tirto.id - Mengajari anak untuk menjadi pribadi yang jujur, tidak menipu, dan mencuri, adalah tanggung jawab orang tua. Namun, tidak semua orang tua mampu mendidik anaknya dengan baik. Sebab, beberapa orang tua mungkin percaya, ketika sang anak berbohong, maka harus mendapat hukuman yang setimpal agar tidak mengulangi perbuatannya.
Seringkali, orang tua melakukan kesalahan fatal dengan melakukan ancaman atau tuduhan atas perbuatan sang anak. Namun, tanpa disadari, jika orang tua terlalu keras dalam menghukum, maka hal itu akan melatih anak berbohong karena merasa takut untuk mengatakan yang sebenarnya.
Secara garis besar, anak kecil dapat memahami bahwa berbohong itu salah, namun tidak banyak orang tua yang mengetahui bahwa usia anak sangat mempengaruhi kematangan secara emosi dalam memandang: apakah ia perlu berbohong dan mengaku salah atau tidak? Untuk itu, kematangan emosi anak pun memengaruhi interaksi sosialnya.
Dalam penelitian jurnal Science Direct, anak berusia (4-9 tahun) cenderung berperilaku senang mendengar cerita tentang protagonis, melakukan pelanggaran, gagal mengungkapkan kesalahan, berbohong dan mengaku kesalahan.
Selanjutnya, anak berusia (4-5 tahun) berperilaku membuat perasaan positif terhadap pelanggaran yang mementingkan diri sendiri, gagal untuk mengungkapkan suatu hal atau berbohong, dan menggunakan alasan yang menguntungkan untuk menghindari hukuman dan membenarkan tanggapannya.
Kemudian, anak berusia (7-9 tahun) memiliki tanggapan emosional dengan pengakuan daripada berbohong. Semakin tua usia anak, ia menginginkan tanggapan positif dari orang tua terhadap pengakuannya.
Lebih jauh, anak yang berusia lebih tua menginginkan tanggapan positif dari orang tua terhadap pengakuan daripada anak yang berusia lebih muda. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan hubungan antara usia mempengaruhi kematangan emosional sang anak terhadap perilaku antara mengaku atau berbohong.
Ada tiga alasan utama anak-anak berbohong yaitu, fantasi, membual, dan mencegah konsekuensi negatif. Misalnya, anak-anak prasekolah sering menceritakan kebohongan fantasi, demikian seperti dilansir Verywell Family.
Jika anak berkata, "aku pergi ke bulan tadi malam," apakah itu sesuatu yang benar? Orang tua harus menjelaskan kepada anak untuk memahami perbedaan antara kenyataan dan khayalan. Namun, jika hanya bercanda, tidak masalah untuk menikmati fantasi asalkan semua orang sadar bahwa itu fiksi daripada fakta.
Selain itu, seorang anak yang membual sebenarnya ingin menyombongkan diri karena memiliki harga diri yang rendah atau ingin mendapatkan perhatian. Mereka dapat mengambil manfaat dari mempelajari keterampilan sosial baru dan terlibat dalam kegiatan positif untuk meningkatkan harga diri mereka.
Komponen lain dari menggunakan kebohongan untuk mencegah konsekuensi negatif. Menghindari tanggung jawab dapat digunakan anak sebagai senjata kebohongan untuk menyelesaikan atau melakukan yang mereka inginkan. Contohnya, termasuk kebohongan soal kelalaian dan pengabaian aturan. Seperti seorang anak yang beralasan ke toilet padahal kenyataannya ingin menghindari tanggung jawab dari mencuci piring di dapur.
Untuk mengubah perilaku berbohong menjadi lebih jujur, seperti dilansir Npr.org,seorang kepala sekolah St. John di Madurai, Pastor J. Joseph Victor Das membuat program toko kejujuran. Bisnis tanpa pengawasan yang bergantung pada kejujuran pelanggan.
“Memberi anak kebebasan untuk membuat kesalahan dan untuk memperbaiki diri sendiri adalah penting. Itulah kunci untuk mengubah budaya di suatu negara. Ternyata cara itu berhasil karena itu membuat kejujuran," pungkas Joseph Victor Das.
Berikut adalah tips untuk membantu anak-anak belajar kejujuran seperti dirangkum dari Psychology Today:
1. Bicara dengan anak pentingnya kejujuran dalam keluarga
Memberitahu sang anak bahwa kejujuran itu penting walaupun sulit. Jika tidak ada kejujuran antara orang tua dan anak, maka tidak akan ada kepercayaan atau kedekatan dalam keluarga.
Misalnya, ketika bapak mengajarkan pada kedua putrinya bahwa kejujuran itu pondasi penting, maka hal itu akan membangun rasa percaya dan saling menghormati dalam keluarga. Sebaliknya, ketika berbohong, rasa percaya pun luntur dan butuh waktu lama untuk membangun kembali.
2. Mencontohkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari
Orang tua menjadi teladan bagi anaknya. Ketika orang tua berkata jujur terhadap suatu hal, maka anak juga akan melakukannya. Namun, ketika orang tua berbohong jangan harap anak juga tidak akan mengungkapkan kebenaran terhadap suatu hal.
Orang tua dan anak memiliki hak terhadap batasan kehidupan pribadi masing-masing. Tetapi tujuan yang terpenting tetap menciptakan lingkungan terbuka di mana tidak ada rahasia dan semua orang merasa nyaman bersikap jujur.
3. Menghargai kejujuran daripada hukuman
Orang tua perlu menekankan kejujuran lebih penting daripada hukuman atas perilaku tidak jujur sang anak. Ketika orang tua langsung memberikan hukuman karena ketidakjujuran, anak tidak akan mengaku di kemudian hari. Membuat mental anak tidak nyaman untuk bercerita apa pun di keluarganya.
Misalnya, anak perempuan mengatakan pada bapaknya bahwa ia berbicara yang sebenarnya tentang suatu hal karena tidak takut terhadap sang bapak. Ia percaya bahwa sang bapak tidak akan mengkritik atau mengejeknya dengan kasar.
Rasa pengertian dan memberi tahu perihal kejujuran dalam kehidupan sehari-hari secara tidak langsung dirasakan oleh anaknya. Hal itu, membuat anak nyaman bercerita apa pun.
Penulis: Zulfa Nur Widowati
Editor: Alexander Haryanto