tirto.id - Kampus bergengsi dari Australia, Monash University, pada 2020 ini resmi memperoleh izin operasi dari pemerintah Indonesia untuk membuka cabang kampus di kawasan teknopolis BSD City, Tangerang Selatan. Monash menawarkan kelas eksekutif, sertifikasi keahlian, serta program pascasarjana dalam bidang-bidang ilmu yang popularitasnya tengah naik daun di pasar kerja, meliputi sains data dan teknologi digital, infrastruktur dan tata kota, industri kreatif, sampai kewirausahaan dan kesehatan publik.
Indonesia menjadi lokasi bagi proyek teranyar Monash untuk memperluas jaringannya di luar negeri. Pada 1998, Monash membuka kampus di Malaysia. Tiga tahun kemudian, lahir cabang Monash di kota Prato, Italia. Monash juga mendirikan institusi hasil kolaborasi, yaitu Sekolah Pascasarjana dengan SouthEast University di Suzhou, Cina dan Akademi Penelitian Monash-IITB (Indian Institute of Technology Bombay) di Mumbai, India.
Universitas-universitas Inggris turut aktif membentangkan sayapnya ke kawasan Asia, seperti University of Nottingham yang membuka cabang di Selangor, Malaysia (2000) dan Ningbo, Cina (2004). Selain itu, di Singapura, Newscastle University dan Singapore Institute of Technology sejak 2007 bekerjasama menyelenggarakan program studi teknik dan sains.
Dari Amerika Serikat, New York University membuka cabang kampus di Abu Dhabi (2010) dan Shanghai (2012), serta menawarkan berbagai mata kuliah liberal arts melalui kerjasama dengan berbagai institusi pendidikan lokal, di antaranya di Accra (Ghana), Berlin, Paris, Buenos Aires, Tel Aviv dan Sydney.
Demam kampus internasional
Lingkup operasional universitas dan jenis-jenis kerjasama antarkampus memang luas. Di Indonesia, masyarakat cenderung lebih familiar dengan istilah pertukaran pelajar (mahasiswa mengikuti perkuliahan di kampus luar negeri selama satu-dua semester, kemudian lulus dengan gelar dari universitas asal) dan program joint-degree (kuliah dilakukan di kampus asal dan kampus tujuan luar negeri, lulusannya mendapatkan gelar dari kedua belah pihak kampus).
Namun, dalam dua dekade terakhir, mulai bertebaran kampus-kampus internasional. Menurut Cross-Border Education Research Team (C-BERT), kampus-kampus ini dimiliki sepenuhnya, atau setidaknya sebagian, oleh penyedia jasa pendidikan asing yang melakukan seluruh kegiatan operasional, menyediakan layanan pengajaran di tempat, dan menganugerahkan gelar akademik kepada para lulusannya.
Singkatnya, kampus internasional merupakan institusi pendidikan berbasis di luar negeri (biasanya dari negara-negara Anglo-Saxon) yang mendirikan kampus cabang di negeri sasaran atau host country (mayoritas terletak di kawasan Asia). Dosen dan stafnya bisa berasal dari kampus induk atau direkrut di negeri tuan rumah sesuai standar seleksi pihak universitas. Kurikulum yang ditawarkan pun idealnya sama atau berkualitas setara kampus utama.
Dilansir dari World Education News + Reviews yang mengolah data C-BERT, diketahui bahwa sampai tahun 2015, Cina mempunyai kampus cabang paling banyak, diikuti oleh Uni Emirat Arab dan Asia Tenggara (Malaysia dan Singapura). Sementara institusi penyedia jasa pendidikan didominasi oleh mereka yang berasal dari Amerika Serikat, kemudian Inggris Raya, Perancis, Rusia, dan Australia.
Sampai November 2020, C-BERT mengidentifikasi sedikitnya 305 kampus cabang internasional di penjuru dunia.
Praktik Bisnis Berisiko
Studi berjudul “International branch campus: Framework and strategy” (2014, PDF) menjabarkan alasan-alasan universitas berekspansi ke luar negeri. Dengan menginjakkan kaki ke negeri host, universitas induk dapat memperkaya pengetahuan, baik melalui kolaborasi riset dan pengalaman mengampu mata kuliah yang disesuaikan dengan ciri khas daerah setempat. Selain itu, membuka cabang di luar negeri turut memoles citra positif dan prestise kampus. Layaknya branding firma bisnis, kehadiran fisik institusi di negara-negara lain bisa membantu mereka menembus pasar-pasar baru. Akhirnya, keuntungan menjadi motivasi yang paling kentara. Melalui kampus cabang, institusi pendidikan dapat mendiversifikasi pemasukannya, yang bersumber dari dari SPP mahasiswa lokal, komersialisasi riset, sampai suntikan dana investor.
Meskipun ekspansi kampus internasional ini kerap dikritisi sebagai suatu bentuk praktik bisnis (PDF), marketisasi atau komersialisasi pendidikan, patut diakui bahwa kegiatan mencari keuntungan ini pun tetap punya sumbangsih untuk iklim pendidikan di negara-negara tuan rumah. Berdasarkan pengamatan Hans Pohl dan Jason Lane (2018) terhadap operasional kampus cabang di Cina, Malaysia, Uni Emirat Arab dan Qatar, terungkap bahwa mereka cukup aktif melakukan riset dan berpotensi meningkatkan kemajuan riset akademik di sana, termasuk kualitas publikasi dan kolaborasi penelitian antara negara tuan rumah dan institusi pendidikan di negara induk.
Akan tetapi, di balik tujuan mulia untuk mempermudah akses pendidikan asing berkualitas bagi tunas muda tanpa harus pergi ke luar negeri, kampus cabang tetaplah bisnis yang penuh risiko. Stephen Wilkins (2020), yang mengkaji dua dekade perjalanan kampus cabang internasional, mengakui betapa kompleks dan sulit diprediksinya pasar mereka. Menurut Wilkins, meskipun ada kecenderungan jumlahnya kelak bertambah, hanya sebagian saja yang bakal berjaya, sedangkan sebagian lain tidak akan diserap pasar, bercermin pada kasus 42 kampus cabang yang tutup atau berganti status sampai tahun 2016.
Wilkins terutama menyoroti jaminan kualitas sebagai salah satu tantangan berat kampus cabang, karena mereka dituntut untuk mengakomodasi dan menyesuaikan diri dengan berbagai regulasi dan persyaratan akademik yang berlaku baik di negara tuan rumah dan negara universitas asal. Apabila mereka gagal menjaga standar akademik dan kualitas riset, tentu tidak akan ada lagi murid yang mau belajar di sana. Akibatnya, sponsor pun menarik dukungan dan tamat sudah riwayat kampus cabang.
Merebaknya kampus cabang internasional di Asia dan Timur Tengah menjadi salah satu contoh bagaimana institusi pendidikan tinggi berusaha mengakali tantangan globalisasi. Seiring dengan pertumbuhan kelas menengah di kawasan ekonomi berkembang, permintaan terhadap akses pendidikan tinggi pun semakin meningkat. Pada waktu bersamaan, institusi pendidikan, terutama yang tidak didukung oleh pendanaan utuh dari pemerintah, harus memutar otak agar tetap eksis.
Kampus cabang hadir di berbagai negara sebagai alternatif yang biayanya relatif lebih terjangkau bagi peminat internasional, mengingat mereka akan dibebani biaya hidup dan SPP yang jauh lebih mahal apabila mengikuti perkuliahan langsung di negara kampus induk.
Selama ini, universitas-universitas sudah berusaha keras menarik mahasiswa asing untuk belajar langsung ke negara kampus induk. Kampus-kampus Australia, misalnya, melalui berbagai pameran pendidikan berusaha mengundang mahasiswa terutama dari daratan Cina dan India untuk belajar di Australia.
Australia termasuk negara yang berhasil memanfaatkan sektor pendidikannya menjadi komoditas bernilai ekspor tinggi. Tahun 2018, pendidikan menjadi komoditas ekspor tertinggi nomor tiga (PDF) setelah bijih besi dan batu bara di Australia.
