Menuju konten utama

Badai Pasti Berlalu: Titik Puncak Musik Pop Indonesia

Dibikin tanpa ekspektasi apa pun selain memuaskan hasrat bermusik, album Badai Pasti Berlalu rupanya menjelma sebagai album yang terus diperbincangkan sampai hari ini.

Badai Pasti Berlalu: Titik Puncak Musik Pop Indonesia
Album Badai Pasti Berlalu 1977. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Ketika memutuskan pulang dari Jerman ke Indonesia pada 1975, Eros Djarot hanya punya satu keinginan: meneruskan misinya bermusik dengan gaya Indonesia.

Di Jerman, Eros membentuk Barong’s Band, bersama Tri Anggono Sudewo (drum), Choqy Hutagalung (keyboard), Epot (bass), dan Darmadi (gitar). Barong's Band konsisten membawakan lagu-lagu bikinan sendiri dalam bahasa Indonesia --sebuah keputusan kreatif yang berani mengingat mereka sedang tinggal di negeri orang.

“Kami tetap bertekad ingin nge-band dengan semangat Indonesia. Kita, kan, orang Indonesia,” kenang Eros suatu ketika sebagaimana dicatat kritikus musik almarhum Denny Sakrie.

Bagi Eros, condong ke Barat tak menjamin karya band jadi keren. Alih-alih banyak mengambil pengaruh dari negeri bule, band-band Indonesia seharusnya menggali potensi budaya dalam negeri yang begitu beragam, termasuk soal bahasa.

Sesampainya di Tanah Air, aktivitas Eros banyak dihabiskan di rumah milik Nasution Bersaudara yang berlokasi di Pegangsaan Barat 12, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana, Eros kerap bertukar gagasan soal musik bersama Chrisye, Guruh Sukarnoputra, Keenan, Debby, hingga Gauri Nasution.

Proses inilah yang kemudian menuntun pada lahirnya dua mahakarya: Guruh Gipsy dan Badai Pasti Berlalu. Dua-duanya dirilis pada tahun yang sama (1977). Nama pertama dianggap sebagai cetak biru musik rock progresif di Indonesia, sementara satunya adalah gebrakan dalam industri musik pop yang kala itu sedang stagnan.

Tantangan Teguh Karya

Cerita Badai Pasti Berlalu bermula pada pertengahan 1970-an. Saat itu, Eros berkenalan dengan Teguh Karya, sutradara film sekaligus pembesar Teater Populer—tempat di mana kakak Eros, Slamet Rahardjo, menimba ilmu drama. Perkenalan tersebut membikin Eros, yang dikenal blak-blakan, leluasa mengkritik lagu-lagu dalam film Teguh.

Suatu waktu, kritik Eros membuat Teguh jengah. Ia pun berbalik menyerang Eros.

“Kalau elu ngerti, coba, deh, elu aja yang bikin ilustrasi musik film gua nanti. Gua pengen tau, tuh, hasilnya kaya apa,” tegas Teguh sebagaimana dikutip almarhum Denny Sakrie.

Eros seketika tertantang dan tanpa pikir panjang menerima tawaran Teguh. Pada 1975, Eros, bersama Barong’s Band, mulai menggarap soundtrack untuk Kawin Lari, yang dibintangi Slamet dan Christine Hakim.

Dalam proses pengerjaannya, Eros begitu terobsesi dengan karya yang orisinil. Ia tak ingin lagu-lagunya—sekali lagi—terdengar kebarat-baratan. Demi mewujudkan visinya, Eros memborong sejumlah kaset dari band-band pop terkenal saat itu seperti Koes Plus, Panbers, hingga D’Llyod. Kaset-kaset ini menjadi santapan wajib para personel Barong’s. Tak lupa, Eros turut mengajak Keenan dan Debby Nasution sebagai personel tambahan Barong’s.

Album yang dinanti akhirnya selesai diproduksi. Eros berhasil menciptakan beberapa lagu untuk Kawin Lari, dari “Oh Wanita”, “Bisikku”, hingga “Stambul Jakarta”. Ada yang bergaya pop, ada juga yang berwarna keroncong. Satu hal yang pasti: Eros berhasil mengangkat “sentuhan Indonesia.” Pencapaian Eros makin lengkap tatkala ia diganjar Piala Citra untuk “Penata Musik Terbaik” dalam Festival Film Indonesia 1976.

Setahun berselang, Teguh kembali meminta Eros menggarap musik latar untuk film yang kelak jadi salah satu magnum opus-nya, Badai Pasti Berlalu. Eros menyetujui tawaran Teguh dan segera mencari nama-nama yang akan membantu dirinya menyelesaikan proses penggarapan album.

Nama pertama yang masuk daftarnya adalah Chrisye yang sedang meniti awal karier. Selain disibukkan proyek Guruh Gipsy, ia juga baru saja memperoleh popularitas lewat lagu “Lilin-Lilin Kecil” yang digubah James F. Sundah untuk album Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 besutan Radio Prambors.

Dari Chrisye, Eros lantas dikenalkan dengan Yockie Suryoprayogo, kibordis-komposer-arranger jempolan yang saat itu punya banyak proyek musik. “Saya belum kenal benar meski saya sudah tahu, dia penyanyi lewat Barong’s Band,” cerita Yockie kepada Kompas (28/6/2009) mengenai pertemuannya dengan Eros.

Setelah keduanya sepakat, proses pengerjaan album dimulai. Di luar Eros, Chrisye, dan Yockie, nama-nama lain yang masuk proyek ini ialah Berlian Hutauruk, Fariz R.M, Keenan, dan Debby Nasution. Mereka bekerja di studio sewaan yang berada di bilangan Pluit, Jakarta Utara. Studio ini bernama Irama Mas dan dimiliki oleh In Chung. Oleh Yockie, studio Irama Mas disebutnya lebih mirip “kandang”.

Mulanya, yang dikerjakan hanya lagu untuk ilustrasi film—yang berkesinambungan dan durasinya bertumpu pada gambar-gambar dari alur cerita film itu sendiri. Hanya saja, antusiasme mereka sulit dibendung dan pada akhirnya lagu-lagu tersebut direkam sekalian dalam format kaset.

Total, ada 13 lagu yang tercipta. Beberapa di antaranya yaitu “Angin Malam”, Khayalku”, “Cintaku”, “Badai Pasti Berlalu”, “Semusim”, “Pelangi”, hingga “Merepih Alam”. Keseluruhan materi diaransemen oleh Eros, Chrisye, dan Yockie.

Proses penggarapan album Badai Pasti Berlalu bukannya tanpa masalah. Masalah pertama yang muncul adalah pemilihan nama Berlian Hutauruk. Bagi Teguh, Berlian bukanlah vokalis yang tepat untuk membawakan lagu-lagu Badai Pasti Berlalu. Alasannya: karakter vokal Berlian yang dianggapnya kelewat sopran. Sebagai gantinya, Teguh menyodorkan nama Anna Mathovani yang lebih “lembut,” seperti saat ia menyanyikan “Cinta Pertama” karya Idris Sardi.

“Teguh Karya sangat keberatan ketika saya memperdengarkan contoh rekaman Berlian Hutauruk yang akan dipergunakan dalam soundtrack film Badai Pasti Berlalu. ‘Suara apaan ini? Kayak suara kuntilanak,’ begitu kata Teguh,” kenang Eros.

Namun, baik Eros dan Yockie tak setuju. Menurut mereka, suara Berlian punya chemistry yang pas dengan nuansa aransemen musik yang dibangun dalam Badai Pasti Berlalu. Ketegangan tak bisa dihindarkan sampai akhirnya, demi menyelesaikan beda pendapat, Eros memberi Teguh ultimatum.

“Kalo enggak setuju dengan konsep musik saya ini, ya, batalin aja semuanya,” kata Eros. Masalah pun bisa teratasi. Teguh melunak dan menerima pilihan Eros.

Masalah berikutnya muncul saat album selesai dibikin: tidak ada produser yang bersedia mengedarkannya. Alasannya: musik yang diusung Eros-Chrisye-Yockie dianggap aneh untuk sekelas pop. Lalu, karena merasa iba, In Chung datang seraya mengulurkan bantuan. Ia bersedia menjual album Badai Pasti Berlalu di toko kasetnya di Glodok, yang saat itu terkenal sebagai distributor lagu-lagu dangdut dan klenengan.

Tak dinyana, setelah diedarkan secara perlahan, album Badai Pasti Berlalu disambut baik oleh pasar. Radio-radio banyak memutar “Merepih Alam”. Pencapaian tersebut di luar ekspektasi Eros dan konco-konconya. Pasalnya, sejak awal, mereka tak peduli andaikata albumnya laku keras. Semua, mengutip kata-kata Yockie, “dikerjakan sukarela, penuh kebersamaan, persahabatan, dan kekeluargaan.” Bahkan, tak jarang, ketiganya harus nombok.

Kendati sukses besar, masalah lagi-lagi muncul usai album didistribusikan secara luas. Kali ini soal hak cipta dan royalti. Beberapa dekade setelahnya, masalah itu berbuntut ke pengadilan, melibatkan Eros dan Berlian. Dalam penggarapan Badai Pasti Berlalu, masing-masing personel tidak menerima royalti, melainkan sistem bayar putus. Ketika pekerjaan mereka selesai dan sudah menerima bayaran, tak ada lagi honor lanjutan dari royalti. Di kalangan musisi 1970-an, hal tersebut adalah praktik yang lazim.

Tonggak Pop

Ada beberapa alasan mengapa album Badai Pasti Berlu disebut-sebut sebagai tonggak musik pop Tanah Air. Ketika album ini dilepas ke pasaran, industri musik pop digenangi lagu-lagu dengan tendensi komersial—dalam arti bahwa perkara kualitas pikir belakangan.

Di tengah gejolak semacam itu, Badai Pasti Berlalu lahir sebagai antitesis. Album ini menolak tunduk pada pakem “album pop biasa.” Album Badai Pasti Berlalu adalah album yang, menyitir kata-kata Yockie, lahir oleh “semangat dan greget yang jauh dari naluri industrial.”

Jika tak percaya, Anda bisa simak sejak album ini dibuka dengan track “Pelangi” hingga ditutup lewat “Merpati Putih”. Komposisi musik yang disusun Yockie sangat berkelas. Sesekali instrumentasi yang ia cipta memancarkan aura gloomy, kadang pula memantulkan kegelapan yang nihil harapan, sonder buaian. Progresi akornya pun tak bisa ditebak: Yockie dapat seenak jidat memasukkan warna baroque, chamber, dan, yang paling dahsyat, orkestrasi klasik abad 17 seperti yang dimainkan Bach.

Musik Yockie yang katarsis ini makin terdengar paripurna—dan bernyawa—dengan kehadiran vokal Berlian yang tinggi menggelegar. Suara Berlian memberikan semacam ruh tersendiri di beberapa lagu Badai Pasti Berlalu. Ia membikin lirik-lirik ciptaan Eros—yang romantis namun tak terjebak pada pola mendayu-dayu—menjadi lebih hidup serta menyentuh sukma pendengarnya.

Album Badai Pasti Berlalu adalah salah satu jejak kolaborasi antara Yockie, Eros, dan Chrisye. Ketiganya punya riwayat panjang dalam dunia pop Tanah Air. Mereka setidaknya sudah bekerjasama dalam sembilan album.

Infografik ALbum badai Pasti berlalu

Infografik ALbum badai Pasti berlalu

Akan tetapi, usai album Sendiri lepas ke publik, triumvirat ini justru pecah kongsi. Dalam biografi yang ditulis Alberthiene Endah, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal (2007), Chrisye mengatakan bahwa perbedaan visi bermusik ketiganya dianggap sebagai faktor utama renggangnya—dan kemudian retak—hubungan mereka.

“Mungkin karena kami terlalu saling memiliki. Kami merasa berhak atas satu sama lain,” tuturnya pada waktu itu. “Eros dan Yockie sangat menjaga saya di jalur musik yang mereka yakini sebagai terbenar untuk kami bertiga. Lalu, waktu bergulir dan banyak perubahan muncul. Yockie dan Eros sepertinya tidak terlalu menyukai saya masuk ke dalam jalur musik yang sangat pop dan terlalu komersial. Mereka tak tahu, saya butuh hidup. Saya punya keluarga.”

Konflik tersebut, yang bermula karena musikalitas, lantas berubah jadi perang dingin berkepanjangan. Bahkan, ketika Chrisye dan Yockie bertemu di acara buka puasa bersama yang diselenggarakan label Musica, mereka tak sekalipun bertegur sapa.

“Pertentangan kami tidak pernah bermuara di titik temu,” ungkap Chrisye. “Kesalahpahaman sering terjadi, khususnya ketika saya kemudian memopulerkan kembali lagu-lagu dalam album Badai Pasti Berlalu.”

Album besar rupanya mendatangkan konsekuensi yang besar pula.

Baca juga artikel terkait PENYANYI LEGENDARIS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf