Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Dolly Salim, Orang Pertama yang Menyanyikan "Indonesia Raya"

Lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya dinyanyikan pada 28 Oktober 1928 oleh Theodora Atia alias Dolly Salim, putri Haji Agus Salim.

Dolly Salim, Orang Pertama yang Menyanyikan
Dolly Salim, anak pertama Haji Agus Salim dan pelantun "Indonesia Raya" pertama. tirto.id/Nadya

tirto.id - Tepuk tangan membahana usai Wage Rudolf Soepratman memainkan instrumen lagu "Indonesia Raya" ciptaannya dengan gesekan biola yang memesona. Di akhir acara Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Jalan Kramat Raya 106, Batavia, tembang monumental yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia itu diperkenalkan.

Hadirin belum puas. Sebagian besar peserta kongres yang menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda itu meminta agar lagu tersebut diperdengarkan lagi, namun kali ini dengan lirik alias dinyanyikan.

Lantaran desakan hadirin, akhirnya disepakati bahwa lagu "Indonesia Raya" akan dinyanyikan dengan sedikit perubahan lirik. Seorang gadis remaja yang turut serta dalam kongres itu didapuk untuk melantunkannya. Ia adalah Dolly Salim.

Ternyata Putri Haji Agus Salim

Nama depannya agak beraroma kebarat-baratan, Theodora Atia. Siapa sangka, gadis cerdas ini ternyata adalah putri seorang tokoh intelektual Muslim terkemuka. Ia adalah anak pertama Haji Agus Salim, sang dedengkot pergerakan nasional, mantan anggota Volksraad (dewan rakyat), juga petinggi Sarekat Islam (SI) paling kesohor bersama H.O.S. Tjokroaminoto.

Menurut catatan Mukayat dalam Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya (1985: 15), Thedora, atau yang akrab dipanggil Dolly, lahir pada 26 Juli 1913. Dolly tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Tapi, ia memang pintar dan kualitas intelektualnya tak perlu dipertanyakan. Tokoh bangsa macam Mohammad Roem saja pernah dibikin takjub oleh Dolly, bahkan saat ia masih bocah.

Roem, yang kelak menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI dan pernah beberapa kali menjadi menteri, memang sering bertandang ke kediaman Agus Salim pada dekade kedua abad ke-20. “Dolly, anaknya yang pertama,” kisah Roem seperti dikutip dari Tempo, Volume 12 (1982: 77), “sudah menghafal beberapa sajak Belanda dalam usia belasan.”

Dolly dan adiknya, Jusuf Tewfik Salim alias Totok, pernah membuat Roem geleng-geleng kepala saking kagumnya. Dua bocah itu mampu meladeni Roem saat berdebat tentang pengetahuan yang diajarkan di sekolah tingkat atas. Padahal, umur mereka saat itu masih sangat belia.

Dalam buku 100 Tahun Haji Agus Salim (1996: 182) disebutkan, di usia 6, Dolly bahkan sudah menggemari bacaan-bacaan untuk anak remaja, semisal kisah detektif Nick Carter atau Lord Lister. Sementara Totok sudah membaca habis epos Mahabarata dalam buku berbahasa Belanda pada umur 10.

Agus Salim mendidik anak-anaknya sendiri, di rumah. Ia menganggap pendidikan kolonial sebagai “jalan berlumpur” sehingga ia tidak mau anak-anaknya ikut tercebur di dalamnya, kendati ia sendiri pernah menjadi lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) se-Hindia Belanda.

Maka, Dolly dan ke-5 adiknya, memperoleh transfer ilmu dari ayahnya melalui konsep homeschooling atau sekolah rumah. Hanya si bungsu Abdur Rachman Ciddiq yang sempat merasakan bangku sekolah formal ketika era kolonial Belanda di Indonesia telah usai.

Pelantun Perdana Indonesia Raya

Dolly sama sekali tidak menyangka dirinya yang diminta untuk menyanyikan "Indonesia Raya" di akhir acara Kongres Pemuda II tersebut. Saat itu, umurnya baru 15, postur badannya pun masih mungil.

“Saya tak mengerti kok pilihan itu tiba-tiba jatuh ke diri saya. Mungkin karena saya kebetulan duduk di barisan terdepan. Karena tidak ada panggung, saya diberdirikan di atas kursi supaya terlihat oleh seluruh hadirin,” sebut Dolly dalam Majalah Tiara, No. 03, Oktober 1982, seperti dikutip dari Historia.

Kendati datang ke kongres yang dihadiri perwakilan pemuda/pemudi dari hampir seluruh daerah itu untuk mewakili Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij), namun Dolly bukanlah peserta karena umurnya yang belum cukup.

Infografik Dolly Salim

Dalam Garis Rasial, Garis Usang: Liku-liku Pembauran (1983), Yunus Yahya mengisahkan, kehadiran Dolly memang memukau hadirin yang berada di ruangan kongres. Saat W.R. Soepratman menggesek dawai-dawai biola melantunkan "Indonesia Raya", Dolly turut unjuk gigi dengan iringan pianonya (hlm. 209).

Barangkali karena itu pula para peserta kongres sontak menunjuk Dolly untuk membawakan kidung sakral tersebut, selain, menurut alasan Dolly, ia kebetulan duduk di barisan terdepan.

Sri Sutjiatiningsih dalam Soegondo Djojopoespito: Hasil Karya dan Pengabdiannya (1999), mengungkapkan bahwa pada awalnya memang tidak ada rencana untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam kongres tersebut (hlm. 30). Lirik lagunya sengaja disimpan karena memuat materi yang berpotensi menimbulkan perkara dengan pemerintah kolonial.

Dengan sedikit penyesuaian lirik, yakni menghilangkan kata “merdeka” dan menggantinya dengan kata “mulia”, untuk pertama kalinya dalam sejarah, lagu "Indonesia Raya" dilantunkan pada 28 Oktober 1928 itu.

Lengkap sudah Sumpah Pemuda: Berbangsa satu, bertanah air satu, berbahasa satu, juga berlagu kebangsaan satu "Indonesia Raya".

Momen ini tentunya sangat berkesan bagi Dolly. Ia pun dengan mantap mengabdikan diri untuk turut bersama-sama berjuang mewujudkan kemerdekaan, dengan berkecimpung di kancah pergerakan nasional. Dolly kemudian aktif di Pergerakan Penyadar, organisasi yang dibentuk ayahnya selepas hengkang dari Sarekat Islam.

Dolly menikah dengan tokoh pendidikan nasional, Soedjono Hardjosoediro, di Yogyakarta pada 1932. Dari pernikahan ini ia dikaruniai empat orang anak. Kendati tidak pernah bersekolah formal di masa kolonial, ia justru menjadi salah satu perempuan terkemuka di ranah pendidikan. Dolly adalah anggota Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) dan Women’s International Club.

Pada 24 Juli 1990, tepat hari ini 28 tahun silam, Dolly Salim sang pelantun lagu "Indonesia Raya" pertama meninggal dunia di Jakarta pada usia 76.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan