Menuju konten utama
Pemilu & Politik Israel

Bagaimana Netanyahu Berkuasa Lagi di Israel Usai Disingkirkan

Benjamin Netanyahu berhasil disingkirkan bertahun lalu. Namun, berkat beragam manuver dan faktor eksternal, ia kembali ke lingkaran satu Israel.

Bagaimana Netanyahu Berkuasa Lagi di Israel Usai Disingkirkan
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ketua rapat kabinet mingguan di kantornya di Yerusalem, Minggu, 10 Maret 2019. (Gali Tibbon / Pool Photo via AP)

tirto.id - Satu setengah tahun silam, sekitar awal Juni 2021, Benjamin Netanyahu harus rela berpisah dari singgasana empuk perdana menteri yang sudah dipertahankannya selama 12 tahun berturut-turut—atau 15 tahun apabila administrasi pertamanya pada dekade 1990-an ikut dihitung. Kala itu, perdana menteri paling lama berkuasa di Israel tersebut tengah dipusingkan dengan serangkaian proses pengadilan karena terlibat skandal korupsi—yang beritanya sudah menyeruak sejak 2017.

Netanyahu sendiri menolak segala tuduhan. Menurutnya itu tak lebih dari “perburuan penyihir” dan “percobaan kudeta” oleh para haters. Dia juga percaya diri mengatakan demikian karena tingkat persetujuan publik atas kinerjanya (approval rating) masih aman di atas 50 persen—sama dengan tahun sebelum skandal korupsi terungkap.

Sejumlah cara Netanyahu lakukan untuk menyelamatkan pangkatnya. Bersama sekutu di parlemen Knesset, misalnya, dia mengajukan RUU yang dapat membuat legislator imun terhadap tuntutan hukum.

Netanyahu juga mendemonisasi para pengkritik, dari mulai politikus sampai media massa, sebagai musuh dari sayap kiri. Dia menyebut mereka sebagai corong “propaganda Bolshevik.” Netanyahu juga menuding polisi dan jaksa penuntut telah kongkalikong dengan jurnalis kiri untuk “menjebaknya dalam kasus-kasus khayalan” supaya dia lengser.

Rekan politikus sayap kanan yang pernah menyokong koalisinya pun turut dicerca karena dianggap berambisi ingin merebut jabatannya.

Sekuat apa pun melawan, Netanyahu akhirnya kandas juga setelah ia dikalahkan oleh koalisi super lebar. Mereka terdiri dari delapan partai, meliputi pembelot dari kubu Netanyahu sendiri—kalangan religius dan nasionalis sayap kanan garis keras yang menolak kemerdekaan rakyat Palestina; kelompok sekuler berhaluan tengah dan kiri; serta partai islamis Arab yang mendukung perdamaian dengan Palestina melalui solusi dua-negara.

Administrasi tersebut dinakhodai secara bergantian oleh politikus sayap kanan Naftali Bennett dan politikus sentris Yair Lapid.

Meskipun koalisi Bennett-Lapid terdiri dari parpol dengan ideologi dan arah kebijakan yang bertentangan, Netanyahu yang kecewa dan merajuk masih ngotot menuding mereka sebagai “pemerintahan sayap kiri berbahaya” yang dihasilkan dari “penipuan pemilu terbesar” dalam riwayat Israel.

Kegusaran Netanyahu juga ditujukan pada keputusan koalisi Bennett-Lapid untuk merangkul partai Arab pro-Palestina. Menurutnya keputusan ini sama dengan “berjudi” atas hidup-mati negara Israel. “Pemerintah yang bergantung pada pihak yang menolak eksistensi negara Yahudi… tidak akan bertahan… Finito la commedia!” seru Netanyahu bulan Mei kemarin.

Pemerintah Keropos, Netanyahu Ambil Peluang

Prediksi Netanyahu tidak keliru. Kekompakan pemerintahan anti-Netanyahu yang disebut-sebut “eksperimen” politik memang tidak bertahan lama: cuma setahun.

Meskipun dalam waktu sesingkat itu mereka menorehkan sejumlah prestasi—seperti meloloskan anggaran belanja yang prosesnya macet bertahun-tahun, serta berhasil menangani pandemi Covid-19 dengan lancar tanpa menerapkan lockdown—mereka kelak dihadapkan pada kebuntuan terkait perkara Palestina.

