tirto.id - Pada penghujung 2008, skandal korupsi memaksa Ehud Olmert, Perdana Menteri Israel serta pemimpin partai berhaluan tengah Kadima, untuk mengundurkan diri dari panggung politik. Menteri Luar Negeri Tzipi Livni, advokat solusi dua-negara untuk perkara Palestina, lantas ditunjuk sebagai penggantinya di Kadima serta diprediksi jadi PM berikutnya. Pada waktu bersamaan, muncul peluang akan kebangkitan Partai Buruh, kala itu dipimpin oleh Menteri Pertahanan sekaligus eks-PM Ehud Barak, yang juga gencar mendorong solusi dua-negara untuk berdamai dengan Palestina.
Di tengah drama politik domestik, gencatan senjata disepakati oleh pihak Israel dan Hamas sepanjang Juni-Desember. Namun, selama jangka waktu tersebut, intelijen Israel mendapati militan Palestina tengah menggali gorong-gorong di Gaza untuk menyekap tentara Israel. Militer Israel pun melancarkan serangan udara yang dibalas Hamas dengan hujan roket.
Langkah damai dengan Palestina di bawah trio PM Olmert, Menlu Livni dan Menhan Barak pun dipandang tak efektif. Di samping itu, seperti ditulis oleh koresponden BBC Jonathan Marcus di Washington Quaterly (2009), ketiganya kerap bersitegang dengan satu sama lain seperti halnya mereka tengah memerangi Hamas. Situasi ini pun membuka celah bagi Benjamin Netanyahu untuk mengkritisi mereka. Menurut Netanyahu, pemerintahan Olmert terkesan tergesa-gesa menghentikan aktivitas militer Israel di Gaza, yang dikuasai Hamas sejak 2007.
Ketika gencatan senjata berakhir, Netanyahu berkomentar, “Selama tiga tahun, para menteri Kadima sudah menimbun kepala mereka di dalam pasir. Kini tiba waktunya untuk mengubah itu.” Di mata Netanyahu, mengenyahkan Hamas adalah prioritas jangka panjang. “Sekarang kita harus mengubah respons pasif jadi serangan aktif. Kita punya sejumlah pilihan sebelum mengambil jalur [Gaza],” imbuhnya.
Pada akhirnya, perubahan arah angin politik tidak terhindarkan. Mengutip pandangan jurnalis veteran Yossi Alpher yang dipetik oleh Marcus dalam artikelnya di Washington Quaterly, pesimisme terhadap prospek damai Israel-Palestina merupakan faktor yang lebih berperan mendorong pemilih suara untuk meninggalkan politik kiri dan bergeser ke tengah serta kanan.
Dalam pemilu legislatif pada Februari 2009, Kadima meraih 28 kursi, terbanyak di parlemen Knesset. Di bawah mereka, Likud pimpinan Netanyahu memperoleh 27 kursi, diikuti partai berhaluan tengah-kanan Yisrael Beiteinu (15) dan Partai Buruh (13).
Sebagai parpol dengan suara terbanyak, Kadima perlu membangun koalisi di parlemen supaya roda pemerintahan dapat berjalan. Setelah itu, barulah pemimpin Kadima, Tzipi Livni, bisa mengemban tugasnya sebagai perdana menteri. Hanya saja, Livni gagal bikin koalisi mayoritas karena tidak bisa mencapai kata sepakat dengan Shas, partai Yahudi ultra-ortodoks, terkait tunjangan anak bagi komunitas Yahudi Haredi dan syarat negosiasi dengan Palestina.
Akhirnya, Presiden Shimon Perez memerintahkan partai dengan suara terbanyak kedua untuk membentuk koalisi. Likud menyanggupinya dan berhasil membentuk koalisi mayoritas. Periode kedua Netanyahu sebagai perdana menteri pun resmi dimulai.
Obama-Netanyahu: Hubungan yang Retak
Seiring Netanyahu sibuk membangun koalisi di Knesset, nun jauh di seberang Atlantik, sekutu lama Israel baru saja memulai pemerintahan baru di bawah seorang politisi Demokrat yang ambisius mendorong perdamaian berkelanjutan di Timur Tengah, dimulai dengan mengakurkan Israel dan Palestina. Sebagaimana diperkirakan oleh banyak pihak, visi perdamaian yang dicita-citakan Barack Obama tampaknya bakal sulit diperjuangkan bersama administrasi sayap kanan Netanyahu.
