Menuju konten utama

Bagaimana Kampus Cabang Internasional Gulung Tikar

Kampus asing ramai-ramai buka cabang internasional. Risiko ruginya juga besar.

Bagaimana Kampus Cabang Internasional Gulung Tikar
Ilustrasi Wisuda. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pertengahan Desember lalu, kampus elite asal Inggris, University College London (UCL), menyelenggarakan upacara wisuda terakhir untuk mahasiswa master dan doktoral di Qatar. Kampus UCL Qatar akhirnya resmi ditutup setelah beroperasi sejak 2010. Beberapa tahun silam, UCL sudah membubarkan cabangnya di Kazakhstan dan Australia.

Alasannya, selain biaya operasional kampus yang mahal, pengalaman akademik UCL dinilai tidak bisa dirasakan di luar negeri, seperti pernah disampaikan pejabat UCL Dame Nicola Brewer kepada Financial Times tahun 2015. Alih-alih membangun kampus fisik di negara lain, UCL ingin fokus menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan yang sudah ada, misalnya melalui program joint-degree atau kolaborasi riset.

Sudah jelas, “ke-Inggris-an” dibingkai oleh pihak kampus sebagai karakteristik utama dari kultur akademik UCL. Belajar di UCL artinya menjalani kehidupan di Inggris dan ikut menumbuhkan rasa “pernah jadi bagian” dari budaya pendidikan di ibukota tua London. Tergantung tempat menuntut ilmu, orang tentunya akan menjalani pengalaman sosio-kultural dan terpapar jaringan pertemanan profesional yang berbeda-beda.

Di balik berbagai pandangan yang diutarakan UCL, tidak bisa dipungkiri bahwa operasional kampus cabang adalah sebuah praktik bisnis yang berisiko. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Stephen Wilkins (2020), setidaknya terdapat 42 kampus cabang yang tak lagi aktif pada 2016, sementara yang masih beroperasi sampai 2017 jumlahnya mencapai 263 kampus.

Studi berjudul “International branch campus: Framework and strategy” (2014) mengungkapkan ekspansi kampus cabang sebagai suatu langkah internasionalisasi yang sifatnya “keras” dan lebih riskan, apabila dibandingkan dengan kerjasama tradisional seperti kolaborasi program kuliah dan riset. Pasalnya, kampus cabang membutuhkan sumber daya manusia dan material serta komitmen yang jauh lebih besar.

Berdasarkan studi di atas, kampus cabang perlu investasi dana yang tinggi, salah satunya untuk membangun gedung kampus dan mengisinya dengan fasilitas pembelajaran berkualitas. Biaya besar juga diperlukan untuk mengirim dan menggaji dosen dari kampus induk ke negara kampus cabang. Walaupun ada alternatif rekrutmen staf dalam negeri, kemampuannya dikhawatirkan tidak mesti sesuai dengan ekspektasi kampus induk.

Masih dilansir dari hasil studi yang sama, dosen harus mengerahkan waktu dan energi ekstra untuk menyesuaikan diri dan mengolah materi ajaran yang disesuaikan dengan karekter mahasiswa di kampus cabang. Adaptasi kurikulum memang menjadi salah satu tantangan utama kampus cabang, yang dituntut untuk bisa mengolah materi kuliah agar sesuai dengan nilai-nilai kebudayan lokal, sekaligus menjaga kualitas dan kontennya tetap sama dengan kurikulum kampus induk.

Kisah Kampus New York di Singapura

Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh kampus cabang dapat dipelajari dari kasus di Singapura. Pada 2007, sekolah perfilman New York University (NYU) Tisch Asia didirikan di sana. Tisch Asia menjadi percabangan dari NYU Tisch School of the Arts, yang pernah meluluskan nama-nama besar Hollywood seperti sutradara Martin Scorsese dan aktor Mahershala Ali. Sayangnya, Tisch Asia hanya mampu berjaya sebentar. Akhir 2012, mereka mengumumkan kesulitan finansial dan akhirnya berhenti beroperasi pada 2015.

Di bawah kepemimpinan John Sexton (2003-2015), NYU menjadi semakin ambisius untuk berekspansi. Selama ini, NYU membanggakan diri sebagai kampus yang aktif mendorong para mahasiswanya untuk mengikuti program pertukaran ke luar negeri. Akan tetapi, bagi Sexton hal tersebut belum cukup. NYU diyakini akan semakin mengglobal jika mereka punya lebih banyak mahasiswa internasional, yang salah satunya bisa diperoleh melalui kampus-kampus cabang di kawasan dengan permintaan tinggi akan jasa pendidikan. Tisch Asia menjadi proyek percobaan pertama pada era Sexton yang bisa menganugerahkan gelar NYU kepada lulusannya di luar Amerika Serikat, disusul cabang di Abu Dhabi (2010) dan Shanghai (2012).

Kedatangan Tisch Asia disambut mesra oleh pemerintah Singapura. Pada 2002, Kementerian Industri dan Perdagangan Singapura sudah meluncurkan program Global Schoolhouse, suatu strategi untuk menggenjot kontribusi sektor pendidikan dalam perekonomian nasional. Pemerintah mulai menyadari kekuatan dari komodifikasi pendidikan, yang pada waktu bersamaan dapat mengukir citra Singapura sebagai pusat pendidikan internasional nan berkualitas. Program ini menargetkan sedikitnya 150 ribu mahasiswa internasional bersekolah di Singapura pada 2015.

Pemerintah Singapura pun bergegas mengundang institusi-institusi bergengsi dari penjuru dunia untuk berekspansi ke sana. Tisch Asia menjadi sekolah artistik tingkat S-2 pertama yang bernaung di bawah payung Global Schoolhouse.

Economic Development Board (EDB) atau Badan Pembangunan Ekonomi bertugas mengelola berbagai proyek promosi dan investasi di Singapura. Sejak berdirinya Tisch Asia, EDB dilaporkan sudah menggelontorkan bantuan untuk Tisch Asia dalam bentuk dana hibah dan pinjaman yang totalnya mencapai SGD 17 juta. Dengan asumsi SGD 1 bernilai sekitar Rp7.000 pada 2012, maka diperkirakan pemerintah Singapura sudah menyokong Tisch Asia dengan dana sebesar Rp120 milyar.

Merujuk pada pernyataan resmi universitas tahun 2012, Dekan NYU Tisch School of the Arts, Mary Campbell, berkali-kali menyampaikan keheranan atas mahalnya subsidi tahunan untuk kampus cabang Singapura. Terlepas dari itu, pihak Tisch berusaha menyalurkan subsidi sedikitnya SGD 30 juta (sekitar Rp210 milyar) untuk mendukung operasional kampus cabang sampai berhasil meluluskan angkatan terakhirnya. Riwayat Tisch Asia sangat disayangkan oleh Campbell, yang memujinya sebagai “model dari keunggulan akademik dan artistik”.

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh University World News, diketahui bahwa biaya studi di Tisch Asia relatif tinggi, sekitar Rp55 ribu (sekitar Rp385 juta pada 2012). Biaya pendidikan yang mahal tersebut di antaranya diperlukan untuk menunjang akomodasi staf akademik dari kampus pusat ke institusi cabang, termasuk menerbangkan sutradara kenamaan Hollywood, Oliver Stone, satu-dua kali setahun untuk mengajar para mahasiswa di Singapura.

Dilansir dari media yang sama, mayoritas mahasiswa Tisch Asia diketahui berasal dari luar negeri. Meskipun terdapat institusi yang meluluskan sarjana seni dan perfilman di Singapura, jumlahnya tidak cukup banyak untuk memenuhi permintaan dari Tisch Asia. University World News mencatat sedikitnya 158 mahasiswa terdaftar di sana sampai kampus diumumkan akan tutup.

Kejatuhan Tisch Asia juga dikait-kaitan dengan perspektif bahwa ilmu humaniora dan kesenian kurang mendapat tempat di dunia industri Singapura dibandingkan ilmu sains dan teknologi. Namun demikian, sejak satu dekade terakhir pandangan tersebut mulai meluntur. Tahun 2011 misalnya, Yale University berkolaborasi dengan National University of Singapore untuk membuka program studi liberal arts. Pada waktu bersamaan, industri kreatif di Singapura dinilai belum terlalu kuat.

Drama Tisch Asia tidak selesai begitu saja dengan penutupan kampus. Setahun setelah ditutup, tiga orang alumninya menggugat NYU karena kecewa dengan kualitas pendidikan Tisch Asia. Mereka merasa sudah membayar semahal anak-anak di Kota New York, namun merasa mendapatkan diskriminasi dalam fasilitas kuliah dan kualitas pengajaran.

Para penggugat menilai bahwa mahasiswa Tisch Asia sudah jadi “korban penipuan pendidikan”. Dalam surat gugatan, mereka mengungkap banyak staf pengajar yang memiliki “pengetahuan atau pengalaman di bawah standar fakultas di New York”. Mereka juga kecewa tidak dapat tawaran beasiswa sebanyak mahasiswa New York.

Seorang lulusan Tisch Asia menyampaikan kepada The Straits Times bahwa acara-acara networking tertentu memang hanya bisa diakses oleh mahasiswa di New York, dan terkadang mahasiswa di New York dapat jatah produksi film lebih banyak daripada mereka yang berada di Singapura.

Namun demikian, pihak kampus mengelak tuduhan tentang kualitas pendidikan yang rendah. Dikutip dari NYU News, jubir NYU menegaskan bahwa Tisch Asia adalah kampus “sukses”, terbukti dari sejumlah mahasiswanya yang mendapatkan penghargaan di berbagai festival. Seorang mahasiswa jurusan film juga mengaku pada NYU News bahwa kampusnya tidak kekurangan sumber daya akademik maupun material.

Pada Desember 2020, diberitakan bahwa gugatan yang diajukan alumni Tisch Asia akhirnya dimenangkan oleh pihak NYU. Berakhir sudah perjalanan kisah sekolah film NYU cabang Singapura.

Infografik Kampus Internasional Yang Gulung Tikar

Infografik Kampus Internasional Yang Gulung Tikar. tirto.id/Rangga

Sampai hari ini, NYU punya dua kampus internasional yang masih beroperasi. Kampus Abu Dhabi adalah cabang yang spesial—dan kontroversial—karena didanai sepenuhnya oleh pemerintah Uni Arab Emirat. Padahal, statusnya adalah kampus privat atau swasta.

Meskipun memperoleh kompensasi gaji sangat tinggi, staf akademik NYU Abu Dhabi juga harus ikut membayar ongkos “mahal”. Misalnya, sejumlah profesor harus rela visanya ditolak karena kepercayaan agama atau topik risetnya. Beberapa turut mengeluhkan terbatasnya kebebasan akademik di sana. Terlepas dari itu, NYU Abu Dhabi cukup memiliki basis peminat. Sampai 2018 atau delapan tahun setelah berdiri, mereka pernah mendidik sedikitnya 1.350 mahasiswa dari 120 negara.

Sementara itu, sejak 2012, kampus NYU cabang Shanghai memiliki nyaris 2.000 mahasiswa yang separuhnya berasal dari Cina dan sebagian dari 70 negara lain. Cabang ini lahir dari kerjasama NYU dan East China Normal University, didukung oleh pemerintah kota Shanghai dan distrik Pudong.

Bisa jadi, keberlangsungan kampus NYU cabang Abu Dhabi dan Shanghai dapat terjaga sampai hari ini karena penawaran mata kuliah yang lebih beragam—mulai dari ilmu sosial-humaniora, seni, sains dan teknologi. Alternatif bidang studi dapat menarik lebih banyak kalangan mahasiswa. Selain itu, kampus-kampus cabang tersebut juga cukup kuat secara finansial karena dukungan besar dari pemerintah setempat.

Sebaliknya, sekolah film NYU Tisch Asia di Singapura hanya menawarkan satu lingkup ilmu yang spesifik dan pasarnya cenderung eksklusif. Sebanyak apapun subsidi diberikan oleh pemerintah, pendapatan kampus tetap akan defisit dengan rendahnya angka partisipasi mahasiswa.

Kembali mengambil contoh di Singapura pada 2007, kampus asal Australia, University of New South Wales (UNSW) terpaksa menutup cabangnya kurang dari empat bulan setelah beroperasi. Agar neraca keuangannya sehat, UNSW Asia menargetkan pendaftaran 780 mahasiswa dalam satu tahun. Namun, semester pertama mereka hanya diikuti oleh 148 mahasiswa, yang mayoritas berasal dari Singapura. Dilansir dari Sydney Morning Herald , pihak UNSW mengaku sudah merugi 15 juta dolar. Khawatir dengan risiko yang terlampau besar, operasional kampus UNSW Asia pun segera diakhiri.

Pada 2013, University of Chicago Booth School of Business juga hengkang dari Singapura setelah meluluskan sedikitnya 1.000 lulusan MBA selama satu dekade lebih beroperasi. Mereka memutuskan untuk pindah ke Hong Kong karena dinilai lebih dekat dengan Cina yang pasar dan ekonominya tengah berkembang pesat.

Program Global Schoolhouse dari pemerintah Singapura tampaknya tidak berhasil mencapai target 150 ribu mahasiswa internasional pada 2015. Berdasarkan data yang diperoleh Jason Tan (2016), angka mahasiswa asing di Singapura cenderung menjauhi target, yakni 97 ribu orang pada 2008, 84 ribu orang pada 2012, dan 75 ribu orang pada 2014. Pada 2018, jumlahnya semakin menyusut jadi 65 ribu orang.

Baca juga artikel terkait KAMPUS ASING atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf