Menuju konten utama
Misbar

Merayakan Body Horror Bersama David Cronenberg

Semesta David Cronenberg berisi manusia setengah mesin, manusia setengah serangga, dan mobil yang suka berhubungan seks.

Merayakan Body Horror Bersama David Cronenberg
Pembuat film David Cronenberg berpose untuk sebuah potret dalam promosi novel debutnya "Dikonsumsi" di New York. Dan Hallman/Invision/AP

tirto.id - Riwayat penyutradaraan 20 judul film mengantarkan David Cronenberg ke Lifetime Achievement Award di Venice Film Festival 2018. Belakangan ia dikenal sebagai pembuat film-film laga luar biasa sadis seperti A History of Violence(2005) dan Eastern Promises (2007) atau drama lintas genre seperti Cosmopolis (2012) dan Maps to the Stars(2014).

Meski begitu, hampir selama kariernya yang panjang sejak 1969, Cronenberg dikenal sebagai pembuat film-film yang mengobrak-abrik tubuh manusia secara menjijikkan, entah itu di genre horor maupun fiksi ilmiah. Para penggemar film menyebutnya “body horror”.

Shivers (1975), film pertama Cronenberg yang mendapatkan perhatian besar dari publik, menyoroti para penghuni gedung apartemen baru yang menjamur berkat ledakan ekonomi. Para penghuni ini dikisahkan menghadapi wabah zombie yang disebabkan oleh parasit mirip lintah. Parasit tersebut adalah produk eksperimen gagal seorang dokter penghuni apartemen saat berusaha menciptakan organ buatan untuk ditransplantasikan ke manusia.

Di taraf permukaan, gambaran parasit dalam Shivers yang mengubah inang manusia menjadi zombie haus seks itu menyuguhkan kisah horor-seksploitasi. Isinya adalah adegan perkosaan, pembunuhan, dan efek banjir darah palsu layaknya film-film horor khas 1970-an yang mengikuti jejak kesuksesan The Last House on the Left (1972). Namun, bagi Cronenberg, Shivers adalah fondasi eksperimen body horror yang ia kembangkan sepanjang karier.

Shivers mengekspos ketakutan manusia akan kecepatan perubahan teknologi beserta dampaknya pada relasi antar-manusia. Tak hanya itu, melalui Shivers, Cronenberg mulai bereksperimen dengan efek-efek visual yang kini lazim disebut “à la Cronenberg”: monster stop-motion berbahan dasar silikon lateks warna kulit yang wujudnya mirip jeroan manusia.

Dua tahun kemudian, Cronenberg merilis Rabid. Di dalam film zombie yang kembali menjadi sorotan publik ini, Cronenberg lagi-lagi bereksperimen dengan silikon lateks. Kali ini latar belakang ceritanya adalah maksud baik seorang dokter untuk mengembangkan teknik pencangkokan kulit operasi plastik dengan tujuan ‘menumbuhkan’ organ tubuh baru tanpa donor. Dari film inilah Cronenberg mendapatkan pacing khasnya yang cenderung lambat dan atmosferik di tiga perempat awal durasi cerita film dan bergerak sangat cepat di 20 menit terakhir.

Rabid juga mengawali eksplorasi Cronenberg atas cara manusia mengkonsumsi dan menghasilkan media. Adegan di mana karakter utama Rabid (diperankan bintang film porno Marilyn Chambers) mencari mangsa di dalam bioskop menunjukkan awal mula kecenderungan ‘metasinema’ Cronenberg. Ia seolah mau mengingatkan penonton bahwa mereka sedang menonton film dan membahas implikasi filosofis dan psikologis melalui dialog antar-karakter.

Kegandrungan Cronenberg akan fenomena media ini juga terlihat dari cara karakter-karakter dalam filmnya berinteraksi dengan televisi, radio, atau pemutar video rumahan. Selama tiga perempat durasi Rabid, misalnya, karakter-karakter utama diperlihatkan menyaksikan wabah zombie melalui berita di televisi dan radio seraya merasakan keamanan semu, sebelum akhirnya terjebak di tengah-tengah wabah—mirip yang kita alami selama 18 bulan terakhir.

Masterpiece Cronenberg yang berjudul Scanners dirilis pada 1981. Dalam sebuah esai yang dimuat di rilisan khusus Criterion pada 2014, kritikus Kim Newman menyebut Scanners “film yang dikenal luas karena ‘ada adegan kepala meledak’.” Adegan ini muncul 15 menit setelah film dimulai dan dicatat sebagai salah satu ciri khas karya-karya body horror Cronenberg. Sejak itulah ia dikenal sebagai sutradara horor yang memiliki visi sosial dalam film-filmnya.

Protagonis utama Scanners, Cameron Vale (diperankan Stephen Lack), memiliki kemampuan telepati berkat obat eksperimental yang dulu diminum ibunya. Suatu hari Vale menyadari bahwa ia memiliki kakak kandung bernama Revok (diperankan Michael Ironside). Revok dikisahkan menggunakan kemampuan telepati untuk melakukan aksi-aksi terorisme, termasuk meledakkan kepala seseorang dari dalam. Vale pun berupaya menghentikan sang kakak dengan menggunakan kekuatan telepati miliknya yang dapat digunakan tak hanya untuk mengontrol pikiran orang lain, tapi juga memasuki dan mengendalikan komputer serta jaringan internet.

Apakah jadinya jika teknologi—termasuk obat-obatan dan internet—dapat memperkuat pikiran manusia hingga melampaui fisiknya? Kira-kira itulah pertanyaan yang diajukan Scanners.

Caleb Milligan dalam artikel “Uncomfortable in the New Flesh: Adapting Body Horror in the Cinema of David Cronenberg” dalam Trespassing Journal (PDF), menganalisis Scanners sebagai karya kontemplasi atas bagaimana teknologi yang kita gunakan sehari-hari awalnya dibuat dengan mempelajari cara kerja tubuh manusia untuk memperluas fungsinya. Lambat laun, teknologi akhirnya tak terpisahkan dari tubuh manusia—bahkan mengubahnya. Milligan mencatat bagaimana gagasan ini dikaji lebih lanjut oleh Donna J. Haraway dalam buku The Cyborg Manifesto (1985), yang menempatkan manusia abad ke-20 sebagai mahluk gabungan daging dan mesin saking tak mampunya kita hidup tanpa teknologi.

Manusia Jadi Video dan Lalat

Kombinasi daging dan mesin itulah yang dijajaki lebih lanjut oleh Videodrome (1983). Max Renn (diperankan James Woods) adalah seorang produser televisi yang mengira telah menemukan peluang bisnis baru ketika menemukan tayangan sadomasokis bernama Videodrome. Beberapa saat kemudian, pasangan Max menghilang setelah pergi untuk audisi Videodrome. Sejak itu ia curiga bahwa yang disiarkan Videodrome adalah siksaan nyata. Kelak, Max membunuh tubuhnya dan memutuskan hidup dalam bentuk kesadaran video. “Long Live the New Flesh!”—demikian slogan acara tersebut.

Dalam Videodrome, pistol digambarkan bisa bergabung dengan tangan dan terlihat layaknya organ; layar televisi bisa bernafas; slot VCR muncul di tengah dada untuk merasuki penontonnya secara utuh. Semuanya berwarna kulit, terbuat dari latex silikon, dan seringkali berlumuran berdarah.

“Anda berbeda dengan pistol di tangan Anda; pistol berbeda dengan Anda yang memegangnya. Anda adalah subjek karena Anda memegang pistol; pistol adalah objek dari subjek Anda karena ia telah menjalin hubungan dengan Anda,” tulis Bruno Latour dalam “Pandora’s Hope: Essays on the Reality of Science Studies” (1999). Tanpa subjek, objek pistol tidak akan menjadi benda berbahaya. Sebaliknya—setidaknya dalam konteks Amerika Serikat—orang sulit membunuh tanpa pistol. Jadi, apakah benar subjek menguasai objek atau sebaliknya? Inilah ketegangan antara tubuh manusia dan teknologi yang didalami Cronenberg.

Melalui Videodrome pula Cronenberg menyelami obsesi manusia terhadap media komunikasi, khususnya video, film, dan televisi. Dalam medium-medium inilah manusia bisa ‘hidup’ melampaui kematian.

Setelah kesuksesan Videodrome (1983), Cronenberg mengerjakan film-film yang sukses secara komersial seperti adaptasi novel Stephen King seperti The Dead Zone (1983). Pada 1986, ia merilis The Fly (1986) yang laku keras hingga meraup untung sebesar USD 60,6 juta.

Diadaptasi dari cerpen George Langelaan, The Fly mengisahkan seorang ilmuwan yang berubah menjadi manusia setengah lalat. Otak Brundle, sang ilmuwan, berubah seiring tubuhnya. Ia mengeluarkan impuls-impuls yang mirip lalat ketimbang manusia. Pada titik inilah Cronenberg mengeksplorasi sisi lain body horror: Kaburnya batas-batas antara manusia dan hewan yang sebenarnya lebih didefinisikan oleh pikiran. Tema yang sama kelak muncul di Tusk (2014) dan The Human Centipede (2009) yang berkisah tentang efek perubahan tubuh terhadap pikiran yang membuat karakternya lebih menyerupai hewan.

Obsesi Cronenberg atas perubahan manusia ke hewan ini muncul bersamaan dengan semakin seringnya Cronenberg mengadaptasi novel. Pada 1991, ia mengadaptasi The Naked Lunch (1959), sebuah novel yang terdiri dari serangkaian vignette. Pada zamannya, karya William S. Burroughs ini sempat menjadi kontroversi karena mengandung banyak adegan seks eksplisit. Cronenberg mengadaptasi novel ini menjadi semacam memoar surealis William S. Burroughs yang mengisahkan proses penulisan novel The Naked Lunch. Dalam versi film, adegan-adegan seks frontal dibuat lebih subtil dan diolah menjadi serangkaian alegori fauna, manusia setengah serangga, atau serangga setengah manusia. Para karakter Naked Lunch digambarkan menulis dengan mesin tik berbentuk kecoa raksasa yang berbicara dari pantat. Mereka dikisahkan mengkonsumsi narkoba yang bersumber dari tubuh serangga. Ada pula seekor lipan raksasa setengah manusia memperkosa sambil memakan korbannya.

Infografik David Cronenberg

Infografik David Cronenberg. tirto.id/Quita

Masih dari artikel yang sama, Caleb Milligan menguraikan bagaimana Naked Lunch berangkat dari kecurigaan Cronenberg atas media tulis di mana transfer informasi antara pembaca dan penulis tidak terjadi secara langsung dan bergantung pada imajinasi dan kemampuan mencerna pembaca. Walhasil, Naked Lunch menggambarkan karakter William Lee sebagai pecandu yang menggunakan narkoba dari kecoak-kecoak yang menjadi mesin tiknya. Ia bahkan tak bisa mengenali hasil tulisannya sendiri di akhir film—sebuah detail yang diambil langsung dari penyataan William S. Burroughs.

Pada 1993, Cronenberg menggarap naskah teater karya David Henry Hwang berjudul “M. Butterfly”. Meski tak mendapat banyak sorotan, M. Butterfly meyiapkan pondasi untuk eksperimen Cronenberg lainnya pada tahun 2000-an di genre drama. Kisahnya tentang cinta-cintaan, tapi dalam bentuk horor khas Cronenberg dengan tempo lambat yang menukik tajam di akhir, transisi editing via jump-scare dan juga jump-cut yang membangun ketegangan dalam hubungan pasangan beda ras: seorang kulit putih dan seorang Tiongkok.

Butterfly tak hanya menjajaki ketegangan rasial, tapi juga isu gender, politik, dan kolonialisme modern lewat dialog-dialognya. Meski sangat realis dan tidak menampilkan monster-monster body horror, Cronenberg tetap bermain dengan ide perubahan tampilan. Ia menggambarkan bagaimana dua karakter utama melakukan cross-dressing—yang laki-laki mengenakan pakaian perempuan dan sebaliknya. Dengan itu Cronenberg mau mengatakan bahwa gender dan romansa tidak berkaitan.

Tiga tahun kemudian, Cronenberg kembali ke body horror dengan Crash (1996) yang diadaptasi dari novel J.G. Ballard. Film ini berkisah tentang seorang produser film yang selamat dari kecelakaan mobil dan malah menjadi seorang parafilia yang ketagihan menonton dan merasakan kecelakaan mobil. Tubuh karakter-karakter Crash penuh luka-luka mengerikan, yang justru menjadi sumber kesenangan bagi diri mereka.

“Dalam film Cronenberg, patologi tidak pernah hanya sekedar suatu hal eksternal... patologi sering kali tidak dapat dibedakan dari kesenangan murni—dan sumber keduanya adalah tubuh kita sendiri,” tulis kritikus film Carrie Rickey dalam esai pengantar Crash edisi Criterion Collection (2010).

Dalam Crash Cronenberg menggali bagaimana teknologi mengubah manusia dan sebaliknya. Kecelakaan mobil, bagi Cronenberg, melukai manusia sekaligus mobil itu sendiri. Esai Ricket mencatat bagaimana adegan seks di dalam mobil dalam film Crash sengaja diambil dari sudut yang membuat penonton merasakan keberadaan sekaligus partisipasi si mobil. Pendeknya, mobil di sini menjadi karakter tersendiri.

Salah satu film body horror bikinan sutradara asal Kanada ini adalah eXistenZ (1999). Dalam film yang gagal laku di bioskop ini, Cronenberg menjajaki medium video game. Ia membuat konsol game mirip organ tubuh yang dimainkan ke tubuh karakternya melalui alat bernama BioPort. Sejak itu mereka tak bisa membedakan dunia game dan dunia nyata.

Pada 2021, muncul teknologi Unreal Engine yang menghasilkan grafis game tiga dimensi yang imersif dan terlihat nyata. Teknologi ini bahkan bisa memvisualisasikan pantulan cahaya dan bayangan secara akurat. Ditambah teknologi Virtual Reality seperti Oculus VR dan PlayStation VR, pengaburan dunia nyata dan dunia game kian lumrah.

Dunia serba samar inilah diantisipasi Cronenberg lebih dari dua puluh tahun silam lewat eXistenZ—dan hampir 40 tahun sebelumnya lewat Videodrome.

Baca juga artikel terkait FILM HORROR atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Windu Jusuf