Setelah masing-masing dilantik, Obama dan Netanyahu baru bertatap muka secara langsung di Gedung Putih pada Mei 2009. Seperti bisa diduga, masing-masing punya agenda politik berbeda. Obama mengangkat isu Israel-Palestina: meminta Netanyahu agar merangkul solusi dua-negara dan menghentikan pembangunan proyek pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Sedangkan Netanyahu, pandangannya tak berubah sejak tahun 1990-an. Ia bicara tentang ancaman Iran terhadap eksistensi Israel dan urgensi untuk melancarkan serangan militer kepada mereka.
Sebulan kemudian, Obama mengulang pesannya di Kairo, Mesir dalam pidato penting untuk menunjukkan keseriusan Amerika dalam menjalin persahabatan dengan dunia Arab. “Situasi rakyat Palestina tidak dapat ditoleransi. Dan Amerika tidak akan berpaling dari aspirasi sah bangsa Palestina untuk mendapat martabat, peluang, dan negaranya sendiri,” tegasnya. Obama menyerukan solusi dua-negara sebagai satu-satunya cara agar bangsa Israel dan Palestina dapat hidup damai dan aman.
Tak lama, Netanyahu menjawab tantangan Obama dalam pidato di Bar-Ilan University, Tel Aviv. Sekali lagi, ia mengungkit ancaman dari Iran. “Bahaya terbesar bagi Israel, Timur Tengah dan seluruh umat manusia dan dunia adalah pertemuan antara Islam radikal dan senjata nuklir,” ujarnya. Lantas, tibalah topik yang ditunggu-tunggu. Dalam visinya tentang perdamaian, Netanyahu membayangkan “kehidupan dua bangsa yang bebas, berdampingan, bersahabat dan saling menghormati”, masing-masing dengan bendera, lagu kebangsaaan dan pemerintahnya sendiri.
Akan tetapi, Netanyahu mengajukan syarat penting: Palestina harus mengakui terang-terangan bahwa Israel adalah negara bangsa Yahudi, dan mau melakukan demilitarisasi. Apabila keduanya dijamin, Netanyahu tegaskan Israel siap melakukan kesepakatan damai “untuk mencapai solusi di mana negara demilitarisasi Palestina hidup berdampingan dengan negara Yahudi”.
Tak bisa dipungkiri, pidato di atas punya nilai historis. Inilah kali pertama Netanyahu tampak bersedia menerima solusi dua-negara. Amerika Serikat dan komunitas internasional pun semakin diyakinkan bahwa Netanyahu sudah berubah jadi pribadi yang lebih pragmatis dibandingkan ketika berkuasa pada era 1990-an.
Terlepas dari itu, syarat-syarat yang diajukan Netanyahu dikritik karena nyaris mustahil terpenuhi. Pasalnya, pengakuan dari Palestina terhadap Israel sebagai negara Yahudi selama ini dipandang akan menggerus hak-hak pengungsi Palestina dan berdampak buruk terhadap status warga minoritas Israel Arab. Di samping itu, Netanyahu tak menyinggung negosiasi-negosiasi yang pernah atau sedang berlangsung, luasan geografis negara Palestina kelak, dan bersikeras bahwa Yerusalem harus jadi ibukota Israel. Singkatnya, tidak ada ruang tersisa bagi pihak Palestina untuk bernegosiasi.
Signifikansi dan implementasi dari pidato Netanyahu pun kelak dipertanyakan. Tiga tahun kemudian, Haaretz, mencatat tak ada satu pun putusan kabinet yang menegaskan isi pidatonya. Tidak ada pula pertanda bahwa Partai Likud siap menerima Palestina sebagai negara. Berbagai langkah perdamaian yang dimediasi administrasi Obama dan Menlu Hilary Clinton pun tersendat-sendat.
Sampai Obama mengakhiri periode keduanya pada awal 2017, relasi Amerika-Israel terus dihiasi batu kerikil. Terlepas tekanan dari administrasi Obama, Netanyahu tak pernah menghentikan ekspansi pembangunan pemukiman di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Kalaupun dilakukan, hal itu sebatas penangguhan proyek pembangunan selama 10 bulan seperti pernah berlangsung pada 2010.
Baik Obama dan Netanyahu juga punya pandangan berbeda tentang Iran. Pada dasarnya, Kedua pemimpin tak menginginkan Iran punya kekuatan nuklir. Akan tetapi, Washington tidak keberatan Iran mengelola energi nuklir selama mengikuti aturan-aturan ketat yang disepakati bersama. Sementara itu, Netanyahu bersikeras agar Teheran mengakhiri seluruh aktivitas nuklir.
Langkah Obama untuk bernegosiasi dengan Iran pun bikin Netanyahu gerah, yang bahkan mengkritiknya secara keras dalam pidato di depan para anggota Kongres AS pada 2015. Kritik ini tentu saja disambut meriah oleh para wakil rakyat dari Partai Republikan, meski dipandang kontroversial. Netanyahu hadir di Washington atas undangan Ketua DPR AS John Boehner, politisi Republikan yang dituduh sudah memainkan politik partisan dalam hubungan diplomasi Amerika-Israel.
Menjelang akhir periode keduanya, pukulan keras dilancarkan pemerintahan Obama kepada Israel. Amerika memutuskan abstain dalam pengambilan suara resolusi PBB terkait pendudukan ilegal Israel di Palestina. Padahal, sebelumnya Paman Sam rajin memberikan veto terhadap resolusi-resolusi yang kritis terkait aktivitas Israel. Sejak 2016, resmi sudah Dewan Keamanan PBB memutuskan bahwa pendudukan bangsa Israel di teritorial Palestina sejak 1967, termasuk Yerusalem Timur, sudah melanggar hukum internasional.
Menurut dosen kajian Timur Tengah dari University College London, Neill Lochery, dalam analisisnya di Politico (2017), Netanyahu bisa dibilang sukses mengungguli Obama dalam perkara Palestina dengan memanfaatkan trik-trik manuver taktis dan tarik-ulur politik. Di mata Netanyahu, Obama sekadar membujuk-bujuki tercapainya prospek menuju perdamaian tanpa berani ambil risiko dengan modal politik sendiri. Seiring Obama mengakhiri masa baktinya, Netanyahu sadar bahwa dirinya sudah menang, terbukti dengan bertambah lebarnya area pemukiman orang Israel di Tepi Barat dan semakin terhambatnya cita-cita bangsa Palestina mendirikan negara merdeka.
Isu Domestik, Menuju Periode Ketiga
Di samping menjalin relasi rumit dengan administrasi Obama, selama periode keduanya Netanyahu juga dipusingkan dengan isu-isu domestik. Seiring gelombang Arab Spring menyapu Timur Tengah dan Afrika Utara, Israel ikut diguncang oleh gerakan massa. Pada musim panas 2011, Guardian melaporkan lebih dari 400 ribu demonstran turun ke jalanan Tel Aviv, Yerusalem dan Haifa untuk menuntut keadilan sosial dan biaya hidup lebih murah, termasuk harga sewa rumah, pangan dan bahan bakar sampai pengasuhan anak. Protes ini dimulai dari segelintir pihak yang mendirikan tenda di kawasan elite Tel Aviv, Rothschild Boulevard, sebagai bentuk protes atas mahalnya biaya sewa dan harga properti.
Dalam biografi berjudulBibi: The Turbulent Life and Times of Benjamin Netanyahu (2018), jurnalis Haaretz dan Economist Anshel Pfeffer mengungkapkan bahwa demonstrasi di atas berhasil diredamkan berkat satu keputusan politik yang sangat tidak mencerminkan karakteristik seorang Netanyahu.
Sepanjang karier politiknya, Netanyahu lantang menentang berbagai kesepakatan untuk meladeni permintaan militan Palestina yang menurutnya tak masuk akal, terutama pertukaran tawanan Palestina dengan tentara Israel yang diculik Hamas. Pemerintah Israel pernah membebaskan lebih dari 1.000 tawanan Palestina demi 3 tentara Israel yang disekap di Lebanon pada 1985. Aksi ini dikritik keras Netanyahu, yang kala itu masih menjabat sebagai diplomat Israel di Amerika Serikat. Pada periode pertamanya (1996-99) sebagai PM, Netanyahu memang sempat melepas sejumlah besar tawanan Palestina—termasuk pendiri Hamas, Ahmed Yassin. Namun, hal itu dilakukan dengan berat hati di bawah berbagai tekanan.
Bersamaan dengan menyeruaknya protes massa menuntut keadilan di Israel, Hamas dikabarkan mau menurunkan beban tuntutannya dalam rangka menukar tentara Israel bernama Gilad Shalit, yang disekap di ruang bawah tanah di Gaza selama 5 tahun. Kisah Shalit diketahui hampir oleh seluruh masyarakat Israel. Bertahun-tahun lamanya, keluarga Shalit memohon pada setiap PM Israel untuk membebaskan putranya. Pada akhirnya, Netanyahu sepakat mengembalikan 1.027 orang tawanan Palestina kepada Hamas demi seorang serdadu Israel.
Publikasi tentang aksi protes sepanjang musim panas pada akhirnya meredup seiring media Israel ramai memberitakan rencana kepulangan Shalit. Dilansir dari buku Pfeffer, publik pun tampaknya mulai menyadari bahwa tuntutan demonstrasi kurang tepat untuk ditujukan kepada pemimpin yang rela melakukan apapun demi memulangkan anak bangsanya dari sarang musuh. Masih mengutip Pffefer, ketika aksi protes massa menyeruak, jajak kepuasan terhadap performa Netanyahu melorot pada tingkat 29 persen, terendah sejak ia kembali berkuasa. Akan tetapi, tak lama setelah Shalit berhasil dipulangkan, kepuasan publik padanya meroket sampai 51 persen.
Setelah citranya pulih di mata publik, Netanyahu dihadapkan pada kebuntuan di parlemen Knesset. Koalisi partainya gagal mencapai kata sepakat terkait anggaran belanja negara. Akibatnya, parlemen dibubarkan dan pemilu dilangsungkan lebih awal pada Januari 2013.
Sebagaimana kegemarannya menyebarkan ketakutan, dalam kampanyenya Netanyahu konsisten berkoar-koar tentang ancaman Iran. Salah satu satu safari politiknya dilakukan di Ariel, lokasi pendudukan Yahudi di Tepi Barat. Komunitas internasional sempat mengkritisi peresmian sebuah kampus di sana. Namun dalam ceramahnya, Netanyahu menegaskan, “Bahaya terhadap dunia tidak berasal dari kampus di Ariel atau pembangunan oleh bangsa Israel di kawasan pemukiman Yerusalem. Bahaya datang dari Iran, yang sedang membuat senjata nuklir.” Netanyahu juga berkomitmen akan terus membangun pemukiman bagi bangsa Yahudi di sana.
Hari pemilu pun keluar. Kali ini, Partai Netanyahu menang tipis tanpa tantangan berarti dari rival lama Kadima, yang performanya hancur berantakan. Likud membangun aliansi bersama partai sekuler ultranasionalis Yisrael Beitenu, dengan basis pengikut imigran berbahasa Rusia dari kawasan eks-Soviet. Mereka meraih total 31 dari 120 kursi.
Netanyahu masih harus merangkul partner lain agar dapat menggerakkan pemerintahan. Pilihannya terbatas pada partai berhaluan tengah, Yesh Atid dan faksi sayap kanan-jauh Jewish Home. Karena masih kekurangan partner, Netanyahu merayu eks-Menlu Tzipi Livni, yang baru saja bikin partai berhaluan tengah baru, Hatnua.
Pada akhirnya, koalisi ini dipandang melemahkan administrasi Netanyahu. Yesh Atid dan Jewish Home menuntut Netanyahu agar menjauhi partai-partai ultra-Ortodoks, yang peran sertanya begitu kuat dalam pemerintahan Israel selama ini. Pasalnya, mereka suka menggunakan pengaruhnya untuk memperoleh pendanaan bagi sekolah-sekolah agama, seminari dan institusi keagamaan lain. Sementara itu, Yesh Atid dan Hatnua sama-sama ingin mendorong negosiasi damai dengan Palestina dan kritis terhadap ekspansi pemukinan Yahudi di Tepi Barat.
Bisa diprediksi, koalisi ini tidak awet. Sekitar setahun kemudian, mereka bubar. Pemilu dijadwalkan pada awal 2015. Hasilnya kelak membuka pintu bagi periode keempat Netanyahu sebagai perdana menteri.
Editor: Windu Jusuf