untuk memelihara status quo atau justru menawarkan pemikiran baru—yang pada akhirnya memunculkan potensi hadirnya realitas baru," demikian dijelaskan Kleinman dalam tulisannya yang bertajuk Why Sexist Language Matters.

infografik bahasa seksis dalam keseharian

Mengapa Orang-Orang Membuat Komentar Seksis?

Dalam studi yang dilakukan oleh Christopher J. Hunt, psikolog klinis dari University of Sidney, dipaparkan bahwa laki-laki melontarkan komentar atau lelucon seksis untuk memperkuat ikatan dengan sesama teman laki-lakinya. Alih-alih menghiraukan perempuan yang menjadi objek lelucon, mereka lebih memikirkan bagaimana tanggapan teman sejenisnya ketika mengutarakan pernyataan seksis tentang perempuan atau kaum homoseksual.

“Membuat lelucon tentang perempuan atau hinaan terhadap orang-orang homo memperkuat ikatan antarlaki-laki karena perempuan dan gay merepresentasikan yang 'liyan'; dalam terminologi psikologi sosial, perempuan dan gay dipandang oleh kaum laki-laki sebagai ‘out-group’, sementara sesama laki-laki heteroseksual dipahami sebagai ‘in-group’,” tulis Hunt dalam situs The Conversation.

Persetujuan dari sesama laki-laki untuk membuat lelucon merendahkan perempuan pada akhirnya menjadi suatu norma sosial yang diterima di berbagai konteks masyarakat. Begitu norma sosial "mengizinkan" mereka untuk mengeluarkan kata-kata diskriminatif dan penuh prasangka, orang-orang pun tak segan melecehkan perempuan yang masih dipandang sebagai warga kelas dua.

Bahaya Bahasa Seksis dan Upaya Menangkalnya

Jika beberapa pihak melihat tidak ada masalah dengan lelucon atau bahasa-bahasa seksis, Thomas E. Ford, Professor of Social Psychology dari Western Carolina University, justru memandang sebaliknya. Ia menyampaikan sejumlah hasil studi tentang perilaku para laki-laki yang terbiasa bersikap atau terpapar lelucon seksis. Pertama, mereka dilaporkan memiliki level toleransi yang lebih tinggi terhadap pelecehan berbasis gender di tempat kerja. Kedua, para laki-laki ini juga kerap memotong dana untuk organisasi-organisasi perempuan di kampus setelah mengonsumsi lawakan seksis. Tidak cukup sampai di situ, sejumlah peneliti juga melihat kecenderungan para laki-laki yang terpapar lelucon seksis akan melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan.

Semakin sering orang mengatakan, “Itu kan, cuma lawakan”, semakin besar pula kemungkinan seksisme dilanggengkan dalam macam-macam konteks. Rasa tidak sensitif dimulai dari hal yang remeh temeh atau sesuatu yang kadung terinternalisasi semacam bahasa ini.

Meskipun bukan perkara mudah untuk meningkatkan kesadaran orang supaya tidak menggunakan bahasa-bahasa atau melemparkan lelucon seksis, bukan berarti hal ini tak dapat dilakukan. Hunt memandang, peran para laki-laki berpengaruh dalam peer group atau pemangku jabatan strategis begitu signifikan dalam mengubah cara pandang dan berperilaku seksis.

Sementara untuk menginternalisasi bahasa nonseksis kepada anak-anak, orangtua, guru, atau orang dewasa di sekitarnya dapat memperkenalkan berbagai macam aktivitas atau permainan yang kerap dilekatkan pada gender tertentu. Tidak ada salahnya menyuguhkan hal-hal yang biasa digemari atau dikerjakan anak perempuan kepada anak laki-laki dan mengatakan sah-sah saja bila mereka memainkannya. Memperkenalkan beberapa perempuan dewasa yang melakoni pekerjaan yang kerap dijalankan laki-laki juga menjadi upaya lain untuk merobohkan konstruksi seksis tentang dikotomi profesi.

Baca juga artikel terkait SEKSISME atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti