Menuju konten utama

Kasus Polsek Ciracas: Jiwa Korsa TNI yang Tidak Pada Tempatnya

Perilaku tentara mendatangi Polsek Ciracas hingga memasuki sel untuk mencari tahanan adalah bukti jiwa korsa yang salah tempat.

Kasus Polsek Ciracas: Jiwa Korsa TNI yang Tidak Pada Tempatnya
Suasana Polsek Ciracas, Jakarta Timur, usai pembakaran oleh massa, Rabu (12/12/2018). tirto.id/Adi Briantika

tirto.id - Pelaku pembakaran Polsek Ciracas, Jakarta Timur, pada Rabu (12/12/2018) dini hari, memang belum jelas, meski terindikasi itu dilakukan oleh tentara berdasarkan keterangan beberapa saksi mata. Saat ini penyelidikan tengah dilakukan, baik oleh tentara maupun polisi.

Namun faktanya memang tentara mendatangi Polsek Ciracas, setidaknya begitu dalam laporan tertulis yang diterima reporter Tirto. Sekitar 300 tentara datang untuk meminta keterangan soal pengusutan kasus tukang parkir yang mengeroyok TNI AL Kapten Komaruddin (47) di depan Minimarket Arundina, Senin (10/12/2018) siang.

Dalam keterangan yang sama tertulis pula, "7 orang TNI masuk ke ruang tahanan Polsek untuk mencari pelaku."

Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan kasus ini adalah bukti bahwa tentara menempatkan "jiwa korsa" atau i'sprit de corps tidak pada tempatnya. Ia juga menilai kultur negatif belum banyak berubah sejak Soeharto jatuh tahun 1998.

"Semangat jiwa korsa yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Itu tidak dapat dibenarkan. Para pimpinan TNI harus memastikan anggotanya ditindak secara hukum," kata Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (12/12/2018) siang.

"Kultur negatif" yang Isnur maksud adalah kecenderungan untuk melangkahi proses hukum yang ada. Dalam kasus ini, seharusnya tentara tak perlu sampai mendatangi kantor polisi dan bahkan masuk ke sel—yang sepenuhnya otoritas polisi.

"Ini contoh yang sangat buruk. Kok bisa aparatur negara yang disumpah menjaga negara, malah memberi contoh melanggar hukum," tambah Isnur.

Isnur menambahkan, jika terbukti pelaku adalah tentara, maka mereka harus diadili lewat Peradilan Umum, bukan lewat Peradilan Militer. Ini sesuai dengan TAP MPR No VII/2000 pasal 3 ayat 4 poin a serta UU TNI No 34 Tahun 2004 pasal 65 ayat 2 yang menyatakan: "Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum."

"Jika anggota tentara melakukan tindak pidana, merusak di ranah publik dan sipil, ia harus diadili di Peradilan Umum. Namun selama ini TNI memang kurang patuh terhadap peraturan ini," jelas Isnur.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriany juga menilai hal serupa: bahwa penggerudukan kantor polisi adalah bukti bahwa jiwa korsa tidak ditempatkan pada tempatnya.

"Jika kantor polisi sebagai simbol penegakan hukum saja bisa diserang, juga motif penyerangan tidak diungkap dan diproses, maka ini akan mencoreng nama Polri dan mendegradasi simbol Polri sebagai penegak hukum," kata Yati.

Perilaku tentara yang tidak taat hukum sebetulnya bukan kali ini saja terjadi. Kasus serupa yang mirip terjadi Maret lima tahun lalu. Ketika itu 12 anggota Kopassus menyerang Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Mereka menerobos gerbang penjara, menahan sipil, dan menembak mati empat tahanan.

Bagi pengamat militer Aris Santoso, dua kasus ini jadi bukti bahwa pimpinan institusi tak melakukan apa-apa untuk mengubah kultur tersebut. "Pimpinan TNI terlihat sibuk dengan jabatannya masing-masing," katanya.

Peneliti studi militer sekaligus Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSIH) Beni Sukadis mengatakan banyak faktor yang membuat tentara kerap tak peduli dengan mekanisme hukum. Salah satunya, seperti yang tadi dinyatakan Aris, adalah soal kepemimpinan.

"Kepemimpinan yang tak patut dicontoh, integritas kepemimpinannya yang patut dipertanyakan," katanya kepada reporter Tirto. "Atau memang saat kejadian, bisa jadi memang itu ada arahan dari atasannya," tambah Beni.

Baca juga artikel terkait PEMBAKARAN POLSEK CIRACAS atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino