tirto.id - Meski pemilu calon presiden dan wakil presiden sudah usai, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tetap menegaskan dukungannya kepada capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Kendati beberapa serikat buruh tidak setuju, nyatanya mereka tetap satu tujuan memperjuangkan kesejahteraan kelas pekerja.
KSPI memang secara terbuka menyatakan dukungan kepada Prabowo sejak 2018 lalu. Mereka merasa tidak ada harapan kesejahteraan buruh bagi pemerintahan sekarang.
Beberapa hal yang mereka bawa dalam Hari Buruh Internasional 1 Mei 2019 pun tidak jauh berbeda dari apa yang mereka canangkan dalam kontrak politik dengan Prabowo pada 2018.
“Kami menyuarakan agar pemerintah terpilih nanti menghapus atau merevisi PP 78 tentang pengupahan,” kata Sekretaris Jenderal KSPI Muhammad Rusdi di kawasan Gondangdia, Jakarta, Senin (29/4/2019).
Sebab, kata Rusdi, PP 78 tahun 2015 itu telah menghambat upah buruh.
Selain itu, kata dia, KSPI juga menuntut penghapusan sistem outsourcing dan pemagangan. Dua sistem ini dianggap sebagai perbudakan era modern.
Pemagangan menjadi satu hal yang lebih diutamakan. Alasannya, sistem ini dianggap tidak layak untuk kaum pekerja. “Mereka diperas tenaganya selama 8 jam, tapi tidak mendapatkan kompensasi yang layak karena status magang," tegas Rusdi.
Rusdi mengatakan, KSPI juga masih menghendaki perbaikan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Menurut Rusdi, saat ini BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan belum mampu mengcover seluruh pekerja di wilayah Indonesia.
Untuk jaminan pensiun, KSPI menyatakan bahwa iuran 3 persen dari jumlah gaji pokok setiap bulannya tentu sangat sedikit dan harus ditambah.
“Ini iuran paling rendah sedunia dan manfaatnya paling rendah sedunia. Jadi ini program asal-asalan yang di-launching Pak Jokowi," kata Rusdi menambahkan.
Hal lainnya, KSPI juga berharap pengangkatan secara bertahap bagi pegawai honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan juga perbaikan kesejahteraan bagi mitra aplikasi ojek online.
KSPI merasa tidak adil perusahaan secara sepihak memberikan pemutusan hubungan kerja, terlebih tanpa kompensasi.
Poin penting lain yang juga disampaikan KSPI adalah penurunan tarif dasar listrik dan juga memberikan tempat penitipan anak untuk mempermudah para pekerja yang membawa anak.
Apa yang diperjuangkan KSPI sebenarnya mirip dengan yang disampaikan Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilham Syah. Dia mengatakan, masalah utama PP 78 tahun 2015 itu ada pada peluang kesejahteraan para kaum pekerja. Dalam aturan itu, buruh tidak diberi banyak kesempatan untuk bernegosiasi.
“Hal paling prinsip PP 78 itu adalah hak berunding. Hak berunding menentukan upah. Padahal itu hak paling substansi,” kata Ilham kepada Tirto, pada Minggu, 29 April 2019.
Selain revisi PP 78 tahun 2015, Ilham juga meminta adanya pembentukan direktorat khusus di kepolisian yang menangani tindak pidana perburuhan dan pengadaan tempat penitipan anak di kawasan industri.
PP 78 sendiri sudah menjadi masalah tuntutan buruh setiap tahun. Beberpaa bulan setelah pengesahan pun banyak buruh mogok akibat peraturan tersebut. Selanjutnya, pada 2016-2018, sebagian buruh meminta PP 78 direvisi.
Tuntutan Lebih Spesifik
Sementara itu, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) mempunyai tuntutan yang lebih spesifik. Meski mereka juga menuntut perubahan PP 78 tahun 2015, tetapi itu bukan menjadi prioritas.
Justru apa yang disuarakan Sindikasi adalah soal fleksibilitas tenaga kerja. Sindikasi ingin ada perlindungan hukum lebih jelas bagi pekerja lepas. Oleh sebab itu, kaum pekerja harus dilibatkan untuk kebijakan pemerintah soal tenaga kerja.
"Itu tuntutan utama kami," kata Ketua Umum Sindikasi Ellena Ekarahendy kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2019).
Selain itu, Ellena juga menghendaki adanya realisasi lebih mantap dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 tahun 2018. Aturan itu memuat tentang aturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
"Kami berharap ada implementasi nyata dari aturan K3 tersebut," tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz