tirto.id - Djaja adalah tukang kayu dari pabrik gula Surowinangun yang tinggal di Plumbon, Cirebon. Suatu hari di tahun 1917, ia kedatangan tamu yang terlihat agak janggal, yakni orang pribumi yang berpakaian ala orang Eropa. Tamu laki-laki itu berumur sekitar 26 tahun. Dia datang dari Batavia disertai seorang perempuan.
Kabar tentang tamu pribumi berpakaian Eropa itu akhirnya sampai kepada polisi kolonial, baik yang di Cirebon maupun di Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta). Komisaris Polisi di Meester Cornelis menduga bahwa orang pribumi berpakaian Eropa di Plumbon itu adalah perwira yang kabur dari garnisun KNIL. Maka dengan segera foto perwira buron beserta keterangan lainnya dikirim ke Plumbon.
Setelah foto itu sampai di Plumbon, seorang mata-mata dikirim untuk memastikan wajah laki-laki pribumi berpakaian Eropa itu. Pada 21 Januari 1917, mata-mata polisi itu memastikan bahwa si laki-laki pribumi berpakaian Eropa mirip degan foto perwira tersebut. Maka polisi pun segera bertindak.
Rumah Djaja disatroni, dan dalam operasi itu komisaris polisi setempat ikut serta. Saat polisi datang, rumah tertutup. Komisaris polisi kemudian masuk lewat pintu belakang. Saat ditemui dan ditanyakan padanya tentang tamu dari Batavia, Djaja terkejut. Namun, ia segera memberitahu bahwa tamunya berada di kamar.
Si laki-laki pribumi berpakaian Eropa itu tenang berbicara pada komisaris. Ia ditanya, apakah dirinya adalah Letnan Kelas Dua (Infanteri) Asmino, ia menyangkal sembari tersenyum. Si komisaris lalu mengeluarkan foto Letnan Asmino, maka ia pun kaget. Komisaris mengatakan bahwa tak ada gunanya lagi menyangkal, dan laki-laki pribumi berpakaian Eropa itu mengaku bahwa ia adalah Letnan Asmino.
Sebelum menyerahkan diri, Asmino minta mandi terlebih dahulu. Sementara ia mandi, perempuan dari Batavia yang bersamanya bilang kepada polisi bahwa laki-laki yang bersamanya itu bukan Letnan Asmino. Setelah itu si perempuan minta izin berbicara dengan Asmino. Ia menyuruh Asmino untuk meralat pengakuannya. Tapi Asmino tak dapat lagi mengelak, ia pun merelakan dirinya ditangkap polisi.
Setelah semalam menginap di kantor polisi di Cirebon, esoknya Asmino dibawa ka Batavia. Cerita tentang penangkapan Asmino ini muncul di De Locomotief (23/02/1917) dan Bataviaasch Nieuwsblad (24/02/1917). Sebulan sebelumnya, nama Asmino juga muncul di koran Bataviasche Nieuwsblad (16/02/1917) yang memberitakan bahwa Letnan Kelas Dua Asmino kabur dari garnisun Meester Cornelis dengan ditemani Inah, pembantu rumah tangganya.
Asmino dilaporkan kepada pihak berwajib karena terbukti melakukan penipuan dengan mengambil barang dari sejumlah toko atas nama orang lain. Pada malam hari sebelum pelariannya, ia diberi sepucuk pistol oleh kawannya.
Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995), Asmino bergabung dengan KNIL pada 1 Juli 1910 dan sejak 10 Oktober 1913 sudah menjadi Letnan Dua Infanteri Bumiputra. Ia pernah ditempatkan di beberapa batalion di Jawa. Dalam laporan Bataviasche Nieuwsblad (22/11/1916) disebutkan bahwa Asmino termasuk anggota KNIL yang ikut dalam operasi di Jambi menghadapi gerombolan Raden Prabu.
Asmino yang lahir pada 4 November 1891 ini, seperti diberitakan De Locomotief (21/06/1917), dihukum 8 bulan kurungan dan status militernya dinyatakan kadaluwarsa. Ia diberhentikan dari KNIL sejak 29 Januari 1917.
Kasus lain menimpa Raden Santosa. Masih menurut Benjamin Bouman dalam dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995), Letnan Kelas Dua (Infanteri) Raden Santosa dikeluarkan dari KNIL pada 9 Desember 1916, atau hampir dua bulan sebelum Asmino dipecat.
Ia yang lahir pada 15 Februari 1890 itu dipersalahkan karena masalah perempuan. Sumatra Bode (21/03/1917) menyebut Santosa mempunyai hubungan khusus dengan seorang perempuan muda pribumi yang punya ikatan perkawinan. Si perempuan itu adalah istri bawahannya. Penyelidikan pun diadakan dan mereka ditegur.
Seperti Asmino, waktu di KNIL Raden Santosa juga termasuk lebih senior daripada pendiri TNI Oerip Soemohardjo. Setelah kasus tersebut, nama keduanya tak lagi terdengar.
Menurut R.P. Suyono dalam Seks dan Kekerasan Zaman Kolonial (2005:99-10), kehidupan seksual di tangsi KNIL memang terbilang liar. Ia menyebut tidak jarang ada serdadu yang menjual istri atau pasangannya kepada serdadu lainnya untuk bisa ditiduri semalam suntuk. Persoalan seperti inilah yang mengganjal karier Raden Santosa.
Sementara mantan perwira KNIL SEW Roorda, seperti dikutip Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda (2007:198) menyebutkan bahwa ratusan prajurit tidur bersama gadis atau pembantu rumah tangga mereka tanpa dipisahkan tirai satu sama lainnya. Mereka bercinta tanpa mengindahkan penghuni lainnya layaknya binatang.
Editor: Irfan Teguh