Sepanjang tahun 2019-2020, pendidikan menyumbang AUD 37,5 milyar(PDF) untuk perekonomian nasional.
Ketergantungan kampus-kampus di Australia terhadap mahasiswa asing di dalam negeri semakin diuji selama pandemi Covid-19, ketika perjalanan internasional menuju Australia dibatasi. Akhir November, ABC News mewartakan 70 mahasiswa dari Cina, Hong Kong, Jepang, Vietnam dan Indonesia menjadi angkatan pertama yang berhasil dibawa masuk ke Australia melalui program perdana di bawah naungan Charles Darwin University. Sejak Juni, kampus-kampus di Canberra dan Adelaide sudah berencana menyewa pesawat untuk membawa masuk ratusan mahasiswa asing kembali ke Australia, namun sampai sekarang belum terealisasi.
Keterbatasan mobilitas antarnegara yang diperparah oleh pandemi tampaknya bisa jadi kesempatan bagi universitas untuk mendirikan lebih banyak kampus cabang. Tentunya mereka harus berusaha keras agar kualitas pengajaran dan risetnya tetap terjaga sehingga tidak kehilangan basis peminat di negara-negara tuan rumah.
Menyikapi Ekspansi Kampus Asing ke Indonesia
Monash disebut-sebut sebagai kampus asing pertama yang buka cabang di Indonesia. Namun sebenarnya, kedatangan mereka terhitung agak terlambat. Menurut Dr. Agus Suwignyo, dosen sejarah di Fakultas Ilmu Budaya UGM, operasional kampus asing di Indonesia sudah memungkinkan dilakukan terutama sejak ditandatanganinya kesepakatan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1994.
Dihubungi Tirto lewat telepon pada Sabtu (19/12/2020), Agus mengaku tidak terlalu khawatir dengan kompetisi dari Monash karena mereka kelak punya segmen tersendiri di tanah air. Akan tetapi, ia mengamati satu keberatan yang muncul di ranah publik terkait kehadiran kampus asing. Isu pendidikan sangatlah kompleks, yang bisa ditarik sampai tahun 1940-an, ketika pendidikan tinggi di Indonesia erat asosiasinya sebagai lembaga buatan pemerintah kolonial. Agus menjelaskan, setelah pemerintah Indonesia berhasil mendirikan universitas—contohnya UGM—kampus negeri pun lahir sebagai simbol dekolonisasi. Hadirnya Monash sebagai kampus asing pertama di Indonesia membuka kembali diskusi tentang institusi pendidikan yang mulanya berkembang dari semangat melawan kolonialisme.
Di sisi lain, sumbangsih dari Monash terhadap masyarakat Indonesia menjadi perhatian Edi Subkhan M. Pd., dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Ketika dihubungi Tirto pada Sabtu (19/12/2020) Edi berharap Monash nantinya tidak hanya mencetak lulusan-lulusan berkompeten, namun juga turut berkontribusi memecahkan persoalan aktual di Indonesia. Arah riset dan kurikulumnya, menurut Edi, jangan sampai mengabaikan nilai-nilai, tradisi, dan cara pandang bangsa, supaya “tidak kontradiktif dengan semangat membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang dijiwai oleh semangat Pancasila”.
Masih terkait dengan pandangan tentang makna Monash bagi Indonesia, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Prof. Erwan Agus Purwanto, menyampaikan kepada Tirto (19/12/2020) bahwa kehadiran institusi baru yang menawarkan program studi dengan pelayanan dan mutu lebih baik dapat mendorong universitas kita untuk berbenah. Tanpa pesaing yang menuntut kemajuan, menurut Erwan, kampus-kampus dalam negeri cenderung terlena dalam zona nyaman.
Erwan juga menilai kehadiran Monash bisa menjadi “wake-up call” bagi pemerintah, termasuk lembaga-lembaga akreditasi di Indonesia, agar lebih memberikan fleksibilitas bagi PTN berstatus badan hukum, yang selama ini kerap terganjal oleh alur birokrasi ketika ingin membuka prodi baru, mengelola keuangan, sampai mengangkat staf dosen dan profesor.
Editor: Windu Jusuf