tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan membentuk Komponen Cadangan (Komcad) yang melibatkan masyarakat sipil untuk membantu pertahanan negara. Komcad akan dibentuk dengan konsep bela negara.
Pemerintah menargetkan sebanyak 25.000 orang dalam membentuk Komcad dan diperkirakan menghabiskan anggaran kurang lebih Rp1 triliun. Pembentukan Komcad ini pun ramai-ramai dikritik oleh publik.
Jokowi resmi mengatur soal pembentukan Komcad setelah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN). PP tersebut diresmikan pada 12 Januari 2021 lalu.
Para anggota komponen cadangan dibagi dalam 3 komponen cadangan matra darat, laut, dan udara. Peserta yang mendaftar harus melewati beberapa tahapan: seleksi kompetensi, pelatihan militer selama 3 bulan, hingga penetapan.
Selama pelatihan berlangsung, calon komponen cadangan nantinya akan mendapatkan uang saku, perlengkapan lapangan, rawatan kesehatan serta perlindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Mereka akan mendapatkan perlengkapan militer. Begitu lulus, anggota Komcad akan mendapat (Surat Keputusan) SK penetapan dan pangkat yang berlaku ketika diminta.
Setelah Jokowi mengeluarkan PP 3/2021, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mengatakan akan menindaklanjuti kebijakan tersebut.
"Tahap berikutnya Kemhan akan mempersiapkan Permenhan sebagai acuan realisasi Komduk, dan Komcad," kata Juru Bicara Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak kepada Tirto, Rabu (20/1/2021).
Sedangkan Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang juga diatur dalam UU dan PP tersebut sudah berjalan sebagaimana mestinya.
Namun, Dahnil mengatakan pelaksanaan tidak langsung serta merta berjalan, karena harus ada penyesuaian dengan lembaga terkait maupun landasan hukum pelaksanaan.
Dahnil menjelaskan pembentukan Komcad masih membutuhkan waktu beberapa bulan ke depan untuk mempersiapkan semua proses, baik perangkat hukum yakni Permenhan, konsolidasi dengan TNI sampai ketingkatan tertentu, sosialisasi, pendaftaran, seleksi, pelatihan, sampai penetapan secara resmi sebagai Komcad.
Bela Negara Tak Harus Militerisasi
Pembentukan Komcad pun dikritik oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Imparsial, ELSAM, LBH Pers, SETARA Institute, HRWG, KontraS, PBHI, IDeKA Indonesia, dan Centra Inisiative.
Koalisi memandang pembentukan Komcad merupakan langkah yang terburu-buru, mengingat tidak hanya urgensi pembentukannya saja dipertanyakan. Namun, kerangka pengaturannya di dalam UU PSDN juga memiliki beberapa permasalahan yang cukup fundamental karena mengancam hak-hak konstitusional warga negara dan mengganggu kehidupan demokrasi.
"Jika rencana tersebut tetap dipaksakan, keberadaan Komcad bukannya akan memperkuat pertahanan negara, tapi sebaliknya, memunculkan masalah-masalah baru," kata anggota Koalisi, Gufron Mabruri melalui keterangan tertulisnya, Kamis (4/2/2021).
Menurut Direktur Imparsial ini, wajib militer yang dinarasikan sebagai bentuk bela negara melalui Komcad ini tidak selalu wujudnya berdimensi kemiliteran.
"Pendekatan ini cenderung militeristik sehingga tidak bisa dihindari adanya dugaan upaya militerisasi sipil melalui program bela negara. Belum lagi konsepsi program bela negara yang ditawarkan juga tidak cukup jelas," ucapnya.
Ghufron menyatakan, bela negara juga bisa dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan profesi masing-masing. Misalnya, aktivis mahasiswa melakukan demonstrasi untuk memperjuangkan hak rakyat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengkritisi kebijakan publik, dan sebagainya.
"Ini perspektif yang luas kan. Bela negara tidak mesti militeristik. Mereka kan bela negara sesuai dengan profesinya masing-masing," kata Ghufron saat diskusi secara daring, Rabu (3/2/2021).
Dalam pasal 4 ayat (2) UU PSDN, Komcad bertugas untuk menangani berbagai ancaman: militer, non-militer dan hibrida. Permasalahannya, Komcad yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme, dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat.
"Pembentukan dan penggunaan komponen cadangan seharusnya diorientasikan untuk mendukung komponen utama pertahanan negara yakni TNI dalam menghadapi ancaman militer dari luar," tuturnya.
Kemudian, kata Ghufron, keberadaan Komcad yang tidak jelas, apakah termasuk militer atau sipil, menimbulkan potensi pelanggaran hukum humaniter internasional khususnya prinsip pembedaan atau distinction principle. Penggunaan Hukum Militer bagi Komcad selama masa aktif sebagaimana diatur pada pada Pasal 46 UU PSDN adalah kekeliruan yang fatal.
Padahal, kewajiban untuk tunduk pada sistem peradilan umum bagi anggota militer merupakan perintah Pasal 3 Ayat (4) TAP MPR VII/2000 dan Pasal 65 Ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004. "Ketidaktundukan pada peradilan umum ini berpotensi melanggengkan impunitas dan menghambat reformasi peradilan militer," ucapnya.
Kemudian UU PSDN, menurutnya, tidak mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia (HAM) secara penuh. Pasal 51-56 UU PSDN mengatur pendaftaran komponen cadangan oleh warga negara bersifat sukarela.
Oleh karena itu, warga yang sudah mendaftar dapat secara sukarela mengubah opsi mereka jika dilakukan mobilisasi berdasarkan kepercayaannya atau conscientious objection.
Namun, sayangnya, UU ini sebaliknya justru mengancam dengan sanksi pidana terhadap anggota Komcad yang menolak panggilan mobilisasi meski itu dilakukan berdasarkan atas kepercayaan dan keyakinannya (Pasal 77 ayat (1)).
Selain itu, tidak ada pasal yang mengatur pengecualian bagi mereka yang menolak penugasan militer karena bertentangan dengan kepercayaannya. Hal itu termasuk pelanggaran Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Hal ini telah ditekankan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Komentar Umum Nomor 22 dan pendapat-pendapat lainnya yang dibuat untuk menanggapi prosedur petisi maupun laporan penerapan Kovenan yang diserahkan oleh negara pihak.
"Sebagai negara pihak Kovenan tersebut, Indonesia wajib untuk memastikan adanya pasal yang mengatur pengecualian tersebut," tegas dia.
Usulan PNS Ikut Komcad
Koalisi menyarankan agar Jokowi melakukan legislative review terhadap UU PSDN sebelum perekrutan Komcad melalui PP tersebut diimplementasikan. Jika ingin tetap membentuk Komcad, sebaiknya pemerintah fokus melibatkan pegawai negeri sipil (PNS) saja dan tak perlu melibatkan masyarakat.
"Jumlah PNS yang cukup besar dapat menjadi potensi untuk komponen cadangan, serta kontrol terhadap PNS pasca pelatihan juga lebih terukur ketimbang masyarakat secara umum," tuturnya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Diandra Mengko menilai pembentukan Komcad tak relevan. Pasalnya, saat ini potensi besar yang terjadi adalah peperangan secara siber, bukan peperangan fisik.
"Pemerintah harus melirik bagaimana Komcad membantu peperangan siber," kata Diandra saat diskusi yang digelar Imparsial secara daring, Rabu (3/2/2021).
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menilai pembentukan saat ini tidak efektif karena tengah pandemi COVID-19. Mengingat pelatihan militer harus dilakukan di lapangan, sedangkan selama pandemi ada larangan berkerumun.
"Pelatihan-pelatihan yang ada dilakukan secara virtual, sehingga kalau mau lakukan pelatihan Komcad dengan biaya misal Rp1 triliun, menurut hemat saya prioritasnya pun tidak jadi prioritas," kata Hasanuddin saat diskusi yang digelar Imparsial secara daring, Rabu (3/2/2021).
Politikus Partai PDI-P itu menyatakan, dibandingkan membentuk Komcad, pemerintah seharusnya mempertimbangkan skala prioritas pembangunan TNI sebagai komponen utamanya yang masih menyisakan pekerjaan rumah. Seperti kuantitas dan kualitas prajurit, modernisasi alutsista, hingga kesejahteraan prajurit.
"Kita meningkatkan kualitas dan kuantitas dari pihak tersebut [TNI] dengan alat sistem senjata. Alutsistanya itu," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri