tirto.id - Akhir 2018 silam, Niue, negara kecil yang terletak di belahan Selatan Samudera Pasifik, mengajukan gugatan hukum di pengadilan Swedia. Aksi legal tersebut, yang didaftarkan pada Pengadilan Negeri Stockholm, menggugat The Internet Foundation in Sweden (IIS)--perusahaan asal Swedia yang mengelola domain .se (seperti PANDI di Indonesia yang mengelola domain .id)--membayar ganti rugi antara USD 27 juta hingga USD 37 juta (setara dengan pendapatan tahunan negara Niue) atas penyalahgunaan hak pengelolaan domain .nu.
Michael Waters, dalam laporannya untuk Wired, mengisahkan bahwa dilayangkannya gugatan Nieu pada IIS berasal dari kenyataan yang cukup tragis. Kisah bermula ke dekade 1980-an, kala ilmuwan komputer bernama Jon Postel membangun infrastruktur domain internet.
Selain menciptakan domain .com (untuk perusahaan), .net (untuk perusahaan atau lembaga internet), dan .org (untuk organisasi nir-laba), ia memutuskan menciptakan domain khusus, yakni country code-top-level domains, domain dua digit yang berhubungan dengan suatu negara.
Pada 1985, ia menciptakan tiga domain yang berhubungan dengan negara, yakni .us (Amerika Serikat), .uk (Inggris Raya), dan .il (Israel). Lambat laun, negara-negara lain dibuatkan country code-to-level-nya sendiri-sendiri, seperti .id untuk Indonesia atau .my untuk Malaysia.
Supaya bisa berfungsi, domain membutuhkan administrator guna mengelola hal-hal teknis. Masalahnya, meskipun country code-to-level domains berhubungan dengan suatu negara, Postel tidak memberikan hak administrator domain-domain tersebut ke negara-negara yang berhubungan dengan domain, melainkan melelang domain-domain tersebut.
Postel sendiri memberikan hak pengelolaan domain .us kepada dirinya, dan memberikan hak domain .uk pada seorang profesor di University College London. Domain-domain lain diberikan kepada siapapun yang mau membayar.
Untunglah, kebijakan nyeleneh Postel tersebut direvisi pada 1994. Semenjak tahun tersebut, country code-to-level domains harus dikelola oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan negara. Sayangnya, kebijakan ini memiliki celah, persis seperti banyak perusahaan atau individu kaya raya memanipulasi pajak dengan membuat perusahaan dan rekening cangkang di Panama. Meskipun domain .nu seharusnya dikelola oleh pemerintah Nieu--atau perusahaan asal Nieu--domain tersebut tidak pernah dikelola oleh salah satu dari keduanya.
Salah satu alasannya: mayoritas penduduk Nieu bekerja sebagai nelayan dan internet. Pada 1997, domain .nu dikuasai oleh seorang editor majalah bernama Bill Semich, dan semenjak 2013 dikuasai oleh IIS. Karena dalam bahasa Swedia "nu" berarti "sekarang," domain .nu populer dibeli publik Swedia untuk kebutuhan layanan internet mereka. Kembali merujuk Waters, domain .nu paling laku ke-3 di Swedia, selepas .com dan .se (domain Swedia).
Nieu tak sendirian. Domain .ly, yang seharusnya dimiliki pemerintah/perusahaan Libya, dimiliki oleh pengusaha asal Inggris--yang berpura-pura beralamat di Tripoli. Domain .tj dimiliki perusahaan asal California, Fresco.
Yang lebih parah, dialami British Indian Ocean Territory pemilik domain .io, domain yang sering diasosiasikan dengan I/O alias Input/Output. Domain .io dengan I/O, domain ini cukup populer khususnya di kalangan penggiat teknologi. Blog teknologi milik Gojek, misalnya, beralamat di gojek.io. Sayangnya, karena sejak 1997 domain .io dikelola oleh perusahaan asal Bournemouth, Inggris, bernama Internet Computer Bureau, masyarakat asli British Indian Ocean Territory tak memperoleh untung sepeser pun atas .io. Pun, karena hingga saat ini British Indian Ocean Territory masih berada di bawah kekuasaan Inggris Raya, sukar bagi British Indian Ocean Territory memiliki hak penuh pengelola domain .io.
"Ini adalah kolonialisme gaya baru," ucap Perdana Menteri Nieu Toke Talagi.
Mendulang Uang dari Domain
Agustus 2014 silam, Amazon menyatakan akan membayar USD 970 juta secara kontan untuk mengakuisisi Twitch--layanan streaming bagi para pemain video game. Yang unik, alamat untuk mengunjungi Twitch melalui browser bukan twitch.com, melainkan twitch.tv, country code-top-level domains milik Tuvalu, negara kecil yang berada di Selatan Pasifik. Noam Cohen, dalam laporannya untuk The New York Times, menyebut domain .tv tengah naik daun. Alasannya, dengan mengesampingkan rujukan asli .tv, yakni Tuvalu, domain ini juga dapat dirujuk pada TV atau televisi. Tony Lorenz, pemilik situs BOB.tv, sebagaimana diungkapkannya pada Cohen, menyebut bahwa domain .tv "sangat penting untuk untuk pemasaran," khususnya bagi layanan-layanan internet yang berhubungan dengan video, streaming, dan sejenisnya. Apalagi, merujuk data Statista, konsumsi masyarakat dunia pada video di internet terus meningkat dan berangsur meninggalkan TV konvensional.
Di Amerika Serikat pada 2015, rata-rata konsumsi video pada kanal konvensional per individu berada di angka 250 menit, sementara konsumsi di kanal digital (internet) hanya 62 menit. Pada 2020, konsumsi video internet melonjak menjadi 109 menit, sementara video TV menyusut menjadi 202 menit.
Kenyataan ini menjadikan domain .tv primadona, dengan posisinya yang erat dengan TV atau konten-konten video.
Kisah domain .tv mirip seperti domain .nu, tetapi dengan akhir yang lebih baik. Usai diciptakan oleh Jon Postel pada akhir 1980-an, domain ini dikelola oleh seorang programer asal AS. Namun, sebagaimana ditulis Alexander Lee untuk The Washington Post, usai Postel merevisi keputusannya soal pengelolaan domain pada 1995, pemerintah Tuvalu menyadari banyak orang asing yang membicarakan domain .tv, dan mengait-ngaitkannya dengan Tuvalu (serta televisi).
Sayangnya, sebagaimana dijabarkan Stephen Boland, para pegawai negeri di Tuvalu yang mengurusi masalah telekomunikasi dan sebagian besar masyarakat negeri itu tidak paham internet sehingga tak menyadari pentingnya domain .tv. Beruntung, seorang warga AS membantu pemerintah Tuvalu mengambil alih kepemilikan domain .tv. Setelah memiliki hak .tv pemerintah menyewakan hak pengelolaan domain ini pada DotTV selama 12 tahun dengan nilai USD 50 juta. Usai dikelola DotTV, Verisign, perusahaan internet asal AS, mengelola domain .tv hingga 2021.
Melalui tangan Verisign, Tuvalu memperoleh uang senilai USD 5 juta per tahun. Namun, karena .tv termasuk populer, Pemerintah Tuvalu menganggap jumlah tersebut terlalu kecil. Menteri Keuangan Tuvalu Seve Paeniu suatu kali pernah berkata bahwa upeti atas domain milik mereka dari Verisign hanya sebatas "kacang", dan berjanji akan menaikkan harga pengelolaan domain .tv pada 2021.
Bagi Tuvalu, uang dari domain .tv memang sangat penting. Menyumbang 1/12 pendapatan nasional bruto, tutur Paeniu, uang dari .tv "memberikan penghasilan pasti dan pasti". Melalui uang tersebut, imbuhnya, "memungkinkan pemerintah memberikan layanan penting kepada rakyatnya melalui penyediaan sekolah dan pendidikan bagi anak-anak, menyediakan layanan medis untuk rakyat kami, dan juga dalam hal meningkatkan infrastruktur ekonomi dasar dan pemberian layanan kepada masyarakat kami."
Aliran uang yang besar tentu tak hanya mengalir pada Tuvalu sebagai pemilik domain .tv. Selain didasari semangat penamaan yang langsung merujuk ke konten (seperti twitch.tv), popularitas country code top-level domains didukung oleh semangat mengejar yang ringkas-ringkas. Alamat domain yang ringkas memudahkan pengguna membagi link.
Twitter, misalnya, memiliki t.co, alamat singkat yang mereka gunakan untuk memperpendek link-link yang dibagikan via Twitter oleh pengguna. Selain Twitter, Google juga punya, yakni g.co. Domain .co dimiliki oleh Kolombia, yang dikelola oleh Juan Diego Calle, mantan pengusaha real estate asal AS kelahiran Kolombia. Dan karena .co dapat dianggap sebagai versi pendek dari domain .com, domain ini termasuk populer, digunakan, misalnya, oleh Tempo (tempo.co) dan Mojok (mojok.co)
Calle, dalam kisah yang dituturkannya untuk The New York Times, mengklaim bahwa domain .co telah dimiliki lebih dari 1 juta pengguna di 200 negara.
Selain .nu, .io, .tv, dan .tv, terdapat lebih dari 290 country code top-level domains, yang populer digunakan untuk meringkas alamat, seperti tir.to (Tonga) untuk Tirto.id. Tak ketinggalan, bagi perusahaan-perusahaan besar, membeli domain-domain dari hampir semua negara dianggap sebagai upaya mengamankan merek. Google, misalnya, memiliki semuacountry code top-level domains.
Dengan kenyataan ini, country code top-level domains merupakan tambang uang yang menjanjikan.
Editor: Windu Jusuf