tirto.id - "Cabut dwi-fungsi ABRI!" adalah salah satu slogan yang paling banyak dikumandangkan di jalanan oleh para pemuda-mahasiswa sebelum Soeharto jatuh hingga periode awal reformasi. Itu adalah satu dari beberapa amanat gerakan reformasi, yang, sayangnya, belum betul-betul terealisasikan meski presiden telah berganti berkali-kali.
Alih-alih mengembalikan tentara ke barak, yang terjadi justru sebaliknya: pimpinan sipil, termasuk Joko Widodo, malah secara sadar menarik kembali mereka ke tengah-tengah kita. Upaya ini terjadi di tengah seringnya Jokowi bicara soal netralitas aparat. Ia mengatakan soal netralitas ini, misalnya, saat memberikan pengarahan kepada ribuan babinsa di Balai Prajurit di Makassar, 29 Juli tahun lalu.
Gagasan utama dwifungsi adalah keikutsertaan angkatan perang dalam politik. Konseptornya adalah Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution ketika menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. Nasution memperkenalkan konsep "jalan tengah" yang jadi embrio dwifungsi. Jalan tengah membuka jalan bagi militer untuk berpolitik, bahkan mencampuri urusan sipil atas nama "stabilitas nasional" di kemudian hari.
Jika pengertian soal dwifungsi ini yang dipegang, maka kita bisa menyebut beberapa kasus yang mengindikasikan kembalinya dwifungsi itu di era Jokowi. Kita juga bisa menyebut beberapa harapan Jokowi ke tentara yang sebetulnya sama sekali di luar tugas utama mereka—berperang dan menjaga teritori negara.
Beberapa contoh adalah pelibatan tentara dalam proyek swasembada beras hingga menertibkan demo dan mogok buruh.
Pelibatan tentara untuk 'mencetak sawah' dilakukan dengan dasar perjanjian kerja sama antara Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo pada Januari 2015. Sementara pelibatan tentara menertibkan demo/mogok adalah berdasarkan nota kesepahaman antara Polri dan TNI pada awal tahun 2018.
Yang paling baru, keinginan Jokowi untuk mengatasi masalah perwira nonjob di internal TNI dengan menciptakan 60 pos baru. Rencana ini kemudian diterjemahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, salah satunya dengan mendistribusikan para perwira itu ke kementerian. Hadi bahkan mewacanakan penempatan ini diatur dan dimasukan dalam revisi UU TNI.
Usulan ini dianggap masalah lantaran mengkhianati agenda reformasi. "Itu jelas masalah. Kita harus ingat UU TNI sebagai pedoman jelas mengatur batasan bagi TNI untuk beraktivitas di luar tugas pokoknya. Pemerintah harus hati-hati jika merevisi UU TNI melawan semangat reformasi karena itu akan sangat mengecewakan," kata peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi kepada reporter Tirto, Kamis (7/2/2019).
Pun demikian dengan pengamat militer sekaligus dosen FISIP UPN Veteran Jakarta, Beni Sukardis. Beni bilang, wacana ini seperti seperti langkah mundur. "Itu, kan, kembali ke dwifungsi ABRI. Kurang tepat kalau dia [TNI] masuk ke dalam lembaga-lembaga sipil lagi," katanya.
Agar dapat menempatkan para perwira itu, UU TNI mesti direvisi. Bagi Direktur Imparsial Al Araf, jika aturan itu jadi diubah demi memuluskan langkah menyerap tentara di instansi sipil, nama Jokowi sebagai presiden sipil dan bukan bagian dari Orde Baru akan tercoreng.
"Masyarakat akan menolak karena menganggap itu kemunduran reformasi TNI," katanya, juga kemarin.
Jadi 'Humas' Presiden Hingga Fasilitator BNPB
Selain (akan) terlibat dalam pelbagai urusan sipil, tentara era Jokowi juga dipergunakan layaknya humas.
Ini terlihat, misalnya, ketika Jokowi meminta tentara terlibat mensosialisasikan program dan kerja pemerintah. Permintaan ini disampaikan saat pidato di hadapan perwira Sekolah Staf dan Komando TNI dan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2018.
"Yang berkaitan dengan program-program pemerintah... yang telah banyak kita lakukan, saya titip agar seluruh perwira juga ikut mensosialisasikan," kata Jokowi.
Ia juga meminta para babinsa—struktur terendah di tentara—membantunya menangkal hoaks PKI. Para babinsa diminta menjelaskan ke masyarakat kalau dia sama sekali tak punya kaitan dengan partai yang telah dilarang sejak 1966 itu. Yang terbaru, rencana pelibatan 5.000 babinsa sebagai fasilitator BNPB tahap pascabencana.
Bagi Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri, apa yang dilakukan Jokowi adalah bentuk abuse of power: memerintahkan aktor keamanan di luar tugas pokoknya. Ghufron menganggap Jokowi telah melanggar regulasi yang sudah ada sebab kondisi objektif yang mendukung pelibatan TNI belum ada.
"Enggak bisa sekonyong-konyong pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi mendorong pelibatan tentara di luar tugas pokoknya," katanya.
Mabes TNI membantah tengah berupaya kembali ke dwifungsi—posisi yang jelas menguntungkan mereka. Kepala Puspen TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan sejarah dwifungsi telah selesai ketika Soeharto jatuh pada 1998 lalu.
"Saat reformasi kami mengalami transformasi. Jadi kalau kembali ke sana [dwifungsi] kami bingung caranya bagaimana," katanya, Rabu (6/2/2019) kemarin.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mufti Sholih