tirto.id - Pada Rabu pekan kedua September 2025, Bali dilanda kepanikan. Jalan ramai tempat turis berbelanja berganti lumpur dan sisa puing, juga serakan sampah. Busur hujan yang menghujam deras sejak Selasa malam membuat Bali terkepung air. Bangunan ruko sampai rumah bertingkat roboh dan banyak orang hilang hanyut terbawa air bah.
Lantas kabar duka menyebar luas. Hingga Kamis (11/9/2025) siang, 14 orang dilaporkan tewas dan dua masih hilang. Denpasar mengalami bencana terparah. Terperangkap 81 titik banjir, akses jalan di kota itu lumpuh. Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Bali mencatat lebih dari 120 titik banjir menerjang tujuh wilayah kabupaten dan kota di Bali.
Selain Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar terjebak 14 titik banjir, kemudian Badung 12 titik, Tabanan 8 titik, Karangasem serta Jembrana dengan masing-masing 4 titik. Di Kabupaten Klungkung, banjir terfokus di Kecamatan Dawan.
Hujan deras sejak Selasa (9/9/2025) malam turut menyebabkan longsor di beberapa wilayah Bali. Ada 12 titik longsor di Kabupaten Karangasem, 5 titik di Gianyar, serta 1 titik di Badung.
Ini banjir terparah yang dialami Bali dalam satu dekade terakhir. Akibat bencana banjir ini, Bali berstatus tanggap darurat bencana selama sepekan ke depan. Gubernur Bali, I Wayan Koster, Rabu (10/09/2025), mengeluarkan status tanggap darurat untuk empat daerah yang mengalami dampak paling berat, yaitu Denpasar, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Badung.
“Hujan deras kali ini luar biasa, bahkan menurut pedagang sudah 70 tahun tidak pernah terjadi hujan sebesar ini. Kami akan menetapkan status darurat untuk percepatan penanganan, termasuk alokasi anggaran tak terduga bagi kerugian masyarakat,” kata Koster, dikutip Kompas.com, Kamis (11/9/2025).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Kamis (11/9) sore mencatat imbas bencana hidrometeorologi masih berdampak di Provinsi Bali. Penanganan darurat terus diupayakan BPBD setempat dan petugas gabungan untuk mencari korban hilang, pengendalian dampak longsor dan genangan air. Total, tujuh wilayah kabupaten dan kota di Bali terdampak banjir dan tanah longsor.

Meliputi di Kabupaten Jembrana, Gianyar, Badung, Tabanan, Karangasem, Klungkung serta Kota Denpasar. Distribusi bantuan dan pendampingan penanganan darurat bencana pun sudah dilakukan.
“Total korban meninggal 14 orang, hilang 2 orang, dan terdampak 214 KK atau 659 orang,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam keterangan tertulis, Kamis (11/9/2025).
Pada Rabu malam, Kepala BNPB, Suharyanto, tiba di Denpasar untuk melangsungkan rapat koordinasi penanganan bencana banjir bersama Gubernur Koster. Suharyanto menjelaskan bencana banjir Bali kali ini disebabkan oleh fenomena gelombang rossby dan gelombang kelvin.
Situasi malam itu, ketinggian debit air di beberapa sungai terpantau kembali normal. Kepala BNPB menyatakan kedatangannya sebagai bentuk respons cepat pemerintah pusat untuk menangani bencana yang berdampak kepada masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto, kata Suharyanto, memerintahkan agar segera dilakukan upaya untuk menemukan korban yang hilang. Dan memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi.
“BNPB berikan bantuan kebutuhan dasar, peralatan penanggulangan bencana seperti pompa dan genset. Selain itu rumah masyarakat yang alami kerusakan akan diganti,” tutur Suharyanto dalam keterangannya, Rabu (10/9/2025) malam.
Mengacu data teranyar yang dilaporkan BPBD Bali, hingga Kamis siang, jumlah pengungsi terdampak banjir mencapai 562 orang. Rinciannya, 235 orang di Denpasar yang tersebar di 6 lokasi, serta 327 orang di Jembrana tersebar di 5 lokasi. Adapun bangunan yang rusak terdampak banjir sekitar 474 unit.
Bangunan rusak umumnya adalah kios dan ruko pedagang pasar. Total kerugian ruko di Jalan Sulawesi dan Pasar Kumbasari mencapai Rp25,5 miliar.

Mengapa Banjir Bali Kali Ini Demikian Parah?
Faktor fenomena alam yang memicu terjadi cuaca ekstrem diamini analisis Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Menurut Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, penyebab cuaca ekstrem ini adalah aktifnya gelombang rossby ekuator, yakni gelombang atmosfer yang bergerak ke arah barat pada sekitar garis khatulistiwa (ekuator).
Gelombang itu mendukung terbentuknya awan konvektif yang mampu menghasilkan hujan begitu lebat. Berdasarkan hasil pantauan, hujan yang mengguyur sejak Selasa (9/9/2025) di Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Klungkung dan Karangasem dalam kategori lebat di atas 50 milimeter per hari hingga kategori ekstrem di atas 150 milimeter.
Hujan tersebut bahkan berlanjut hingga Rabu pagi. Selain itu, kelembaban udara juga dalam kategori lembab hingga lapisan 200 milibar setara mencapai 12.000 meter. Kondisi ini masih akan bertahan setidaknya hingga 3 hari ke depan atau sampai akhir pekan ini.
Di sisi lain, pengamat lingkungan dan pengamat pariwisata meyakini bencana banjir besar yang melanda Bali tak cuma disebabkan faktor cuaca ekstrem. Degradasi lingkungan hingga tata ruang hidup yang buruk memperparah kondisi Bali. Kondisi overtourism di Bali juga semakin mendorong kerentanan masalah sosial dan lingkungan.
Banjir besar yang menimpa Bali merupakan alarm keras yang menyibak rapuhnya tata kelola lingkungan di Pulau Dewata. Betonisasi, alih fungsi lahan, serta hilangnya ruang terbuka hijau membuat daya serap air lenyap.
Direktur Eksekutif WALHI Bali, Made Krisna Dinata, menyatakan degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan—khususnya lahan pertanian menjadi bangunan—merupakan pemicu utama kerentanan Bali atas bencana alam. Terkait penurunan atau perubahan lahan sawah, WALHI Bali sempat meneliti di empat wilayah yang dikenal sebagai kawasan Sarbagita, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.
Hasilnya, dalam rentang 2018 sampai 2023, perkembangan wilayah dan pertumbuhan lahan terbangun merupakan salah satu penyebab tergerusnya luasan lahan pertanian, khususnya sawah di wilayah metropolitan Sarbagita. Persentase penyusutan lahan sawah itu berkisar antara 3 hingga 6 persen dari luas wilayah masing-masing kabupaten/kota.
Kota Denpasar, misalnya, mengalami penurunan lahan sawah sebesar 784,67 hektare atau 6,23 persen dari luas wilayahnya. Luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang sebanyak 1.099,67 hektare dan Kabupaten Gianyar berkurang 1.276,97 hektare.
“Penyusutan lahan sawah terbesar berada di Kabupaten Tabanan, yaitu seluas 2.676,61 Ha. Konsekuensi dari perkembangan wilayah mengakibatkan kebutuhan lahan dan memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian,” ujar pria yang karib disapa Bokis ini kepada wartawan Tirto, Kamis (11/9).
Hilangnya lahan pertanian itu otomatis bakal menghilangkan fungsi dari subak, yakni sistem irigasi tradisional Bali. Padahal, subak berfungsi utama sebagai sistem hidrologis alami.
Subak memiliki fungsi sebagai saluran irigasi dan mendistribusi air yang turut menjaga dan mengatur sistem hidrologis air. Bokis menilai, berkat subak, setiap satu hektare sawah akan mampu menampung 3.000 ton air apabila tinggi airnya 7 sentimeter.
Apabila lahan pertanian dan subak banyak berubah atau beralih fungsi menjadi bangunan, hal tersebut akan mengganggu sistem hidrologis air alami sehingga air tidak tertampung dan teririgasi dengan baik.
“Sehingga, timbulah banjir seperti yang kita lihat ini,” tutur Bokis.
Singkatnya, kata dia, penerapan tata ruang Bali amat buruk. Ketika mendapati ada rencana pembangunan, dia sering kali mendapati rencana yang melabrak tata ruang. Misalnya, pembangunan destinasi atau akomodasi pariwisata yang dilakukan dengan mengalihfungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangungan.
Tak jarang pula, Bokis mendapati pembangunan yang menggerus sempadan pantai dan sungai. Bokis bahkan melihat pembangunan dilakukan di kawasan rawan bencana. Menurutnya, hal ini tentu akan menjadi kombinasi maut yang mengantarkan Bali pada situasi kerentanan terhadap bencana.
Oleh karena itu, Bokis mendorong Pemprov Bali melakukan pemulihan dan tindakan nyata di berbagai titik atau lahan kritis di hulu Bali. Lantas, segera menghentikan proyek ambisius pembangunan yang mengorbankan lahan pertanian. Di antaranya, ujar Bokis, rencana pembangunan Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi, kawasan Pelabuhan Sangsit, serta akomodasi pariwisata yang masif di wilayah Denpasar dan Badung.
“Perlu penghentian atau moratorium pembangunan akomodasi pariwisata yang masif di kawasan Sarbagita. Melakukan penegakan tata ruang terhadap setiap pembangunan yang melabrak,” ujar Bokis.
Paradoks Pariwisata Bali
Sementara itu, aktivitas pariwisata masif di Bali tak pelak membawa persoalan lingkungan. Mengutip data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Provinsi Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton. Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan jumlah sampah sekitar 360 ribu ton.
Kajian Institute for Essential Service Reform (IESR) mengungkapkan bahwa sampah di Bali mengalami kenaikan hingga 30 persen dalam kurun 2000-2024. IESR mengatakan ada masalah kesadaran pengelolaan sampah di sebagian besar masyarakat, termasuk akibat meningkatnya jumlah wisatawan yang menyebabkan meningkatnya timbulan sampah di Pulau Dewata.
Meski demikian, pada akhir 2024, Dinas Pariwisata Bali membantah masalah overtourism di Bali. Yang sebenarnya terjadi, menurut mereka, adalah overconcentrate wisatawan. Kondisi ini mengacu ke kondisi penumpukan wisatawan di satu wilayah, tepatnya di Bali Selatan.
Founder Yayasan Inovasi Pariwisata Indonesia (Yipindo), Taufan Rahmadi, menilai banjir di Bali menyingkap apa yang disebutnya sebagai paradoks pariwisata. Bali mengalami kekurangan air bersih di musim kemarau, tapi pulau ini justru terendam banjir saat penghujan.
Kontradiksi ini lahir dari pembangunan pariwisata yang tidak pernah ditopang perencanaan tata ruang yang kuat. Mitigasi bencana hanya menjadi jargon, tapi tidak terintegrasi dalam kebijakan pembangunan.
Pariwisata Bali, ungkap Taufan, sejak awal bertumpu pada dua pilar utama: alam dan budaya. Kini, kedua fondasi ini semakin terguncang. Ketika lingkungan terdegradasi, risiko bencana meningkat dan citra Bali sebagai destinasi dunia ikut terancam.
Kerugian yang muncul tidak hanya berdampak kepada masyarakat lokal yang rumah dan kehidupannya diterjang banjir, tetapi juga industri pariwisata yang kehilangan harmoni dan keindahan alam.
“Banjir ini bukan sekadar bencana alam, tapi juga cermin bagaimana kita memperlakukan Bali,” kata Taufan kepada wartawan Tirto, Kamis (11/9/2025).

Masalah terbesar terletak pada orientasi pembangunan di Bali. Investasi dan kepentingan pelaku industri cenderung lebih didahulukan daripada keberlanjutan lingkungan. Model ini, ujar Taufan, menciptakan pertumbuhan ekonomi semu yang justru merusak basis pariwisata itu sendiri.
Dalam pandangan Taufan, sektor pariwisata seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi. Karena itu, mitigasi bencana dalam setiap pembangunan akomodasi wisata menjadi langkah mendesak. Lebih jauh, Pemprov Bali dituntut menegakkan tata ruang yang berbasis daya dukung lingkungan, bukan sekadar mendahulukan keuntungan.
“Pariwisata yang sukses tidak mengorbankan keselamatan warga dan kelestarian alam,” ujar Taufan.
Alam selalu punya cara mengingatkan manusia tentang batas. Saat semua semakin cepat, Bali harus berani berhenti. Atau bencana datang, memperingatkan kembali.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































