tirto.id - Sejak empat tahun lalu Andreas Eko tak pernah lagi berangkat ke kantornya di Jalan Taman Palem Lestari, Jakarta Barat. Ia berhenti bekerja sebagai editor senior video di agensi periklanan PT Telesindo Media.
Setelah bekerja lebih 10 tahun di bidang yang sama di beberapa agensi periklanan, Andreas akhirnya memilih jalan baru sebagai pekerja lepas—anak-anak muda ibu kota menyebutnya freelancer. Alasannya sederhana: ingin waktu kerja yang lebih fleksibel dan penghasilan lebih besar.
Menjadi freelancer bukan perkara mudah. Koneksi ke beberapa mantan klien ia gunakan pada masa-masa awal menjadi pekerja lepas. Masa ini cukup krusial sebab hampir seluruh penghasilan dari kantor lama telah habis untuk membuat studio kecil di rumahnya—di kawasan Taman Royal, Cipondoh, Tangerang.
Jika tak ada klien, tak ada pemasukan dan potensi terbelit utang jadi sangat besar.
"Sekarang ada studio sendiri. Sebelumnya kan ngantor. Hasil ngantor [gaji], saya tabung buat bikin studio sendiri. Studio gua di Tangerang," ujarnya kepada Tirto, Minggu (10/6/2018).
Pendapatan seorang freelancer tak pernah menentu. Kadang banyak, kadang sepi. Jika sedang ramai, ia bisa menerima tiga proyek dalam sebulan.
Biasanya, satu proyek kecil dapat ia rampungkan dalam waktu seminggu. Namun, karena klien kerap meminta revisi hingga berkali-kali agar benar-benar sesuai ekspektasi, waktu pengerjaan bisa molor.
"Ada taktik biar enggak terlalu diburu sama klien. Jadi misal proyeknya besar, dikira-kira dulu bisa berapa lama mengerjakannya. Kalau itu bisa selesai seminggu kerja, gua minta deadline-nya dua minggu. Jadi seminggu bisa gua pakai buat kerjaan yang lain," katanya.
Imbalan yang ia terima dari setiap proyek juga berbeda-beda, tergantung tingkat kerumitan dan jangka waktu yang disepakati dengan klien.
"Tawar-menawar itu biasanya soal waktu. Tapi misalnya mereka benar-benar butuh cepat, budget-nya gua minta naik. Karena otomatis waktu gua satu bulan buat garap proyek dia semua," terang Andreas.
Tak Pernah Dapat THR
Kerja-kerja yang dilakoni Andreas adalah satu dari 16 subsektor yang ditetapkan sebagai "industri kreatif". Industri ini memberikan sumbangsih cukup besar untuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada 2016, nilainya mencapai 7,5 persen dari total PDB atau setara Rp922,58 triliun.
Melihat sumbangsihnya yang besar, idealnya ada regulasi yang mengatur secara spesifik soal hak-hak para pekerja kreatif. Namun, faktanya tidak demikian, meski di satu sisi lembaga khusus yang menaungi industri kreatif—Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)—telah didirikan sejak 2015.
Salah satu perbedaan menonjol dari para freelancer dengan orang-orang yang bekerja di satu perusahaan tertentu adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Mereka yang bekerja di sektor ini tak pernah bisa menikmati THR.
"Enggak pernah dapat. Paling banter diajak makan sama diamplopin dengan jumlah yang enggak seberapa dibandingkan THR pegawai swasta atau pemerintah."
Hal ini diakui Andreas sebagai persoalan yang pelik. Ia bisa saja menabung lebih banyak untuk mengakalinya. Namun, sayang, selama Ramadan proyek justru lebih sulit didapat. "Bulan ini aja enggak ada sama sekali," akunya.
Kegalauan Andreas juga dialami oleh Jati Andito, seorang dubber. Selama tiga tahun mencari uang dari menjual suara, ia sama sekali tak pernah menerima THR dari perusahaan atau instansi pemerintah yang memakai jasanya.
Ia mengaku selalu meminta kontrak dalam setiap proyek. Alasannya sederhana: agar ada "hitam di atas putih"; agar kesepakatannya jelas dari awal sampai akhir. Namun, kata dia, tak pernah ada pembicaraan soal THR di dalam kontrak dalam proyek yang dikerjakan mendekati hari besar keagamaan.
Karena itulah, kata Jati, ia bakal mencari proyek sebanyak-banyaknya sebelum memasuki Ramadan.
"Makanya, gua macul sekencang-kencangnya sebelum bulan puasa. Supaya nanti puasa sepi job, sudah enggak pusing," katanya.
Masalah Regulasi
Ketua Divisi Bidang Perburuhan LBH Jakarta, Oky Wiratama, menyampaikan bahwa regulasi yang ada memang tak menyebut secara spesifik jika THR juga wajib diberikan perusahaan untuk freelancer industri kreatif. Namun, jika melihat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, sebetulnya para pekerja lepas ini juga berhak.
"Besarannya diatur berdasarkan rata-rata per bulan dapat berapa. Mereka kan tidak pasti dapatnya berapa. THR diserahkan perusahaan yang membayar mereka menjelang hari raya keagamaan," katanya kepada Tirto.
Ketentuan itu, jelas Oky, diatur Pasal 3 (3) beleid tersebut. Pemberian terkait THR harus diatur dalam kontrak antara freelancer dengan perusahaan.
Karena kewajiban itulah Oky menduga banyak perusahaan tidak memakai jasa pekerja lepas pada saat Ramadan. Ini menjawab mengapa orang-orang seperti Jati dan Andreas sepi proyek pada bulan ini.
Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Ellena Ekarahendy, menyampaikan bahwa perkara THR bagi para freelancer memang pelik. Soalnya, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan saat ini tidak mengakomodir para pekerja lepas.
"Jadinya karena tidak terakui di regulasi utama, regulasi turunannya jadi tidak bisa cover juga," ujar Ellena.
Ketentuan soal THR dalam Permenaker juga problematis sebab tak semua freelancer memiliki waktu kontrak minimal satu bulan. Dengan demikian, maka Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tak bisa jadi alat untuk menuntut THR kepada perusahaan yang memakai jasa para freelancer.
"Kecuali kalau si freelancer ini jadi pekerja kontrak/outsource yang ikatan kerjanya PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Dan dihitung pakai cara perhitungan buruh harian lepas. Tapi, lagi-lagi, syarat utamanya merujuk ke Permen tersebut. Yang berhak terima cuma pekerja yang sudah punya masa kerja minimal sebulan," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino