tirto.id - Markas Polsek Ciracas, Jakarta Timur diserang sejumlah anggota TNI AD pada Sabtu (29/8/2020) dini hari. Penyerangan dipicu kabar bohong Prada Muhammad Ilham kepada rekan-rekannya.
Ilham, anggota Satuan Direktorat Hukum TNI AD, mengaku jadi korban pengeroyokan saat di jalan kepada rekan satu angkatan 2017 dan senior. Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo mengatakan sebaliknya. Ilham, berdasarkan penyelidikan, “tidak konsentrasi dan tidak dapat mengendalikan sepeda motor saat akan menyalip... sehingga terjatuh sendiri.”
Pengakuan serupa dikatakan saksi mata. Kamis (27/8/2020) sekitar 20.30 Ilham kecelakaan tunggal dan sempat "enggak sadarkan diri."
Para tentara merusak sejumlah mobil, sepeda motor, fasilitas polsek, dan melukai dua polisi. Akibat perbuatan tersebut, Ilham dan 11 anggota TNI AD lainnya ditahan--dengan status belum tersangka--di Pomdam Jaya, Guntur, Jakarta Selatan, sejak Minggu (30/8/2020).
Konflik yang melibatkan TNI dan Polri bukan hal baru. Pemicunya bisa disebabkan oleh ketidakpuasan penanganan perkara oleh polisi. Itu terjadi di lokasi yang sama dua tahun lalu. Pada 11 Desember 2018, Polsek Ciracas pernah diserang oleh terduga anggota TNI. Pemicunya perseteruan seorang TNI dengan juru parkir swalayan. Massa membakar polsek dan melukai empat polisi.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai penyerangan ini terjadi karena arogansi TNI. Mereka merasa memiliki wewenang di bidang pertahanan, hak menenteng senjata, juga sejarah panjang sebagai penjaga stabilitas selama tiga dekade Orde Baru.
Khusus di Ciracas, itu ditambah “banyaknya markas militer di sekitar situ.” “Tidak mengherankan bila arogansi mereka semakin besar,” ujar Bambang kepada reporter Tirto, Senin (31/8/2020).
Dalam waktu yang lebih lampau, Batalyon Lintas Udara 100 Kostrad terlibat bentrok dengan Kepolisian Resor Langkat, Sumatera Utara pada 29 September 2002. Pemicunya penangkapan anggota Linud 100 karena memiliki obat terlarang. Pada 19 September 2014, polisi bentrok dengan TNI saat sedang menggerebek gudang penyimpanan Bahan Bakar Minyak (BBM) ilegal. Belakangan diketahui gudang tersebut dibeking anggota TNI setempat.
Bentrokan kadang dipicu hal lebih remeh. Pada 21 Desember 2019, anggota TNI 734 SNS dan Brimob di Kepulauan Tanimbar, Maluku bentrok di Pasar Saumlaki sebab TNI tidak diterima ditegur Brimob karena tidak menggunakan helm saat berkendara. Enam polisi dan satu sipil terluka.
Pada 12 April 2020, lima anggota Polres Mamberamo Raya mengalami luka tembak dan tiga di antaranya meninggal dunia. Setelah diserang anggota Satgas Pamrahwan Yonif 755/Kostrad. Pemicunya hanya karena kesalahpahaman.
Setiap bentrokan ini memiliki akar persoalan yang sama, kata Bambang: arogansi tentara.
Selain itu, ini diperparah dengan institusi yang tidak memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku. Penindakan kasus yang tidak tuntas, transparan, serta hanya “dianggap kenakalan anak-anak yang selesai dengan seremoni para pucuk pimpinan.” “Efek sampingnya malah menjadi kebanggaan semu, yang malah menambah arogansi mereka pada polisi yang seharusnya dihormati.”
Kepolisian juga memiliki andil atas situasi ini. Sebagai institusi yang memiliki kewenangan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi seringkali mempermainkan hukum. Oleh karena itu “Kapolri juga harus lebih meningkatkan kualitas pelayanan maupun pengawasan untuk anggotanya, agar tak memainkan pasal-pasal yang mencederai keadilan masyarakat.”
Reformasi Peradilan Militer
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai arogansi militer juga dipengaruhi tertutupnya sistem peradilan mereka. Setiap anggota militer yang melanggar hukum disidang secara internal dan tertutup untuk umum sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sistem peradilan ini memberikan kesan militer tak tersentuh peradilan umum.
Karena itu, sebagai penyelesaian jangka panjang, ia mendorong parlemen dan pemerintah mengubah sistem peradilan militer.
“Dengan peradilan militer direformasi, siapa pun oknum TNI yang melakukan tindak pidana harus diadili di peradilan umum,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Untuk penyelesaian konflik jangka pendek, Gufron mendukung agar setiap kasus diselidiki secara tuntas dan para pelaku ditindak tegas.
Ia juga mendorong agar para pimpinan dua lembaga saling memperbaiki koordinasi, memperkuat pengawasan, dan meningkatkan kesejahteraan para anggota. Ia juga mendorong agar masing-masing lembaga meningkatkan kesadaran hukum para anggota agar tidak lagi mempertontonkan jiwa korsa yang salah kaprah kepada publik.
“Tidak boleh lagi ada toleransi, reformasi secara menyeluruh di kedua institusi tersebut perlu didorong,” ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino