tirto.id - Pada 11 Desember 2004 malam, tepat hari ini 14 tahun silam, Nano Riantiarno mendapatkan kabar yang mengagetkan. Harry Roesli, kawan pemimpin Teater Koma itu, mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, sekitar pukul delapan malam.
Nano, yang saat menerima berita tersebut tengah mempersiapkan pementasan Republik Togog, mencoba tak percaya. Menurutnya, Harry adalah sosok yang tangguh. Berkali-kali penyakit menyerangnya, berkali-kali pula ia bisa mengatasinya.
Namun, realita berkata lain. Kali ini, sahabat karibnya itu harus kalah dan Nano pun tak bisa bertindak apa-apa.
Keesokan hari, Nano menghadiri pemakaman Harry di Desa Ciomas, Bogor. Raut kesedihan tak bisa ia tutupi. Air mata menetes membasahi pipinya. Nano begitu kehilangan.
Tapi, tak lama kemudian, Nano tersadar. Tangis kehilangan tak bakal mengembalikan Harry. Ia mesti merelakan kepergian Harry: tak ada jalan lain. Karena bagi Nano, Harry tak pernah mati.
“Ia tetap hidup di dalam batin saya,” katanya.
Mengikuti Kata Hati
Satu hal yang melekat pada sosok Harry Roesli: seniman serba bisa. Ia musisi rock jempolan, komposer hebat, dan pemain teater yang mumpuni.
Harry lahir di Bandung pada 10 September 1951 dengan nama Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang terpandang. Ayahnya, Roeshan Roesli, adalah Mayor Jenderal Purnawirawan TNI. Ibunya, Edyana, bekerja sebagai dokter. Sementara kakeknya, Marah Roesli, merupakan sastrawan Pujangga Baru yang menulis Sitti Noerbaja (1922).
Perkenalan Harry dengan dunia musik terjadi kala ia mulai rutin mendengarkan The Rolling Stones, Gentle Giant, hingga John Milton Cage Jr. Di antara banyak musisi yang ia dengarkan, Harry terpikat pada sosok Frank Zappa.
Seiring bertambahnya usia, Harry kian mencintai musik. Kecintaan ini pula yang membikinnya mbalelo terhadap orangtua. Di saat ketiga kakaknya mengambil jalan seperti sang ibu untuk menjadi dokter, Harry mantap memilih musik untuk bekal hidupnya.
Tentu, keinginan Harry mengejutkan ayah dan ibunya. Harry dikenal sebagai anak yang penurut dan jadi musisi tak menjamin masa depan. Bermain musik cukup sebatas pada hobi, tak perlu diseriusi. Kira-kira begitulah pandangan orang tua Harry.
Di tengah penolakan itu, dukungan untuk Harry mengalir dari ketiga kakaknya. Mereka membela pilihan Harry dan mencoba meyakinkan keluarga dengan argumen bahwa kalau memang musik bikin Harry bahagia, biarkan saja. Kedua orangtua Harry pun luluh. Harry diizinkan menyeriusi dunia musik, asalkan pendidikan tetap jalan terus.
Restu sang orangtua membikin Harry termotivasi. Ia lalu meninggalkan kuliahnya di Fakultas Teknik Mesin ITB dan pindah ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada 1978, Harry bahkan bertolak ke Belanda untuk menjalani studi musik di Rotterdam Conservatorium. Ia mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM). Butuh tiga tahun bagi Harry untuk menyelesaikan proses belajar dan meraih gelar doktoralnya.
Tak lama kemudian, pada 1981, ia balik ke Indonesia. Di Tanah Air, semangat Harry tak dapat dibendung. Ia terus melahirkan berbagai karya, baik musik maupun teater. Seolah ingin membuktikan kepada orang tuanya bahwa pilihannya tak salah: musik bisa menghidupi dan membikin dirinya bahagia.
Karya Harry: Protes Sosial yang Elegan
Proyek musik pertama Harry lahir kala ia mendirikan The Gang of Harry Roesli. Saat itu, ia sedang menempuh perkuliahan di ITB. Band ini beranggotakan Indra Rivai, Hari Pochang, Albert Warnein, Janto Soedjono, dan Dadang Latiev. Mulanya, The Gang of Harry Roesli hanyalah proyek suka-suka. Tak ada niat untuk lebih serius menggarapnya.
“Dulu kita suka nyanyi-nyanyi bareng aja. Terus, jadilah The Gang of Harry Roesli ini,” ujar Pochang, seperti dikutip Gatra dalam artikel “Pergelaran Reuni Mengenang Harry”.
Lambat laun, seperti diwartakan Kompas dalam artikel berjudul “Menyimak Kembali Harry Roesli” (2017), kesukaan itu berbuah album. Pada 1973, mereka merilis Philosophy Gang. Album ini memuat tujuh komposisi, lima di antaranya ditulis Harry dan dua yang lainnya dibikin Albert. Lewat Philosophy Gang, kita diperlihatkan betapa mahir dan jeniusnya Harry memadukan rock dengan blues, funk, dan jazz.
Kombinasi tersebut melahirkan nomor-nomor yang bernas macam “Don’t Talk About Freedom,” sebuah komposisi panjang hampir sembilan menit yang tersusun atas solo keyboard yang mematikan, ketukan perkusi yang gemulai, hingga raungan gitar dan tiupan harmonika yang saling bersautan. Hasilnya? Magis!
Sementara di “Peacock Dog,” Harry lebih sableng lagi. Di bagian pembuka, ia memainkan rock serupa Yes atau King Crimson. Namun, tiba-tiba saja, di tengah lagu—dan pada bagian melodi—ia mengubah warna musiknya menjadi jazz fusion yang ritmis lagi seksi.
Sayang, perjalanan The Gang of Harry Roesli cuma bertahan selama lima tahun. Penyebabnya: Harry mulai memfokuskan diri pada karier Teater Ken Arok. Menurut penuturan Pochang, Ken Arok bisa dibilang salah satu proyek ambisius Harry. Kata Pochang, Teater Ken Arok terinspirasi oleh pementasan bertajuk Jesus Christ Superstar yang dibawakan Remy Sylado dan kelompoknya di Orexas pada 1973.
Sebagaimana dicatat Adam Tyson lewat “Titik Api: Harry Roesli, Music, and Politics in Bandung” (2011), dalam pementasan Ken Arok, Harry tak jarang menolak manut pada naskah, sembrono, dan seringkali melakukan kegilaan-kegilaan di atas panggung. Seperti yang terjadi dalam pentas Kuda Lumping.
Kala itu, Harry, yang berperan sebagai penunggang kuda, mengganti properti pementasan dengan motor trail. Harry lantas memacu motor tersebut dari bawah panggung sembari menyemburkan api layaknya pementasan kuda lumping pada umumnya. Walhasil, pentas yang diadakan di bioskop kecil di bilangan Singaparna, Garut, ini berujung pada terbakarnya tirai panggung akibat kena sembur Harry.
Tak sebatas dikenal karena aksi-aksinya, pentas Ken Arok juga jadi ajang kegilaan Harry dalam memainkan banyak instrumen. Selain alat musik biasa, Harry juga menggunakan barang sehari-hari sebagai bagian dari upaya eksplorasi bunyi: dari mulai pintu sampai level panggung.
Secara umum, pentas Ken Arok menarik minat banyak orang. Dengan Ken Arok, Harry menempatkan pentas teater sebagai sesuatu yang profan. Artinya, pentas bisa dinikmati siapa saja, apa pun latar belakangnya.
Selagi disibukkan proyek teater, Harry tetap konsisten meramu album. Musikalitasnya malah semakin liar. Ia tambah getol bereksperimen dengan menyelami dimensi musik yang tak begitu-begitu saja.
Ihwal ini bisa dilihat lewat dua magnum opus-nya, Titik Api dan Ken Arok. Dua album tersebut merupakan gambaran bagaimana Harry mengawinkan rock dan bebunyian karawitan Sunda secara apik sehingga membentuk lanskap musik yang megah.
“Titik Api merupakan salah satu karya terbaik Harry Roesli di masa hidupnya. Musik yang disajikan cenderung eklektik. Mungkin ini semacam indikasi bahwa seorang Harry Roesli adalah sosok musisi yang luas wawasan musiknya,” terang kritikus musik almarhum Denny Sakrie.
Di balik karya-karya yang elegan, Harry tak lupa menyelipkan kritik sosial. Targetnya? Jelas Orde Baru.
Anda bisa menyimak kritik itu lewat, misalnya, “Merak.” Dalam lagu ini, Harry mengatakan bahwa walaupun Indonesia merupakan negara yang penuh pesona, namun sejatinya ia juga punya banyak cela seperti halnya burung merak. Lewat “Bharatayudha,” Harry menyoroti kelakuan pejabat yang gemar kelahi dan berkorupsi. Kemudian di “Jangan Menangis Indonesia,” ia menyesalkan tindakan represif aparat saat Peristiwa Malari 1974.
Pementasan teaternya pun juga sarat kritik. Ia sengaja mengambil tajuk Ken Arok agar masyarakat tahu bahwa ambisi untuk berkuasa kadang bikin kita jadi gelap mata dan menghalalkan segala cara. Dan itulah yang sedang terjadi kala Orde Baru berada di singgasananya.
Pesan-pesan yang termaktub dalam setiap karya Harry memperlihatkan visi yang jelas: menggugat penguasa. Sederet karya yang lahir dari pikirannya punya benang merah yang sama: lugas dan tegas terhadap segala wujud hipokrisi, ketimpangan, indoktrinasi sejarah, serta perilaku culas para aparat pemerintah. Kadang ia membungkusnya dengan bingkai yang satirikal, kadang dengan gelak tawa, dan kadang pula dengan memutarbalikkan logika.
Sikap kritis Harry bukannya tanpa hadangan. Berkali-kali ia harus kena sensor dan diciduk aparat Orde Baru akibat muatan karyanya yang terlampau vulgar dan kritis menyerang rezim. Pada Desember 1979, contohnya, pementasan Ken Arok di Semarang terpaksa diserbu tentara. Tak hanya itu, Harry pun juga kena sikat dan ditahan selama beberapa hari. Namun, tak lama kemudian, Harry bebas berkat lobi-lobi sang ayah yang punya jabatan mentereng di militer.
Pada 1990, Harry lagi-lagi mesti berhadapan dengan aparat Orde Baru. Waktu itu, bersama Teater Koma, Harry sedang menggarap pementasan bertajuk Opera Kecoa. Rencananya, Opera Kecoa bakal dimainkan di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, dan Hiroshima). Tapi, pentas tiba-tiba dilarang. Upaya audiensi dengan DPR dan Menkopolkam Sudomo juga tak membuahkan hasil. Opera Kecoatetap tidak diizinkan pergi ke Jepang.
Keadaan tersebut membikin Nano frustrasi dan sempat ingin vakum sementara waktu dari dunia teater. Tapi, Harry buru-buru meyakinkannya.
“Tidak melakukan kegiatan teater, sama artinya dengan tidak mempedulikan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terus terjadi di depan mata. Daripada diam, lebih baik berbuat sesuatu, meskipun tidak ada yang mau melihat dan mendengar,” jelasnya kepada Nano.
Harry Roesli adalah seniman yang meramu banyak dimensi, baik itu musik maupun teater, menjadi sebuah medium untuk bercermin, mengkritisi, dan mengingatkan bahwa pernah ada satu masa di mana negeri ini diselimuti kegelapan, keculasan penguasa, dan ketimpangan. Harry tak pernah lelah bersikap, sebagaimana ia tak pernah berhenti untuk membikin karya. Suaranya lantang, musiknya bergemuruh, dan kata-katanya meluncur tanpa rasa takut.
Editor: Ivan Aulia Ahsan