tirto.id - Ketika Orde Baru berkuasa, Indonesia membuka selebar-lebarnya pintu kerjasama dengan negara asing demi menggenjot masuknya investasi. Sungguh berkebalikan dengan Orde Lama, ketika Indonesia diharuskan berdikari dan tak membebek kepada Barat.
Tak hanya berpengaruh pada bidang ekonomi, kebijakan tersebut rupanya juga membikin arus budaya Barat mengalir begitu kencangnya. Dunia musik merupakan salah satu lini yang kena dampak cukup besar.
Era 1970-an adalah masa di mana band-band Indonesia yang berkiblat pada Barat, dari Koes Plus, Panbers, The Rollies, sampai God Bless. Inspirasi mereka tak jauh-jauh dari band Inggris seperti The Beatles, Led Zeppelin, maupun Rolling Stones. Pengaruh Barat hampir menjalar ke setiap aspek, dari musikalitas hingga penulisan lirik.
Singkatnya, band-band saat itu berlomba-lomba untuk tampil kebarat-baratan semaksimal mungkin.
Namun, tak semua merasa sepaham dengan pemikiran itu. Guruh Soekarnoputra dan Eros Djarot adalah salah duanya. Menurut mereka, condong ke Barat tak menjamin karya jadi keren. Alih-alih banyak mengambil pengaruh dari negeri bule, band-band Indonesia seharusnya menggali potensi budaya dalam negeri yang begitu beragam, termasuk soal bahasa.
“Kadang, band-band saat itu enggak paham akan lirik yang mereka bawakan. Penting pakai bahasa Inggris aja agar keliatan cool. Masalah audiens tahu atau enggak, urusan belakangan,” terang Eros pada 2014 silam.
Kegelisahan itu lantas mendorong keduanya ambil sikap. Usai balik dari Jerman dan Belanda, mereka bersepakat membikin proyek musik yang mengutamakan budaya Indonesia. Mereka seperti ingin membuktikan bahwa budaya negeri ini tak kalah bernas dan bisa dijadikan fondasi berkarya.
Inisiatif tersebut kelak menjadi cikal bakal berdirinya entitas maut bernama Guruh Gipsy.
Bali dan Cinta yang Tulus
Dari nama belakangnya, kita pasti tahu bahwa Guruh bukanlah orang sembarangan. Ia anak kelima dari presiden pertama republik, Sukarno. Lahir di Jakarta pada 13 Januari 1953, sejak kecil Guruh punya hasrat yang tinggi untuk kesenian.
Tak seperti saudara perempuannya, Megawati, yang punya ambisi besar di ranah politik, Guruh mengejar mimpinya di bidang seni, dalam hal ini musik dan koreografi. Demi mewujudkan cita-citanya itu, ia mendirikan grup tari dan musik bernama Swaramaharddika yang punya reputasi menjulang pada dekade 1970-an dan 1980-an.
Awal 1970-an, Guruh pulang ke Indonesia usai menempuh pendidikan di Universiteit Van Amsterdaam, Belanda, selama dua tahun meski tak lulus. Ia pulang dengan rasa gelisah yang luar biasa besar. Pasalnya, seperti ditulis almarhum Denny Sakrie dalam “Guruh Gipsy – Kesepakatan Dalam Kepekatan" (2011), ia ingin sekali menciptakan proyek musik yang meleburkan musik Barat dan tradisi Indonesia.
Obsesi Guruh untuk menggabungkan dua warna musik semacam itu muncul selepas ia mendengar karya Claude Debussy dan Collin McPhee—dua-duanya komposer, satu dari Perancis, satu dari Kanada—yang memasukkan bunyi gamelan dalam komposisi merekan. McPhee memang meleburkan gamelan dengan musik klasik dalam karya bertajuk “Tabuh-Tabuhan” yang digubah pada 1937.
Di Jakarta, Guruh bersua dengan kawan lamanya, Gauri dan Keenan Nasution. Mereka bertiga merupakan teman sekelas ketika sama-sama bersekolah di Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Saat berjumpa Guruh, Gauri dan Keenan sudah jadi anak band.
Band Nasution Bersaudara mulanya bernama Sabda Nada. Akan tetapi, pada 1969, band ini berganti identitas sebagai “Gipsy”. Anggotanya yakni Chrisye (bass), Keenan (drum), Gauri (gitar), Tammy Daudsyah (flute dan saksofon), Atut Harahap (vokal), dan Onan Soesilo (organ). Gipsy memainkan musik yang terpengaruh Procol Harum, King Crimson, Emerson Lake & Palmer, Genesis, hingga Blood, Sweat & Tears.
Tiga tahun berselang, Gipsy mendapatkan tawaran bermain di New York dari bos Pertamina, Ibnu Sutowo, untuk menjadi band di Ramayana—restoran milik BUMN minyak tersebut. Tawaran itu diambil dan mereka menetap di New York selama kurang lebih dua tahun.
Pertemuan Guruh dan Nasution Bersaudara rupanya tak semata ajang nostalgia, melainkan juga jadi momentum untuk membikin proyek kolaborasi. Pemahaman mereka akan kolaborasi ini berada di satu jalur: menggabungkan musik rock dan tradisi.
Dari sisi tradisi, mereka sepakat memilih kesenian Bali sebagai fondasi. Pemilihan itu bisa dimengerti mengingat mereka tahu seluk beluk tentang kesenian Bali. Sewaktu di Perguruan Cikini, misalnya, mereka belajar kesenian Bali dari I Made Gerindem. Lalu, saat di Belanda, Guruh juga sering memperoleh berbagai informasi soal kesenian Pulau Dewata dari Pandji, Direktur Konservatorium Bali, yang kebetulan tengah menimba ilmu di sana.
Sementara ketika bermain dengan Sabda Nada sejak 1966 sampai 1968, Keenan dan Gauri pun sempat menyelipkan bunyi gamelan Bali—disusun oleh I Wayan Suparta—ke dalam lagu-lagu yang mereka bawakan. Termasuk saat tampil di New York dan berkolaborasi dengan kelompok gamelan pimpinan Syaukat Suryasubrata untuk memainkan komposisi “Topograpic Oceans” milik Yes.
Segala hal yang berbau Bali ini nantinya dituangkan ke dalam album mereka yang rilis pada 1976. Aroma Bali bisa Anda jumpai sejak dari bagian sampul yang bergambar kaligrafi “Dasabayu”—sepuluh aksara Bali dengan arti tertentu, I-A (kejadian, keadaan), A-Ka-Sa (kesendirian, kekosongan), Ma-Ra (baru), La-Wa (kebenaran), dan Ya-Ung (sejati).
Album Debut yang Kompleks
Nama “Guruh Gipsy”—gabungan dari dua entitas—pun dipilih sebagai nama band. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mencari pemodal yang bersedia membiayai keseluruhan proses rekaman. Dalam perkiraan mereka, rekaman bakal butuh duit yang tak sedikit untuk mengakomodir idealisme.
Tak sulit bagi mereka untuk mendapatkan pemodal. Nama Pontjo Sutowo, rekan karib Keenan sekaligus putra Ibnu Sutowo, bersedia membantu proyek Guruh Gipsy. Untuk urusan musik, Pontjo memang dikenal tak banyak perhitungan.
Proses rekaman pun dimulai pada Juli 1975 di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa, sebuah studio rekaman dengan fasilitas kanal 16 track pertama di Indonesia yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pengerjaan album Guruh Gipsy terbagi dalam dua fase. Pertama, dari Juli 1975 sampai Februari 1976. Pada fase ini, mereka berhasil menyelesaikan empat komposisi: “Geger Gelgel”, “Barong Gundah”, “Chopin Larung”, serta satu komposisi tanpa judul yang tidak disertakan dalam album. Sementara fase kedua berlangsung antara Mei hingga Juni 1976 dan menghasilkan tiga komposisi: “Djanger 1897 Saka”, “Indonesia Maharddhika”, dan “Smaradhana”.
Menurut pengakuan Guruh, proses rekaman sebetulnya hanya memakan waktu 52 hari di dalam studio. Yang bikin rekaman menjadi lama ialah mereka harus mencari biaya dari donatur selain Pontjo, menggodok materi, hingga menunggu jadwal kosong studio.
Secara garis besar, rekaman album Guruh Gipsy memang rumit. Idealisme yang mereka usung, menggabungkan dua kutub musik, modern dan tradisi, membikin proses rekaman harus dilakukan dengan persiapan yang maksimal agar hasilnya sejalan dengan konsep yang ada di kepala.
Rekaman tak hanya melibatkan personel Guruh Gipsy—Keenan, Abadi, Roni, Chrisye, dan Oding—semata. Sederet musisi seperti Trisutji Kamal (piano), I Gusti Kompyang Raka dan kelompok gamelan Saraswati Bali, paduan suara yang dikomandoi Rugun dan Bornok Hutauruk, hingga pemain musik kamar macam Amir Katamsi (kontrabass) turut mendukung jalannya rekaman.
Tentu ada banyak kendala selama proses rekaman. Seperti diungkapkan Alex Kumara, salah satu teknisi studio, kesulitan muncul kala mereka merekam komposisi “Indonesia Maharddhika” dan “Geger Gelgel.” Penyebabnya, begitu banyak bunyi-bunyian yang harus direkam. Kesulitan lainnya: nomor “Indonesia Maharddhika” membutuhkan proses dubbing—pengisian suara gitar elektrik, keyboard, dan synthesizer—sebanyak 200 kali.
Usaha keras itu terbayar. Album Guruh Gipsy jadi album yang sangat bernas. Ada warna Pink Floyd era Dark Side of the Moon yang bertemu dengan Fragile-nya Yes. Masing-masing komposisi punya musikalitas kuat serta muatan kritik sosial yang tegas. Misalnya saja di lagu “Geger Gelgel” yang berisikan keprihatinan terhadap perilaku culas pejabat, atau “Djanger 1897 Saka” yang menyentil ambisi mengubah Bali menjadi rumah para turis.
Album tersebut nyatanya menjadi satu-satunya album Guruh Gipsy. Setelah proses rekaman yang melelahkan, personel Guruh Gipsy disibukkan dengan proyek masing-masing. Meski begitu, dari kualitas satu album yang dirilis itu nampak bahwa mereka adalah salah satu band besar yang pernah dilahirkan di Indonesia.
Editor: Windu Jusuf