Menuju konten utama

Pemerintahan Sipil Jokowi di Tangan TNI & Polri

Pelibatan TNI Polri di institusi sipil akan ditambah di BNPB. Hal ini mempertegas bahwa pemerintahan sipil Jokowi sangat bergantung ke dua institusi tersebut.

Pemerintahan Sipil Jokowi di Tangan TNI & Polri
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (kanan) dan Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz (kedua kanan) meninjau salah satu pusat perbelanjaan, di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/5/2020). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/hp.

tirto.id - Dalam rapat bersama DPR RI, Selasa (23/6/2020) lalu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo menyampaikan sejumlah rencana terkait "penguatan TNI-Polri". Salah satunya terkait penempatan perwira aktif di instansi lain.

Tjahjo mengatakan deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan ditambah "unsur bintang 2 kepolisian dan bintang 2 TNI".

Menurutnya, hal ini penting karena TNI dan Polri merupakan organisasi yang memiliki struktur hingga tingkat paling bawah-- Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan Babinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Hierarki TNI dan Polri dapat diandalkan saat bencana karena bersifat komando. "Untuk menggerakkan polda sampai di tingkat paling bawah," katanya.

Jika rencana ini terealisasi, maka ruang bagi Polri dan TNI aktif di pemerintahan Presiden Joko Widodo semakin luas dan dalam.

Ardi Manto Putra, peneliti dari Imparsial, LSM yang mengadvokasi isu-isu HAM, mengatakan kebijakan ini berakar dari pandangan bahwa "TNI-Polri dianggap paling disiplin dan bisa menjadi solusi bagi setiap persoalan."

Hal ini misalnya terlihat ketika pemerintah mengerahkan aparat mendisiplinkan masyarakat menuju era the new normal alias kenormalan baru. Selasa (26/5/2020) lalu Jokowi mengatakan setidaknya ada 340 ribu TNI-Polri disiagakan di seluruh Indonesia dan bakal diperbanyak. Jokowi juga mempercayakan TNI dan Polri untuk membantu memulihkan sektor pariwisata yang lesu karena Corona.

Jauh sebelum itu, pada periode pertama pemerintahannya, pejabat TNI juga sudah mendapatkan 'kursi sipil'. Mereka misalnya Letjen Doni Monardo (Kepala BNPB) dan Kolonel (Pas) Roy Rassy Fay M. Bait (Kepala Bagian Umum dan Hukum Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian ESDM). Sementara pada periode kedua ada Marsekal Madya Adi Pahril Pawi (Komisaris PT Bukit Asam) dan Laksamana Madya Achmad Djamaludin (Komisaris Utama PT Pelindo 1).

Korps Bhayangkara lebih banyak. Pada periode pertama ada Irjen (purn) Setyo Wasisto yang diangkat sebagai Irjen Kementerian Perindustrian, kemudian Komjen (purn) Iriawan dan Irjen Martuani Sormin yang menjabat pejabat sementara daerah.

Pada periode kedua, ada nama-nama seperti Antam Novambar (Plt Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan), Carlo Brix Tewu (Deputi Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-undangan Kementerian BUMN sekaigus Komisaris PT Bukit Asam), Komjen Andhap Budi Revianto (Irjen Kemenkumham), Irjen Reinhard Silitonga (Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham), dan Irjen Arman Depari (Komisaris Pelindo 1).

Selain "menganggap TNI-Polri adalah solusi" meski hal tersebut belum tentu benar, Ardi mengatakan strategi ini ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah kelebihan prajurit aktif atau masalah perwira TNI-Polri non-job. "Artinya, tata birokrasi di kedua institusi tersebut bermasalah, lalu kemudian mengorbankan BUMN untuk menampung mereka," kata Ardi kepada reporter Tirto, Rabu (24/6/2020).

Beberapa masalah penempatan TNI-Polri ini adalah: potensial memperlemah instansi karena menyulitkan reformasi birokrasi, juga potensial melanggar UU. Selain itu, yang menurutnya paling bermasalah adalah "akan menjadikan pendekatan keamanan sebagai solusi segala permasalahan yang ada."

Satu contoh pendekatan keamanan terjadi di Sidoarjo dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Sumardji pernah mengatakan "kalau ada pelaku kejahatan main-main, menjadikan wilayah Sidoarjo untuk dijadikan tempat melakukan kejahatan, saya perintahkan tembak di tempat." Instruksinya dipertegas: "Jangan kakinya, dadanya [yang di]tembak."

Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan kebijakan ini akan merusak tatanan hukum, sebab keberadaan TNI-Polri di organisasi sipil bisa menimbulkan conflict of interest. "Kalau ada kasus korupsi kan mungkin disidik oleh polisi, sedangkan dia juga adalah polisi," Asfin memberi contoh, Rabu.

TNI lebih sulit sebab mereka saat ini masih diadili di peradilan militer, bukan sipil. Sementara peradilan militer, kata Asfin, selama ini "tidak terjangkau".

Ia, sama seperti Ardi, mengatakan pendalaman peran TNI-Polri akan mempertegas pendekatan keamanan untuk semua masalah. Pendekatan ini berbahaya karena "yang dipertaruhkan demokrasi."

"Jangka panjangnya," katanya, "akan mengacaukan politik negara hukum kita."

Baca juga artikel terkait PEMERINTAHAN JOKOWI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino