tirto.id - Suatu hari di tahun 1997, Youk Tanzil mengundang Addie Mulyadi Sumaatmadja ke kantornya. Youk waktu itu ialah Presiden Direktur Yasawirya Tama Cipta (YTC), perusahaan yang bergerak di bidang produksi multimedia. Sedangkan Addie MS adalah komposer musik. Keduanya memang sudah sering bekerjasama dalam urusan bisnis. Tetapi pada pertemuan hari itu, bukan bisnis yang hendak disinggung Youk.
“Addie, cari lagu 'Indonesia Raya' di mana, ya, rekamannya?” tanya Youk kepada Addie.
Pertanyaan Youk menyentak Addie. Addie ingat betul bahwa menemukan rekaman lagu "Indonesia Raya" berkualitas jernih saat itu sulit. Bahkan, lagu kebangsaan yang diputar setiap hari sebagai sesi pembuka siaran televisi atau radio di Indonesia terdengar kresek-kresek.
"Aku prihatin. Prihatinnya karena saat itu rekaman [Indonesia Raya] yang ada hanya satu. Kualitas suaranya buruk karena hasil copy berulang-ulang rekaman analog RRI tahun 1950-an. Setiap di-copy, kejernihan berkurang, noise bertambah. Itu selalu," kata Addie MS kepada Tirto, Selasa (28/8/2018).
Padahal, sejak 1990-an, rekaman dalam bentuk digital sudah banyak digunakan dan beredar di Indonesia. Para musisi pun sudah berbondong-bondong merekam lagunya dalam bentuk compact disk (CD).
"Aku berpikir, kalau bendera merah-putih dikibarkan dalam keadaan tercoreng atau robek pasti orang marah. Atau burung garuda kepalanya tidak ada atau sayapnya putus, orang protes. Kok, 'Indonesia Raya' enggak ada yang peduli?" ujar Addie.
Addie ingin merekam ulang lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman itu, tetapi dia tak punya cukup biaya. Bertahun-tahun dia hanya bisa menggerutu, mengingat dana untuk merekam orkes simfoni memang tidak kecil. Laki-laki kelahiran 1959 tersebut tidak menyangka kegundahan dan kesulitannya justru menemukan jalan terang di kantor Youk.
Pertanyaan Youk tidak hanya menyentak keprihatinannya, tetapi juga menumbuhkan asa. Setelah menjelaskan latar belakang yang menyebabkan rekaman "Indonesia Raya" berkualitas buruk, Addie mengajak Youk untuk mendanai proses rekam ulang lagu bersejarah yang diperdengarkan pertama kali pada Kongres Sumpah Pemuda 1928 itu.
“Ayo, [Anda] kan duitnya banyak. Pengusaha. Sumbang dong buat negara," ujar Addie kepada Youk. "Aku bikinin lagunya."
Youk setuju. Pengusaha itu berusaha mengajak orang lain untuk ikut mendanai.
“Tapi akhirnya dia sendiri sih yang membiayai,” kenang Addie.
Ikut Partitur "Resmi"
Setelah Youk menyanggupi untuk membiayai rekaman, Addie bergegas memutar otak dan menggerakkan tenaganya untuk meriset hal-hal terkait "Indonesia Raya".
Dia lalu mengutus salah satu stafnya, Alex Frits, untuk sowan ke kediaman keluarga W.R. Supratman di Surabaya. Tak lupa, dia juga meminta Alex berziarah ke makam Pahlawan Nasional tersebut.
Addie MS juga mendatangi Kementerian Sekretariat Negara. Dari situ, dia dapat salinan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 yang menyatakan bahwa partitur Indonesia Raya tidak boleh diubah.
Sedangkan untuk mengetahui seluk beluk musik "Indonesia Raya", Addie mencari sebanyak mungkin rekamannya.
"Dapet rekaman dari zaman Jepang. Terakhir dapat rekaman terakhir RRI. Cari sebanyak mungkin bacaan W.R. Supratman waktu menggubah lagu itu apa," kenang Addie.
Addie menyadari bahwa selama ini "Indonesia Raya" kerap dilagukan tanpa mengindahkan partitur yang berlaku. Sebelum tahap rekaman dimulai, musisi Hary Roesli juga sempat mengatakan kepadanya bahwa tidak masalah apabila tidak menaati partitur tersebut.
"Aku bilang, ini bukan soal enggak apa-apa atau apa-apa. Memang harus sesuai partitur. Pada kenyataannya banyak yang memainkan tidak tepat seperti partitur," sebut Addie.
Semasa itu pula, Addie merasa Husen Mutahar (pencipta lagu "Syukur" dan "Hari Merdeka") serta Sudharnoto (pencipta lagu "Mars Pancasila") ragu-ragu terhadap rencananya merekam ulang "Indonesia Raya". Bagi orang-orang sepuh itu, Addie dianggap terlalu muda.
Berkumandang di Melbourne
"Indonesia Raya" pun direkam ulang pada akhir 1997. Addie memilih studio di Melbourne, Australia sebagai tempat perekaman. Dia menggandeng 60 anggota orkes simfoni Melbourne Victorian Philharmonic Orchestra untuk mengalunkan national anthem itu.
“Aku enggak mau nanggung. Ini kan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'. Kalau mau dibikin, mesti dengan teknologi yang baik, sound dan orkes yang bagus. Saya tahunya itu di Melbourne.”
Di tengah jalan, apa yang direncanakan sempat berubah.
Pada mulanya Youk dan Addie hanya ingin merekam ulang "Indonesia Raya". Namun, keduanya merasa tanggung apabila hanya merekam 1 lagu. Addie akhirnya mengaransemen 9 lagu nasional lainnya. Sepuluh lagu itu diluncurkan dalam satu album bertajuk Simfoni Negeriku.
“Total rekaman 3 hari. Sama mixing jadinya seminggu lebih,” kata ayah dua anak itu.
Addie pun merasa ada yang kurang pas di beberapa bagian "Indonesia Raya" yang dia rekam. Addie ingin merekamnya sekali lagi. Hambatan terbesar untuk melakukan itu, lagi-lagi, soal uang. Krisis moneter berkepanjangan di Indonesia berujung nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai Rp16 ribu. Untungnya, Youk berani pasang badan.
“Kita terusin aja, kita bikin sejarah,” kata Youk, seperti dikenang Addie.
Jerih payah Youk, Addie, dan kru lainnya berbuah manis. Majalah Billboard edisi Februari 1999 melansir, album Simfoni Negeriku diluncurkan pada peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-70, 28 Oktober 1998. Menurut majalah musik itu, produksi Simfoni Negeriku menghabiskan biaya 150 ribu dolar AS.
Youk dan Addie semula mendistribusikan album itu secara gratis ke RRI di seluruh Indonesia dan sekolah-sekolah. Lalu, perusahaan rekaman PT Aquarius Musikindo membeli rekaman dan hak distribusi tunggal album tersebut.
"Aquarius beli master itu dengan harga jauh di bawah biaya sebenarnya. Sampai sekarang yang menyediakan itu Aquarius. Awalnya enggak kepikiran untuk dijual," ujar Addie.
Untung Ada Bondan Winarno
Setelah Simfoni Negeriku dirilis. Bondan Winarno, jurnalis yang belakangan dikenal sebagai kritikus kuliner, mengirimkan satu CD album itu ke Josef van Cleber di Belanda.
Josef van Cleber dipanggil singkat Jos Cleber. Pada 1939, Cleber menapaki karier profesional sebagai penggubah lagu, pemain violin, serta pemain trombone di AVRO Light Music Orchestra. Pada 1948, setahun sebelum Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Cleber pergi ke Indonesia.
Di Indonesia, Cleber mendirikan Orkes Simfoni Kosmopolitan untuk RRI Studio Jakarta. Pada akhir 1950, Cleber diminta menggubah "Indonesia Raya" ke langgam orkes filharmoni oleh Kepala RRI Studio Jakarta Jusuf Ronodipuro. Bondan mencatat, Jusuf menganggap Cleber handal menggubah aransemen berbagai lagu Indonesia, semacam "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" dan "Rangkaian Melati".
Setelah proses rekaman selesai, Jusuf dan Cleber menyerahkan aransemen baru "Indonesia Raya" kepada Presiden Sukarno. Sayangnya, Bung Besar menolak hasil itu sebanyak dua kali.
Masih menurut Bondan, pada awalnya Sukarno ingin "Indonesia Raya" terdengar seperti "Wilhelmus van Nassouwe", lagu kebangsaan Belanda. Namun, Cleber balik menolak permintaan itu. Menurutnya, "Wilhelmus" berirama lambat, sedangkan "Indonesia Raya" berirama mars.
Cleber pun bersiasat. Dia menggubah "Indonesia Raya" dalam irama maestoso con bravura untuk mengakali permintaan Sukarno. Maestoso berarti agung, Bravura kira-kira berarti gebyar keberanian.
Ternyata Sukarno menyukainya, meskipun dia masih menolaknya. Proklamator kemerdekaan Indonesia itu menghendaki ada bagian yang lieflijk pada bagian sebelum refrain dan refrainnya pun mesti menciptakan klimaks.
"Jos Cleber memahami apa yang diinginkan Bung Karno. Bagian liefelijk (mendayu-dayu)—yaitu empat baris sebelum refrain—didekati dengan dominasi alat-alat gesek seperti biola dan cello. Sedangkan untuk menciptakan efek gelegar pada refrain, Cleber memasukkan unsur simbal, timpani, dan terompet yang sangat gagah," kisah Bondan seperti dilansir Kompas edisi 17 Agustus 2000.
Partitur gubahan Cleber inilah yang kemudian direkam ulang Addie.
“Sama sekali tidak dimodifikasi. Partitur asli kami mainkan ulang. Notasi di mana terompet nadanya ini, biola nadanya itu benar-benar tertentu yang tidak bisa diubah," ujar Addie.
Jos Cleber amat gembira setelah menerima CD Simfoni Negeriku yang Bondan kirim.
"Addie membaca partitur saya dengan sangat setia," ujar Cleber kepada Bondan.
Dua komposer senior, Husein Muhtahar dan Sudharnoto, pun balik mengagumi Addie.
“Begitu sudah jadi. Itu senangnya Pak Mutahar. Aku jadi bersahabat dengan Pak Mutahar. Kami jadi merokok bareng di rumahnya sampai malam. Dia sering bikinin saya spaghetti,” katanya.
Apabila evolusi "Indonesia Raya" dirunut, lagu kebangsaan itu bisa sampai ke telinga pendengar berkat kerja keras banyak tangan.
Ia dibuat seorang anak serdadu KNIL, W.R. Supratman, dan menjadi simbol perlawanan kaum pemuda pergerakan nasional saat dicengkeram kolonialisme Belanda. Syairnya pertama kali disebarkan secara luas oleh surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu, Sin Po. Kemudian lagu itu diorkestrasikan oleh seorang Belanda bernama Jos Cleber.
Sampai sekarang, "Indonesia Raya" hasil rekam ulang Addie MS dan Youk Tanzil atas aransemen Cleber itu yang kerap diputar di acara-acara resmi kenegaraan, penganugerahan medali emas untuk kontingen Indonesia, bahkan di pusat-pusat perbelanjaan. Hingga tulisan ini dinaikkan, sudah 25 kali "Indonesia Raya" berkumandang di Asian Games 2018.
Editor: Ivan Aulia Ahsan