Menuju konten utama

Baku Tembak & Represi TNI-Polri di Papua: Bisnis Tak Pernah Selesai

Jejak represi TNI dan Polri di Papua sangat panjang. Baru-baru ini mereka saling adu tembak. Tiga polisi meninggal.

Baku Tembak & Represi TNI-Polri di Papua: Bisnis Tak Pernah Selesai
Prajurit TNI Angkatan Darat menyanyikan yel-yel saat Apel Gelar Kesiapan Latihan Gabungan (Latgab) TNI "Manuvra Lapangan (Manlap) Dharma Yudha 2019" di Dermaga Ujung Koarmada II, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (5/9/2019). ANTARA FOTO/Moch Asim/foc.

tirto.id - Nada bicara Mei Rumaikewy meninggi saat membicarakan adiknya yang baru saja meninggal. "Kami tidak terima. Kami punya anak, punya adik, itu dalam keadaan sehat-sehat. Karena insiden yang sangat brutal, nyawa melayang."

"Ini kehilangan yang luar biasa. Pergi tanpa pesan, tiba-tiba. Ini luka, apalagi [untuk] mama."

Mei Rumaikewy bilang adiknya, Marselino Manserba Rumaikewy, seakan-akan musuh negara, padahal ia bekerja sebagai aparat berpangkat briptu, berdinas di Satuan Reskrim Polres Mamberamo Raya.

Marselino tewas akibat baku tembak dengan personel Satgas Pamrahwan Yonif 755/Yalet di pertigaan Jalan Pemda I Kampung Kasonaweja, Distrik Mamberamo Tengah, Kabupaten Mamberamo Raya, Minggu (12/4/2020), sekitar pukul 07.30 WIT. Berdasar keterangan tertulis dari Polda Papua, terdapat satu tembakan di luka leher kanan Marselino.

Dalam baku tembak itu dua polisi lain meregang nyawa. Mereka adalah Briptu Alexander Ndun (anggota Satuan Reskrim) yang terluka tembak pada paha kiri dan satu luka di leher kiri, serta Bripda Yosias Dibangga (anggota Satuan Sabhara).

Bripka Alva Titaley (anggota Satuan Reskrim) juga terluka tembak pada paha kiri, sementara Brigpol Robert Marien (anggota SPKT) kena tiga luka tembak di punggung. Mereka selamat, kini dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura.

Dari pihak TNI, Kopda Gerson (anggota satgas 432 BKO 755/Kostrad) mengalami luka sobek pada pelipis kiri akibat pukulan senjata.

Bentrok antara Polri dan TNI ini bermula pada Sabtu (11/4/2020), ketika anggota Polres Mamberamo Raya bernama Bripda Petrus menyewa motor kepada sopir ojek bernama Rahman Sakai, dengan biaya Rp50 ribu per jam. Saat dikembalikan, Petrus hanya memberi Rahman duit Rp50 ribu, padahal motor disewa selama tiga jam.

Rahman lantas menyerahkan surat-surat kendaraan ke Petrus. Petrus menginjak-injak surat tersebut.

Tak terima, Rahman lantas lapor ke Satgas Yonif 755 TNI. Sekitar 10 orang Satgas lantas mencari Petrus. Ia dikeroyok, lalu karena tak terima dipukuli 'saudara tua', lantas mengadu ke anggota Polres Mamberamo Raya.

Pada Minggu, puluhan personel Polres Mamberamo Raya menyambangi pos satgas dan mereka kembali ribut. Saat inilah adu tembak terjadi.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Mustofa Kamal menyatakan peristiwa itu masih dalam penyelidikan. "Tim yang akan urai permasalahan, kakak," kata Kamal ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (12/4/2020). Kamal enggan menyebut keduanya bentrok. "Tidak bentrok, hanya salah paham."

Apa yang akan diselidiki termasuk siapa persisnya pelaku penembakan. Mei Rumaikewy mengatakan ia belum tahu siapa yang menembak adiknya, meski faktanya penembakan terjadi di dekat pos TNI.

"Apakah negara melindungi pelaku yang brutal itu? Dibuka secara umum [identitas terduga pelaku], agar keluarga puas. Harus terang!"

Mei juga menuntut Kapolda Papua dan Pangdam Cenderawasih menindak pelaku seadil-adilnya, serta meminta Komnas HAM turun tangan.

Pemakaman Candra Jaya, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, jadi tempat peristirahatan terakhir Marselino, anak kesembilan dari sebelas bersaudara, kelahiran Merauke. Ia dikuburkan siang hari ini.

"Orang sambut Paskah dengan sukacita, tapi kami duka," ucap Mei.

Perempuan 40 tahun yang bekerja sebagai guru di salah satu SMP di Timika ini juga meminta para elite aparat mengevaluasi bawahannya yang membawa senjata.

"Bisa saja mereka dari daerah yang sama. Bekerja di negeri leluhur, kenapa ditembak? Di mana penghargaan bagi anak Papua ketika dia ikut proses pendidikan, kemudian mengabdi kepada negara?"

Bagi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, akar dari persoalan ini adalah impunitas. Di atas kertas, siapa pun yang menyalahgunakan senjata api harus dimintai pertanggungjawaban. Namun yang ideal itu selama ini tidak ditegakkan. Hasilnya tidak pernah ada efek jera, nihil efek gentar, dan tak terwujud keadilan bagi korban.

"Bayangkan saja, kasus-kasus penembakan terhadap aparat oleh aparat saja tidak pernah dituntaskan, bagaimana penembakan terhadap warga?" kata Usman kepada reporter Tirto. "Ini yang disepelekan, tak pernah dituntaskan. Akhirnya ada lagi, lalu dilupakan lagi," tambahnya.

Pernyataan Usman adalah rangkuman dari sejarah panjang kekerasan di Papua. Dalam laporan berjudul Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua (PDF), Amnesty mencatat "ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan antara Januari 2010 sampai Februari 2018, dengan memakan 95 korban jiwa." Polisi jadi tersangka dalam 34 kasus, tentara 23 kasus, dan keduanya dalam 11 kasus.

"Dari 69 insiden yang didokumentasikan dalam laporan ini," tulis mereka, "ada 25 kasus yang tidak ada investigasi sama sekali, bahkan tidak ada investigasi internal. Sementara dalam 26 kasus lain, polisi maupun militer mengaku telah melakukan penyelidikan internal, tetapi tidak mengumumkan hasilnya ke publik."

"Hanya ada enam kasus di mana para pelakunya bertanggung jawab secara hukum atas peristiwa pembunuhan di luar hukum" (hlm 8).

Advokat dari Perkumpulan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua Gustaf Kawer menyatakan baku tembak itu sebetulnya tak perlu terjadi jika TNI dan Polri memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing.

"Mereka tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai aparat," kata Gustaf kepada reporter Tirto. "Bagaimana melayani masyarakat jika antarkorps saja tidak saling menghormati?" katanya, retoris.

Gustaf mempertanyakan hubungan antara sopir ojek dengan TNI. Ia menduga ada simbiosis mutualisme bermotif ekonomi antara keduanya, sehingga TNI langsung merespons cepat saat si sopir ojek lapor. "Bisa diduga ada bisnis antara TNI dengan sopir ojek. Ini harus dibuka," katanya.

Hal serupa diungkapkan Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez S Yoman. "Mereka tidak disiplin, ini kekanak-kanakan. Penyelesaian masalah tidak perlu pakai kekerasan," ujar Socratez kepada reporter Tirto.

Perseteruan TNI-Polri

Perseteruan TNI-Polri bukan barang baru, meski para elite dua institusi ini yang dulu bergabung dalam ABRI berkali-kali mengatakan kalau mereka solid.

Khusus di Papua, bentrok pernah terjadi pada 30 Juni 2016, antara anggota Brimob Polda Papua Barat dengan anggota Kompi C752/VYS Arfai Manokwari di depan Mako Brimob Manokwari.

Setahun sebelumnya, tepatnya pada 2 Oktober 2015, dua polisi ditembak oleh anggota Paskhas TNI AU di Sentani.

Bentrok juga terjadi pada 13 Oktober 2014 antara anggota TNI Pos Yonif 756 dengan anggota Brimob BKO Kelapa Dua di Distrik Pirime. Saat itu Komandan Pos Yonif 756, Letda Inf Ali Okta, tertembak di lutut kiri.

Data yang dihimpun tim riset Tirto pada 2018, setelah kasus pembakaran Polsek Ciracas, menemukan sepanjang September 2002 hingga Juni 2018, ada 13 bentrokan antara TNI-Polri di seluruh Indonesia. Korban jiwa akibat bentrok para pemegang bedil tersebut enam orang. Korban luka setidaknya 24 orang, termasuk sipil.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino