tirto.id - Pada 24 Mei lalu, seorang pria bernama Justinus Silas Dimara (35) asal Hamadi Jayapura Selatan tewas setelah menghindari semprotan air dari water cannon milik personel gabungan Satgas COVID-19. Berdasarkan keterangan warga seperti yang dilaporkan Jubi, Justinus terpelanting dan mengalami pendarahan pada telinga kanan dan hidung kiri.
Ia sempat dilarikan ke RSAL dr. Soedibjo Sardadi. Belum jelas apakah dia meninggal di tempat, dalam perjalanan, atau saat di rumah sakit.
Menurut keterangan polisi, petugas menyambangi Justinus dan rekan-rekannya yang diduga menenggak miras di depan sebuah restoran tepat di tanjakan Angkatan Laut. Mereka dianggap melanggar ketentuan jam pembatasan kegiatan yang telah berlaku sejak 18 Mei sampai 4 Juni, yaitu pukul 2 siang.
Jam pembatasan ini berbeda dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah berlaku di banyak tempat dalam rangka menekan penyebaran COVID-19. Dalam PSBB, masyarakat dilarang berkumpul. Kota Jayapura belum menerapkan PSBB. Jam pembatasan diterapkan atas keputusan bersama Pemprov Papua dan Kota Jayapura, berlaku termasuk untuk pasar, terminal, dan pusat keramaian lain.
Justinus dan kawan-kawan tak juga bubar meski telah diimbau. Saat itulah aparat menyemprotkan air. Kata polisi, Justinus berupaya menghindar. Tapi karena mabuk, ia hilang keseimbangan dan jatuh.
Pelibatan TNI-Polri Berbahaya
Masih mengutip Jubi, Emanuel Gobay dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mengatakan apa yang dialami Justinus memperpanjang "kasus kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di masa pandemi COVID-19."
Namun alih-alih dievaluasi, pelibatan aparat akan semakin diperdalam.
Pada Selasa (26/5/2020) kemarin, saat meninjau stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia Jakarta, Presiden Joko Widodo mengatakan TNI dan Polri akan disiagakan di keramaian untuk mendisiplinkan masyarakat dalam rangka menyongsong era new normal atau kelaziman baru.
"Pasukan berada di titik-titik keramaian dalam rangka mendisiplinkan masyarakat agar mengikuti protokol kesehatan sesuai PSBB," katanya.
Pengerahan TNI dan Polri akan dilaksanakan di empat provinsi dan 25 kabupaten/kota yang telah menerapkan PSBB. Persebarannya mungkin diperluas. Jumlah aparat yang dikerahkan mencapai 340 ribu.
New normal adalah situasi sebelum pandemi plus penerapan protokol kesehatan seperti pakai masker, rajin cuci tangan, tidak berkerumun, dan sejenisnya. New normal adalah ejawantah dari pernyataan Jokowi yang mengatakan sampai vaksin ditemukan, masyarakat harus "hidup berdamai dengan COVID-19."
Analis keamanan, terorisme dan intelijen Stanislaus Riyanta mengatakan kepada reporter Tirto, Rabu (27/5/2020), kalau "negara mempunyai kewenangan untuk menggerakkan instrumennya dalam menangani situasi ini," termasuk TNI-Polri, karena pandemi COVID-19 telah ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam.
TNI dapat dilibatkan dengan dasar hukum Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang TNI tentang operasi militer selain perang (OMSP). Dasar hukum lainnya adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
"Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana pun menyebutkan pelibatan TNI. Terkait keterlibatan Polri itu lebih jelas lagi karena fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat," Stanislaus menambahkan.
Namun Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar tak setuju dengan pelibatan aparat karena menurutnya itu justru "membentuk situasi tidak normal, bukan pengkondisian kelaziman baru."
"Malah cenderung masuk ke ranah sipil dan berbuat sewenang-wenang. Keterlibatan mereka dalam penanganan COVID-19 menyusutkan kebebasan sipil," jelas Rivanlee ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/5/2020).
Alih-alih TNI-Polri, pemerintah sebenarnya bisa mengerahkan struktur lain hingga tingkat desa. Lewat merekalah pemerintah punya kendali "buka-tutup keran keramaian," kata Rivanlee. Selain itu, "kenormalan yang baru semestinya lebih banyak otoritas kesehatan yang mampu menunjukkan peranan dalam PSBB."
Lagipula pengerahan TNI dan Polri pun selama ini tidak menurunkan kurva penyebaran COVID-19. Ini ditunjukkan dengan grafik kasus positif yang terus meningkat. Sementara alasan agar masyarakat disiplin karena selama ini mereka susah diatur, kata Rivanlee, hanya "menutupi ketidaktegasan kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 selama ini."
Seperti Rivanlee, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga menganggap pelibatan TNI-Polri tidak tepat.
"Jika ada kekhawatiran tentang gejolak sosial, maka pendekatannya pun harus berbasis pada kemanusiaan. Bukan didekati dengan pendekatan TNI karena itu sama artinya dengan mengerahkan kekuatan perang dalam menghadapi ancaman yang bukan perang," ujar Usman kepada reporter Tirto.
Klaim Persuasif
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan polisi "akan mengedepankan upaya-upaya persuasif."
"Bukan untuk penegakan hukum, namun lebih mengedepankan edukasi agar masyarakat disiplin. Karena ketaatan dan kedisiplinan masyarakat adalah kunci keberhasilan new normal," ujar Ahmad di Mabes Polri, Rabu (27/5/2020).
"Jika masih ada yang tidak patuh, Polri akan melakukan tindakan tegas sesuai ketentuan," tambahnya.
Sementara Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo mengklaim kehadiran TNI-Polri "bukan menimbulkan kekhawatiran" dan "bukan untuk menimbulkan ketakutan." Meski demikian, ia tidak memungkiri potensi masalah "kemungkinan besar akan timbul."
"Tetapi tadi Panglima TNI mengatakan lebih menekankan kepada pendekatan persuasif, pendekatan komunikatif, termasuk juga dari aparat kepolisian," kata Doni usai rapat bersama Presiden Jokowi, Rabu (27/5/2020).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino