tirto.id - Sebagai provinsi dengan pendapatan asli daerah (PAD) terbesar dari sektor pariwisata, Bali jadi destinasi impian bagi sejumlah orang. Ibu Kota Denpasar bahkan mendapat julukan Parijs Van Bally, karena keindahannya yang mampu memikat wisatawan selayaknya kota Paris di Perancis.
Namun sektor pariwisata yang mentereng, kini perlu mendapat perhatian. Permasalahan kepadatan wisatawan menjadi risiko yang dapat berpengaruh pada aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Beberapa kota dengan daya tarik wisata, di berbagai penjuru dunia telah mengalami overtourism, kondisi suatu destinasi wisata terlalu padat dengan wisatawan. Keramaian tersebut melebihi kapasitas wilayah dan memberi dampak negatif bagi lingkungan, penduduk lokal, dan bahkan pengalaman wisatawan itu sendiri.
Kota seperti Barcelona di Spanyol hingga Venesia di Italia sudah merasakan overtourism. Kota Barcelona, menurut laporan Reuters, adalah tempat tinggal bagi 1,6 juta warga lokal. Setiap tahunnya ada sekitar 26 juta turis yang mampir ke wilayah Catalunya tersebut.
Kondisi tersebut mendorong sekitar 600 warga lokal melakukan demonstrasi terkait masalah overtourism, Minggu (155/6/2025). Reuters melaporkan para pedemo menembakkan pistol air, mengeluarkan asap berwarna, dan menempelkan stiker dengan pesan, "Pertahanan diri warga, turis pulang saja," di jendela pertokoan dan hotel.
Demonstrasi serupa juga terjadi di beberapa wilayah Spanyol, termasuk Ibiza, Malaga, Palma de Mallorca, San Sebastian, dan Granada.
Sementara aksi serupa juga terjadi di Italia. Beberapa kota, termasuk Genoa, Naples, Palermo, Milan, dan Venesia, mulai resah dengan populasi turis.
Keindahan kanal-kanal sungai memang menjadi magnet tersendiri bagi Venesia. Namun, tarikan yang terlalu kuat malah mengundang atensi yang akhirnya membuat lelah masyarakat setempat. Warga setempat menentang pembangunan dua hotel yang akan menambah sekitar 1.500 tempat tidur baru di kota tersebut, kata penyelenggara kepada Reuters.
Puncaknya, warga Venesia menolak kehadiran pendiri Amazon, Jeff Bezos yang akan melangsungkan pernikahan bersama tunangannya, Lauren Sanchez. Masyarakat menilai ada isu penguasaan area wisata oleh segelintir elit.
Meski belum sampai menyebabkan ketidaknyamanan warga, pariwisata di Bali perlu mendapat perhatian. Beragam masalah konflik horizontal telah terjadi di Bali, yang melibatkan warga negara asing (WNA).
Apalagi ada tren kenaikan jumlah wisatawan berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali. Dari Januari-April 2025 total ada sekitar 2 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dibanding tahun 2024, angkanya naik sekitar 11 persen.
Melihat tren juga, kunjungan wisatawan asing biasanya cenderung lebih tinggi pada Semester II. Artinya ada peluang wisatawan asing meningkat lagi jumlahnya pada tahun 2025.
Di Bali, meski tidak semua, sejumlah wisatawan asing mengundang masalah. Pertama, masalah sosial terkait perilaku pidana turis asing. Hal ini kerap meresahkan masyarakat Bali. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi Bali, Parlindungan, menyebut banyak turis mancanegara yang datang di Bali berasal dari Rusia dan Ukraina yang kini tengah berkonflik. Di antara kasus kriminal yang terjadi di Bali adalah penculikan oleh sekelompok warga Rusia yang dijuluki sebagai 'Gang Rusia'.
"Setelah perang Rusia dan Ukraina, akhirnya banyak orang-orang Rusia dan Ukraina yang stranded (terlantar di Bali, dan kadang-kadang menimbulkan persoalan dan terjadi perilaku-perilaku yang menimbulkan pidana," kata Parlindungan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XIII DPR RI, Selasa (25/2/2025) lalu.
Selain masalah sosial, muncul pula permasalahan lingkungan. Mengutip data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah di Provinsi Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton. Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan jumlah sampah sekitar 360 ribu ton.
Kajian Institute for Essential Service Reform (IESR), sampah di Bali, dalam kurun waktu 2000-2024 mengalami kenaikan hingga 30 persen. IESR mengatakan ada masalah kesadaran pengelolaan sampah di sebagian besar masyarakat, termasuk kenaikan wisatawan ke Bali yang sebabkan meningkatnya timbulan sampah di Pulau Dewata.
Meski dihadapkan dengan sejumlah fenomena pelancong, pada akhir 2024, Dinas Pariwisata Bali menyebut tidak ada masalah overtourism. Mereka mengatakan wisatawan di Bali; over concentrate. Kondisi ini mengacu ke kondisi penumpukan wisatawan hanya di satu wilayah, tepatnya di Bali Selatan.
“Konsentrasi segala sesuatu ada di Bali Selatan. Dilihat dari kegiatan usaha yang ada di Bali Selatan, kendaraan yang macet, termasuk bagaimana pembangunan masif. Bali itu kan tidak hanya di Selatan, tapi ada Bali Timur, Utara, dan Barat,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun dikutip dari Antara, Kamis (16/12/2025).

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty. Dirinya mendorong agar pemerintah daerah melakukan sosialisasi dan pemerataan persebaran wisatawan, sehingga tidak menumpuk di Bali Selatan. Menurutnya, hingga saat ini wilayah Bali Utara masih belum tersentuh wisatawan.
"Dalam konteks Bali, saya melihatnya belum sampai overtourism, ini hanya belum merata saja sehingga terlihat menumpuk di beberapa titik. Mungkin perlu mendukung perbaikan terus-menerus lagi dalam transportasi untuk mengatasi kemacetan dan lainnya," kata Evita saat dihubungi Tirto, Kamis (19/6/2025).
Senada, Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Enik Ermawati, juga menyebut kalau kondisi yang ada di Bali saat ini belum masuk kategori overtourism, tapi ada masalah over concentrated.
"Ini perlu diantisipasi sejak dini melalui pendekatan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan, penguatan regulasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal," ujarnya kepada wartawan Tirto, Minggu (22/6/2025).
Lebih lanjut Ni Luh mengatakan di Bali, masyarakat mulai menunjukkan penolakan terhadap alih fungsi lahan, terutama di Bali Selatan. "Gejalanya serupa dengan yang terjadi di Barcelona, meski tidak sampai pada aksi pengusiran," tambahnya.
Dia menambahkan beragam upaya telah dilakukan, tujuannya untuk menciptakan iklim pariwisata Bali yang tertib, berkualitas, dan berkelanjutan. Kemenpar bersama kementerian dan lembaga terkait terus melakukan edukasi dan sosialisasi kepada wisatawan tentang aturan dan budaya lokal.
Selain itu pengawasan dan penegakan hukum atas penyalahgunaan visa juga terus ditingkatkan. Imbauan kepada masyarakat untuk tidak memfasilitasi WNA yang melanggar hukum, seperti overstay, kerja ilegal, atau usaha tanpa izin, juga digalakkan.
"Pemerintah menyadari akan ada dampak dari pariwisata tak terkendali, termasuk lonjakan harga lahan dan konflik sosial. Karena itu, pengawasan usaha pariwisata dilakukan melalui sistem OSS-RBA secara terintegrasi antara pusat dan daerah," terang Ni Luh.
Fenomena Turis Asing Pilih Tinggal di Penginapan Orang Asing Lainnya
Menariknya, meski menunjukkan potensi peningkatan wisatawan, ada fenomena okupansi hotel yang menurun di Bali. Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Azril Azahari menduga ada bisnis orang asing yang jadi sebabnya.
Azril menuding, para wisatawan mancanegara tersebut tinggal di penginapan yang dimiliki oleh orang asing lainnya. Ini berakibat pada kebocoran PAD, yang mengandalkan sektor pariwisata.
"Mereka senang yang tinggal di villa, yang dikelola oleh orang-orang sebangsanya. Dia (wisatawan asing) menyewa transportasi, menyewa motor, menyewa mobil, yang menawarkan orang sebangsanya, yang dikelola juga orang sebangsanya," kata Azril saat dihubungi Tirto, Kamis (19/6/2025).

Lebih lanjut menurutnya permasalahan pariwisata bukan cuma urusan Kementerian Pariwisata. Idelanya ada integrasi dengan kementerian dan lembaga lain.
Dia mengkritik pemerintah yang kerap mengumbar bebas visa, namun tidak memiliki keuntungan apapun bagi Indonesia. Azril berharap Indonesia dapat meningkatkan persyaratan visa masuk dengan mewajibkan setiap turis mancanegara untuk memiliki jumlah saldo minimal. Sehingga mereka tidak terlantar saat berwisata.
"Kalau bisa kita contoh seperti persyaratan visa Schengen, yang mewajibkan harus punya minimal saldo, harus punya uang deposit," katanya.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani. Dia menuntut ketegasan pemerintah untuk memantau turis yang ada di Indonesia terkhusus mereka yang berwisata di Bali.
Dia juga menyoroti tidak meratanya persebaran wisatawan di Bali Utara dan Bali Selatan. Hal ini yang kemudian memacu wisatawan yang tinggal di penginapan atau villa yang tidak resmi. Secara langsung hal ini menurunkan okupansi hotel yang berizin dan membayar pajak ke negara.
"Itu sekarang tinggal pada pemerintah daerah di sana. Gimana ini sudah keluhannya bukan hanya dari masyarakat, hotel juga merasakan hal yang sama. Itu overtourism menggerogoti hotel legal yang membayar pajak ke pemerintah," kata Hariyadi saat dihubungi Tirto, Kamis (19/6/2025).
PHRI Bali juga telah bersurat dan melakukan audiensi kepada Pemprov setempat, namun hingga kini belum ada respon yang bisa diberikan. Dia khawatir jika, Pemprov tidak menindak tegas para turis yang tinggal di penginapan ilegal dapat membuat konflik horizontal masyarakat.
"Jadi kalau suatu saat PHRI nggak tahan, bisa jadi akan sweeping juga kan. Jadi kita berantem sama turis, berantem sama yang punya rumah, kan nggak lucu," kata dia.
Adendum: Artikel ini mengalami pembaruan isi pada Senin (23/6/2026). Pembaruan berupa tambahan tanggapan dari Kementerian Pariwisata, yang baru Tirto terima, Minggu (22/6/2025)
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