Koalisi gagal mencapai kata sepakat tentang suatu undang-undang yang masa berlakunya sudah mau habis. Aturan tersebut memberikan status hukum spesial bagi warga negara Israel yang bermukim di Tepi Barat—teritorial Palestina yang direbut pasukan Israel dalam Perang Enam Hari tahun 1967 dan sampai sekarang diduduki oleh orang Israel secara ilegal menurut hukum internasional.

Partai propendudukan gigih berupaya memperpanjang masa berlaku UU tersebut. Tujuannya agar penduduk Israel di sana kebal dari hukum militer dan tidak akan kehilangan akses terhadap layanan publik. Selama ini, hukuman militer dan pembatasan layanan hanya diterapkan untuk dua juta orang Palestina di Tepi Barat. Sementara kubu yang properdamaian dengan rakyat Palestina sebaliknya.

Pemerintahan perlahan mengeropos seiring partai demi partai keluar meninggalkan koalisi.

Netanyahu mengambil peluang ini dengan cerdik. Selama setahun belakangan ia membetah-betahkan diri duduk di bangku oposisi untuk mencerca segala proyek pemerintah. Dia dengan konyol mengajak semua oposisi untuk menolak setiap RUU yang diajukan koalisi pemerintah terlepas apa pun isinya.

Akhirnya koalisi Bennett-Lapid memutuskan menyelenggarakan pemilu lagi tanggal 1 November 2022—kelima kali dalam kurun waktu kurang dari empat tahun.

Tentu saja peluang itu dimanfaatkan habis-habisan oleh Netanyahu. Karut-marut ekonomi jadi materi andalannya saat berkampanye.

Memang, meskipun ekonomi negara ini relatif tahan banting dibandingkan yang lain karena disokong sumber daya energi dan sektor high-tech yang kuat, hidup penduduk tetap saja penuh ujian karena inflasi.

Dilansir dari Al-Monitor, serikat guru berbondong-bondong mengancam berhenti mengajar karena gaji tidak naik-naik. Ratusan dokter intern di rumah sakit mengundurkan diri karena kondisi kerja yang tidak manusiawi. Harga rumah, berikut harga sewa, juga meroket.

Puncaknya terjadi pada bulan Agustus, yaitu ketika bank sentral meningkatkan suku bunga 0,75 persen. Hal itu berdampak pada kenaikan bunga pada angsuran KPR yang awalnya nol persen.

Infografik Benjamin Netanyahu

Infografik Benjamin Netanyahu. tirto.id/Fuad

Dalam kampanye rutin di atas bus khusus berlapis kaca antipeluru yang disebut Bibibus (“Bibi” adalah nama panggilan Netanyahu), ia menebarkan janji manis: dari mulai menurunkan harga listrik, air dan gas, juga membekukan pajak daerah. Ia juga menyerukan pentingnya memotong tarif komoditas dan pajak pendapatan.

Terkait properti, Netanyahu menawarkan subsidi lahan bagi pasangan muda dan insentif untuk kontraktor agar lebih cepat memproduksi alat-alat keperluan konstruksi. Ia juga ingin meringankan beban orang tua dalam pengasuhan anak dengan program prasekolah gratis untuk usia di bawah 3 tahun.

Kubu anti-Netanyahu mencibir janji-janji tersebut sebagai omong kosong. Administrasinya selama belasan tahun dianggap sudah sengaja melakukan pembiaran terhadap kenaikan harga komoditas terutama properti.

Tapi toh upaya itu gagal. Politikus paling dominan di lanskap politik Israel yang baru saja menginjak usia 73 itu mampu-mampu saja kembali berjaya dalam pemilu. Koalisinya sukses jadi mayoritas dengan menguasai 65 dari 120 kursi Knesset.

Kemenangan Netanyahu tak bisa dilepaskan dari kontribusi sekutu baru, Religious Zionist Party. Kelompok ini punya rekam jejak kontroversial dan toksik. Kehadiran grup ekstremis Yahudi yang anti-Palestina, anti-Arab, homofobik dan prokekerasan dalam tubuh administrasi Netanyahu ini sampai membuat elite Washington khawatir tentang masa depan relasi diplomatik mereka.

Bagaimana sebenarnya kiprah partai yang satu ini?

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait BENJAMIN NETANYAHU atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino