tirto.id - Gabungan serikat buruh seperti FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesi), ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia) menuntut pemerintah mencabut PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Ketua Konsulat Cabang Kota Depok FSPMI Wido Pratikno mengatakan bahwa PP tersebut bermasalah karena menghilangkan hak berunding antara serikat pekerja.
"Padahal Konvensi ILO jelas UU 21 tahun 2000 ada kebebasan berserikat. Tetapi Jokowi keluarkan PP 78 tahun 2015 yang menghilangkan hak-hak berunding," kata Wido.
Tak hanya itu, mereka juga mengkritik surat edaran terbaru Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri tentang penentuan upah minimum yang mulai berlaku Januari 2019.
"Kami aksi karena ada permasalahan yang mana Menteri Hanif Dhakiri telah keluarkan surat edaran tentang penentuan upah minimum. Menteri mengeluarkan surat edaran bahwa kenaikan UMK/UMP itu 8,03 persen tanpa dirundingkan terlebih dahulu," kata Wido.
Kata Wido, surat edaran itu tidak selaras dengan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Wido, dalam UU itu terdapat aturan main, Dewan Pengupahan, dan banyak hal lainnya yang perlu dirundingkan terlebih dahulu.
Pemerintah akan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8,03 persen pada 2019. Kenaikan UMP ini memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Sebagaimana yang kita ketahui bersama, UMP rujukannya ada pada PP (Peraturan Pemerintah) No 78 dan menurut ketentuan PP 78 itu kenaikan upah minimum provinsi pada tahun 2019 yang akan ditetapkan pada 1 November 2018 itu sebesar 8,03 persen, jadi ini bukan keputusan dari menteri tenaga kerja," kata Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta.
Hal tersebut mengacu pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor B.240/M-NAKER-PHI9SK-UPAH/X/2018 mengenai Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dipna Videlia Putsanra