tirto.id - Jargon kekompakan TNI dan Polri sering terlihat di mana-mana. Dari spanduk di tepi jalan hingga baliho mal. Kenyataannya anggota-anggota TNI dan Polri, terutama yang berpangkat rendah, sering bentrok. Sepanjang sejarah, kekompakan TNI-Polri hanya terlihat di antara para perwira tinggi dua institusi itu—paling tidak demikianlah yang mereka tampilkan di hadapan publik.
Data yang dihimpun Tirto memperlihatkan, sepanjang September 2002 hingga Juni 2018 ada 13 bentrokan dan perkelahian antara anggota TNI dengan Polri. Korban jiwa akibat pertikaian tersebut total berjumlah 6 orang. Sementara korban yang mengalami luka-luka setidaknya berjumlah 24 orang (termasuk korban sipil). Bentrokan terakhir terjadi di Polsek Ciracas pada Rabu (12/12/2018) dini hari.
Di antara matra-matra yang dulu tergabung di ABRI pada masa Orde Baru, personel Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian mudah ditemukan di mana-mana. Bagaimana pun keduanya bertugas di daratan, namun dengan tugas yang berbeda. AD menjaga keamanan, polisi memelihara ketertiban.
Jenis senjata mereka tentu berbeda. Tapi jika bicara pengaruh mereka dalam masyarakat, tidak jauh beda besarnya. Tentara dan polisi adalah golongan yang cukup terpandang. Walau katanya harus saling bersinergi dalam melayani masyarakat, tidak jarang keduanya tampak seperti Tom dan Jerry.
Sama-Sama Bagian dari Angkatan 45
“Omong kosong kalau ada yang mengaku di bulan Agustus 1945 memiliki kesatuan bersenjata. Yang ada pada waktu itu hanya pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin,” tegas Mayor Jenderal Soedharto, yang pernah jadi anggota Tentara Rakyat Indonesia Pelajar (TRIP), dalam endorsement buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2011).
Soedharto melanjutkan, “Tanpa peran pasukan-pasukan Polisi Istimewa di bawah M. Jasin tak ada peristiwa November 1945.”
Jika Tentara Nasional Indonesia (TNI) diakui lahir pada 5 Oktober 1945, atau cikal-bakalnya dianggap sudah ada sejak 22 Agustus 1945 dengan nama Badan Keamanan Rakjat (BKR), maka pada 21 Agustus 1945 sekelompok polisi bersenjata di Surabaya sudah menyatakan diri berada di belakang Republik Indonesia.
Merekalah para Polisi Istimewa, yang bersenjata dan siap tempur mendukung Republik Indonesia yang belum seminggu berdiri. Tapi hari heroik 21 Agustus 1945 itu tidak dijadikan hari lahir korps penerus Polisi Istimewa, yakni Brigade Mobil (Brimob).
Jadi, waktu TNI masih tergopoh-gopoh memilih panglima lewat sebuah "rapat koboi", Polisi Istimewa, meski kecil jumlahnya, sudah bertarung di front 10 November Surabaya. Polisi Istimewa kemudian sempat disebut Mobile Brigade (Mobrig) lalu Brimob.
Seperti tentara, satuan Mobrig juga ikut serta dalam menghadapi pergolakan bersenjata di daerah-daerah setelah ikut berperang melawan Belanda di masa Revolusi.
Tak hanya memukul pemberontak, menurut buku 20 Tahun Perkembangan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (1967), sekompi Brimob setidaknya pernah dikirim dalam operasi pendaratan di Papua (hlm. 210). Satuan ini memang berpengalaman melawan pemberontak dan tentara asing pada dekade awal sejarahnya.
Di luar front pertempuran, selain Brimob, anggota polisi lain pun terlibat dalam Revolusi. Begitu juga polisi dengan tugas intelijen di bagian Pengawas Aliran Masyarakat (PAM) di bawah pimpinan Komisaris Omargatab. Lembaga ini berperan besar dalam mengumpulkan data penting soal musuh-musuh negara.
Sama-Sama Pernah Diombang-Ambing Politik
Setelah selesainya Perang Dunia II, persaingan di tingkat global terus memanas dalam periode yang disebut Perang Dingin. Semua tahu Uni Soviet ingin meluaskan komunisme. Seperti halnya Amerika Serikat ingin jadi penguasa dunia yang dibasahi kaum pemodal. Medan perangnya pun tak hanya Eropa, tapi seluruh dunia. Indonesia sudah pasti masuk di dalamnya.
Amerika sudah sejak awal mendekati Indonesia. Berharap agar komunisme di Indonesia punah. Dilatihnya anggota Brimob oleh pasukan khusus Amerika contohnya. Menurut majalah Commando (Vol. IX Edisi Nomor 5, 2013), personel Brimob dikirim bergelombang (1955, 1959, 1960) untuk dilatih pasukan Amerika di Filipina. Dari sini kemudian lahir Brimob Ranger, yang belakangan berkembang menjadi Resimen Pelopor (Menpor).
Jika Kepolisan punya Brimob dengan Menpornya, Angkatan Darat punya pasukan khusus sendiri, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Pada awal 1960-an Kepolisian masuk ke dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejatinya, semua matra dalam ABRI berada di bawah kendali presiden. Namun, masih ada para panglima yang membawahi angkatan masing-masing.
Di era 1960-an, Amerika Serikat dianggap telah dekat dengan Angkatan Darat. Panglima Angkatan Darat kala itu, Letnan Jenderal Ahmad Yani, adalah penghubung terpenting.
“Salah seorang Amerika yang mempunyai hubungan paling dekat dengan Angkatan Darat Indonesia ialah George Benson, penasihat civic action untuk Angkatan Darat Indonesia. Ia mempunyai hubungan pribadi yang erat dengan Yani dan banyak perwira dari SUAD,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2007: 271).
Di tahun-tahun terakhir kepresidenan Sukarno, Angkatan Darat yang dipimpin Ahmad Yani tampil sebagai kekuatan penting di Indonesia. Sukarno berjaga-jaga dengan mendekati angkatan lain, terutama pasukan khususnya. KKO (Marinir-AL) dan Brimob tampil sebagai pasukan yang loyal kepada Sukarno.
Setelah Sukarno lengser, pasukan khusus Kepolisian dan Angkatan Laut mengalami penyusutan jumlah personel. Setidaknya ada Operasi Ikan Paus di KKO dalam rangka membersihkan unsur G30S di dalamnya. Menpor juga kemudian bubar dan Brimob jadi tak segarang zaman Sukarno.
Dikisahkan Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010: 152), waktu ada isu RPKAD akan menyerang Istana, Komisaris Soemirat menyarankan Sukarno ke luar Jakarta. Soemirat melakukannya atas nama Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo.
“Panglima bersama Kolonel Anton Soedjarwo sudah bersama Resimen Rangers Brimob. Sudah siap di Asrama Kelapa Dua, membantu pengamanan jika diperlukan,” kata Soemirat.
KKO yang dipimpin Mayor Jenderal Hartono juga siap membela presiden dan siap bertarung dengan pasukan manapun, termasuk RPKAD.
Setelah pengganyangan komunis 1965-1966, Angkatan Darat menjadi pemenang nomor satu. Selain komunis habis, pasukan elite RPKAD lebih berkembang ketimbang satuan elite lain. Dengan KKO dan Brimob yang tak sejago di zaman Sukarno dan Angkatan Udara yang terkucilkan karena tersangkut G30S, maka Angkatan Darat sudah tak punya "musuh" berarti.
Rasa permusuhan personel berpangkat rendahan memang tertanam lama di masing-masing angkatan. Personel Angkatan Darat yang benci polisi adalah hal biasa. Sudah tidak aneh jika, misalnya, seorang anggota AD melihat anak sekolah pakai baju pramuka dan tampak menjengkelkan, anak itu bisa dikatai “mata-mata Brimob.”
Itu diperparah dengan buruknya citra polisi di mata masyarakat sebagai “tukang tilang.” Maka polisi bisa makin direndahkan. Apa yang pernah terjadi di zaman kolonial pun terjadi lagi. Saat itu, KNIL meremehkan polisi karena korupsi van Rossen pada 1930-an.
Editor: Ivan Aulia Ahsan