Menuju konten utama

Bagaimana Covid-19 Mengubah Wajah Film Horor Dunia?

Perubahan dalam film horor selalu mengikuti apa yang kita takutkan setiap zaman. Bagaimana selama pandemi?

Bagaimana Covid-19 Mengubah Wajah Film Horor Dunia?
Ilustrasi Horor. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Gwyneth Paltrow meninggal di ICU karena virus MEV-1 yang belum ada vaksinnya. Dalam waktu tiga bulan virus itu menjalar ke segala penjuru dunia dan negara-negara berusaha menghentikan sebarannya dengan cara menyuruh orang-orang untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Jalanan sepi, perekonomian berhenti, dan orang-orang kelaparan hingga akhirnya menjarah. Itulah premis awal yang membuka film Contagion (2011), film thriller pandemi yang yang mengeksplorasi berbagai ketakutan kita dalam sebuah pandemi global. Film ini sempat trending di Amazon Prime sepanjang 2020, tahun dimana pandemi virus Covid-19 merajalela dan dunia fiksi Contagion menjadi realitas yang harus kita hadapi sehari-hari.

Laporan CBC berjudul “The dark side: 2020 was a boom year for horror on-screen — and that's no accident” menyatakan film Contagion (2011) hanyalah satu dari sekian banyak film horor yang paling banyak ditonton publik selama pandemi.

The National Center for Biotechnology Information (NCBI) mengidentifikasi alasan psikologis dibalik meledaknya tontonan horor selama pandemi covid-19 dan memetakan tiga genre horor yang telah menjadi populer: genre horor secara umum, subgenre horor pandemi, dan terakhir subgenre horor prepper yang membahas usaha manusia bertahan hidup di tengah serangan alien, bencana, dan kolapsnya masyarakat.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa para penggemar horor secara umum ternyata lebih mampu menjaga pandangan positif atas situasi hidup mereka dalam pandemi, sementara mereka yang menonton film subgenre horor pandemi seperti Contagion terbukti lebih memiliki rasa kesiapan mental saat menghadapi situasi wabah.

Seperti kutipan Stephen King dari buku Danse Macabre, “Kisah horor yang baik berfungsi secara simbolis … membantu kita memahami ketakutan terdalam kita yang sebenarnya.” Film horor subgenre pandemi berfungsi layaknya simulasi situasi mental selama pandemi. Hal ini didukung fakta bahwa film subgenre pandemi yang relevan dan sedang naik daun selama pandemi saat ini adalah hasil produksi satu dekade lalu yang terinspirasi pandemi flu babi (virus H1N1) 2009-2010 atau epidemi virus SARS tahun 2002-2004 seperti yang dikatakan penulis naskah Contagion, Scott Z. Burns dalam wawancara dengan Ruben V. Nepales untuk Asia News Network.

Selain Contagion dan judul-judul lain dalam subgenre horor pandemi, seperti yang diuraikan studi NCBI, subgenre horor prepper yang biasanya hanya berfungsi untuk segmen publik tertentu, tiba-tiba kini menjadi kewajaran dan mendapat lebih banyak penikmat.

Sama seperti serial pendek The Andromeda Strain (2008) yang kembali ditonton banyak orang. Serial pendek ini diproduseri Ridley Scott, bapak franchise serial Alien, yakni Alien (sejak 1979), Predator(sejak 1987), dan juga Alien Vs. Predator (2004)—ketiganya kini masih berlanjut. The Andromeda Strain menggabungkan subgenre pandemi dengan subgenre prepper dan subgenre ecological horror, yang mengeksplorasi ketakutan manusia akan alam sekitarnya yang digambarkan tidak lagi bersahabat dan malah berbalik membunuh manusia. Genre ini qsemakin sering diproduksi mengingat laju perubahan iklim.

Dalam dua episode dengan durasi hampir tiga jam, The Andromeda Strain (2008) mengisahkan tentang sekelompok ilmuwan yang bertugas mencari vaksin untuk virus Andromeda. Virus ini telah menciptakan pandemi dan membunuh langsung siapapun yang terinfeksi. Dunia pun panik sampai-sampai bom-bom nuklir dijatuhkan. Virus ini dikira berasal dari luar angkasa karena komponen biologisnya yang terlihat asing bagi bumi. Kelak, Andromeda terbukti sebagai kiriman manusia dari masa depan. Satu-satunya obat untuk virus ini adalah sebuah komponen kimiawi yang hanya dapat ditemukan dalam koloni bakteri gunung berapi dasar laut yang sudah punah di masa depan karena perubahan iklim mengubah suhu air laut dan merusak ekosistem mereka.

Meski terlihat berlebihan, ide dibalik fiksi Andromeda Strain (2008) sendiri cukup realistis. Pandemi sudah lama dibicarakan sebagai salah satu dari kemungkinan dampak perubahan iklim bagi manusia. Harvard Center for Climate, Health, and the Global Environment (Harvard C-Change) sendiri mengkaji bagaimana hilangnya habitat hewan serta meningkatnya industri peternakan global menjadi salah satu dari sumber akar pandemi Covid-19.

Kembali ke studi NCBI pada 2020, para penggemar subgenre prepper seperti The Andromeda Strain disebut-sebut lebih siap mentalnya dalam menghadapi pandemi meski para penggemar subgenre ini kurang memiliki pandangan positif atas situasi yang tengah berlangsung. Hal ini menguatkan hipotesa studi tersebut bahwa selama pandemi, publik mencari cerita-cerita yang dapat membuat mereka lebih siap menghadapi segala ketidakmungkinan dalam kehidupan nyata.

Sepanjang sejarah, seperti yang diuraikan James Kendrick, profesor Kajian Media Universitas Baylor dalam “Horror Films Have Always Tapped Into Pop Culture's Most Urgent Fears. COVID-19 Will Be Their Next Inspiration” film “horor selalu menjadi genre yang mudah dan cekatan menyelaraskan diri dengan kondisi keterpurukan sosial masyarakat karena [genre ini] mengacu pada apa yang kita takuti, dan apa yang kita takutkan berubah dari zaman ke zaman,” katanya.

“Ketakutan dasar manusia memang tetap sama, tetapi elemen spesifik dari apa yang kita takutkan mengalami pasang dan surut pada waktu-waktu yang berbeda,” ujar Kendrick.

Situasi ketidakpastian ekonomi setelah Perang Dunia I, misalnya, melahirkan Nosferatu (1922), Dracula (1930), dan Frankenstein (1931). Film-film horor pada era ini mengangkat kekuatan supernatural di luar kontrol manusia sebagai metafor kerentanan ekonomi yang mereka hadapi saat itu. Setelah Perang Dunia II, film-film horor monster dan supernatural seperti Mothra, Jigoku, dan Godzilla juga bermunculan di pasar Jepang yang ekonominya terpuruk dan mengalami trauma berkepanjangan akibat bom atom. Subgenre horor prepper pun muncul dari situasi yang sama: kerentanan ekonomi dunia, krisis lingkungan, dan cuaca politik yang semakin sulit diprediksi.

Infografik Tren Horor di Masa Pandemi

Infografik Tren Horor di Masa Pandemi. tirto.id/Fuad

Sebagaimana dilansir dari Variety, saking tingginya minat publik horor prepper, Paramount dan Amazon Prime berani mengeluarkan bujet 200 juta dolar AS untuk memproduksi The Tomorrow War (2021). Film yang sarat CGI berkualitas ini terpaksa didistribusikan dalam kualitas HDR yang kurang mumpuni agar mampu dinikmati siapapun di rumah via internet. The Tomorrow War bercerita tentang manusia yang datang dari tahun 2051 untuk merekrut orang-orang yang hidup di masa kini. Rekrutmen itu diadakan untuk melawan invasi alien yang telah membuat manusia hampir punah di masa depan. Film ini akhirnya menuai banyak review negatif dengan skor 53% di Rotten Tomatoes karena dianggap sekadar hasil kolase enteng-entengan dari film-film alien sebelumnya sebagaimana dikemukakan Sudbury.

Amazon tetap total menggenjot promosi, mulai dari memajang truk berisi animatronik alien di Tokyo yang viral di TikTok hingga menggaet provider-provider seperti Indosat untuk mengiklankannya via SMS di Indonesia.

Dapat diprediksi film horor yang diproduksi sejak 2020 akan terus merefleksikan berbagai ketakutan yang kita hadapi selama pandemi, mulai dari ketidakjelasan nasib, isolasi, hingga berakhirnya kehidupan “normal”.

Perubahan Produksi

Pandemi juga mengubah produksi film. Lihat saja Host (2020) yang tayang di streaming Shudder. Film ini mengisahkan sekelompok teman yang sedang melakukan video-call dan diganggu oleh makhluk supernatural. Hostdiproduksi seutuhnya melalui remote filming. Selama syuting, kru dan aktor tidak bertemu secara langsung alih-alih memanfaatkan rekaman video call.

Belakangan juga muncul skema remote development. Dalam skema ini, segala aktivitas pembuatan film sebelum syuting—mulai dari penulisan naskah hingga pembuatan storyboard—dilakukan tanpa pertemuan fisik. Remote editing juga mulai banyak dilirik. Proses ini memungkinkan shot-shot yang ada disatukan, diatur warnanya, dan ditambahi musik latar dari jauh.

Subgenre ecological horror sendiri terlihat menarik dari segi produksi karena latar tempatnya dapat diposisikan di ruang terbuka, dengan sedikit kru dan pemain. Contohnya Gaia (2021), keluaran XYZ Films yang mengambil latar hutan di mana deforestasi besar-besaran membuat manusia menemukan sebuah spesies jamur baru. Spesies yang tadinya hidup nyaman di tengah hutan tanpa gangguan manusia kini menyebar luas menjadi parasit. Manusia yang terinfeksi akhirnya menjadi zombie haus darah. Premis Gaia sebenarnya mirip dengan videogame Last of Us (2013) yang sedang diadaptasi oleh HBO menjadi sebuah serial.

Baca juga artikel terkait FILM HOROR atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Windu Jusuf