Menuju konten utama

Beda Vonis Meiliana dan Pelaku Perusakan & Pembakaran Klenteng

"Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya," kata Hendardi.

Beda Vonis Meiliana dan Pelaku Perusakan & Pembakaran Klenteng
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Meliana mengikuti persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/7/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana.

tirto.id - Pengadilan Negeri Tanjung Balai memvonis Meiliana, perempuan keturunan Tionghoa, dengan hukuman penjara selama 18 bulan. Meiliana dianggap telah melanggar pasal penistaan agama setelah pada tahun 2016 lalu ia mengeluhkan bisingnya suara azan yang berasal dari pelantang masjid di sekitar rumahnya.

Meiliana hanya bisa menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dari Pengadilan Negeri Medan membacakan putusan tersebut pada Selasa (21/8/2018). Kuasa hukum Meiliana pun langsung mengajukan banding atas putusan ini.

Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan sedari awal proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail.

"Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya," kata Hendardi kepada Tirto, Kamis (23/8/2018).

Kasus yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada medio 2016 itu berawal dari keluhan Meiliana atas suara pelantang masjid yang melantunkan azan yang dianggap terlalu bising. Kejadian yang semula hanya kasak kusuk di lingkungan warga di sebuah kota kecil di Sumatera Utara itu kemudian menyebar luas. Bahkan kejadian ini disebarkan melalui perangkat gawai sehingga menghasilkan sentimen SARA hingga ke luar kota Tanjung Balai.

Akibatnya pun tak tanggung-tanggung, massa mengamuk dan membakar tiga wihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Tak hanya itu, bahkan tiga mobil, dua motor dan satu becak juga dibakar oleh massa yang mengamuk tanpa tahu duduk perkaranya.

Delapan orang dicokok polisi akibat kejadian ini. Mereka ialah Abdul Rizal Alias Aseng (26 Tahun), Restu Alias Panjang (23 tahun), M. Hidayat Lubis Alias Dayat (19 tahun), Muhammad Ilham Alias Ilham (21 Tahun), Heri Kuswari (28 Tahun), Zainul Fahri Alias Zainul (18 Tahun), M. Azmadi Syuri Alias Madi (23 Tahun), dan Zakaria Siregar Alias Bang Zack (21 tahun).

Jaksa menuntut delapan orang tersebut dengan pasal yang berbeda-beda. Heri Kuswari (28) didakwa dengan pasal pencurian, Zakaria Siregar alias Bang Zack (21) didakwa telah menjadi provokator, sementara sisanya didakwa dengan pasal perusakan. Meski begitu, hukuman yang dituntut oleh JPU termasuk ringan, hanya 3 hingga 5 bulan penjara.

Sidang vonis atas pelaku pembakaran klenteng pun akhirnya digelar 23 Januari 2018 lalu di Ruang Sidang Cakra, Pengadilan Negeri Kota Tanjung Balai. Dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Ullina Marbun tersebut, delapan terdakwa dinyatakan bersalah sesuai dengan dakwaan jaksa yakni melakukan perusakan, pencurian, dan provokasi.

Namun, majelis hakim memberikan hukuman yang jauh lebih ringan terhadap para terdakwa dibanding tuntutan jaksa, yakni hanya sekitar 1,5 bulan penjara dipotong masa tahanan. Hanya Zakaria Siregar yang dihukum sedikit lebih berat yakni penjara selama 2 bulan 18 hari dipotong masa tahanan. Berbeda jauh dengan hukuman yang ditimpa ke Meiliani yang mencapai 1,5 tahun penjara dengan pasal penodaan agama.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara juga menyayangkan soal hukuman yang dikenakan pada para pelaku pembakaran wihara dan klenteng. Menurutnya, apa yang dilakukan terdakwa bisa dikenakan pasal propaganda kebencian sebagaimana diatur dalam pasal 156 dan 157 KUHP.

"Kalau cuma perusakan bangunan ya susah," katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri