Menuju konten utama
1 November 1947

Kegilaan-Kegilaan dan Pertobatan Gito Rollies

Kenyentrikan Gito menjadi inspirasi lahirnya sebuah naskah drama berjudul Orexas alias Organisasi Sex Bebas.

Kegilaan-Kegilaan dan Pertobatan Gito Rollies
Ilustrasi Gito Rollies. tirto.id/Gery

tirto.id - Nama Bangun Sugito selalu diselubungi kisah-kisah eksentrik. Misalnya, ia dikisahkan pernah ditantang untuk naik motor telanjang bulat dari Jalan Braga ke Lembang pada tengah malam. Saat itu, Bandung era 1970-an, masih terhitung sejuk dan dingin. Bisa dibayangkan betapa menggigitnya suhu dingin pada tengah malam. Meski demikian, Sugito menyanggupinya.

Remy Sylado, salah seorang karib Sugito, mengatakan bahwa kawannya adalah orang yang populer. Semua orang kenal dia. Dari Gubernur Jawa Barat hingga Wali Kota Bandung. Ia ramah dan supel. Ditambah satu faktor tambahan yang membuatnya mudah dikenal: ia punya motor yang penampakannya ajaib.

"Sadel dibikin seperti kursi malas dan stang yang setinggi kepala," tulis Remy di artikel berjudul "Nu Bogana Bandung".

Pada 1970, Gito menjadi inspirasi Remy untuk membuat naskah drama Orexas yang merupakan kependekan dari Organisasi Sex Bebas. Remy mengatakan, naskah ini lahir karena, "terilhami oleh nyentriknya Gito."

Beberapa hal yang diceritakan Remy hanya secuil kegilaan-kegilaan Bangun Sugito yang kemudian dikenal sebagai Gito Rollies. Pria yang lahir di Biak, Irian Jaya, pada 1 November 1947 ini tumbuh dan besar sebagai pemuda di Bandung.

Pada 1967, ia diajak bergabung dengan The Rollies, band yang dibentuk oleh bassist Deddy Stanzah, drummer Iwan Iskandar, dan gitaris Tengku Zulian Iskandar. Sejak itu, nama Rollies melekat pada nama belakang Gito.

Baca juga: Jejak Rock Star Zaman Dulu

Gito punya pesona "alamiah" sebagai vokalis. Badannya atletis. Rambutnya yang kribo menjadi ciri khas, sama dengan Ahmad Albar dan Ucok AKA. Suaranya serak-serak basah, mengingatkan orang Indonesia pada suara James Brown.

Tapi, sebelum bergabung dengan Rollies, Gito dikenal sebagai penyanyi pop. Iskandar, sang gitaris, menyebut Gito sebagai, "penyanyi pop yang sopan". Setelah bergabung dengan The Rollies, ia disarankan menyanyikan lagu-lagu James Brown. Ternyata memang cocok.

The Rollies kemudian menjadi band yang memasukkan seksi tiup setelah Benny Likumahuwa bergabung. Pembaruan ini membuat musik Rollies pekat dengan aura soul dan funk -- kian dekat dengan Blood, Sweat, & Tears yang jadi inspirasi mereka.

Gito sendiri sempat belajar bermain terompet, dan ikut merangkap sebagai pemain di seksi tiup. Tapi menyanyi sambil meniup terompet lebih merepotkan ketimbang bernyanyi sambil bermain gitar. Maka Gito memilih fokus di departemen vokal.

Rollies sempat menjadi band pengiring bagi beberapa penyanyi, seperti Aida Mustafa. Sejak 1968, Rollies rutin aktif bermain di Singapura dan Thailand. Pada 1971, Rollies kembali ke tanah air. Pada tahun-tahun itu, penguasa industri musik adalah band seperti Koes Plus, Panbers, juga The Mercy's. Rollies harus berhadapan dengan mereka.

Baca juga:

Pada periode yang sama, Rollies akhirnya merilis album Let's Start Again lewat label Remaco. Beberapa lagu punya muatan bersahabat dengan pasar industri musik Indonesia: liriknya tentang cinta, dengan musik yang agak mendayu. Misalnya saja lagi "Salam Terakhir" yang menjadi lagu pembuka, atau juga "Lagu Rindu".

Tapi beberapa lagu seperti lepas dari pakem musik populer saat itu. Lagu "I Had to Leave You", misalkan. Lagu blues-patah hati sepanjang 7 menitan ini adalah replika dari "Since I've Been Loving You"-nya Led Zeppelin. Atau bagaimana Gito bernyanyi kenes di "Let's Start Again", ditimpali sahut-sahutan brass yang membuat band ini menjulang di antara band lain seangkatannya.

Secara garis besar, album ini seolah punya dua wajah. Wajah berlirik Indonesia adalah lagu pop, yang mungkin ditujukan untuk "berjualan". Sedangkan yang berbahasa Inggris adalah bukti pembuktian artistik Rollies.

Suara Gito memang cocok sekali dengan musik soul dan funk. Hal itu kembali tampak pada album kedua, Bad News (1972). Lagu "Bad News" bisa dikatakan menjadi adalah salah satu karya terbaik yang pernah dihasilkan musisi Indonesia.

Lepas 1975, Gito pindah ke Jakarta. Pendorongnya klasik: uang. Remy menyebut, pada 1975 itu, Bandung sebagai barometer musik sudah redup, hampir semaput. Saat itu, kenang Remy, konser musik tak lagi bisa menghasilkan uang. Kalau ada pertunjukan, itu hanya "operation thank you".

Baca juga:

"Artinya, sehabis pertunjukan panitia hanya cukup mengucapkan terima kasih, zonder honorarium. Wassalam," kenang Remy.

Pindah ke Jakarta mendorong karier solo Gito. Pada 1976, ia duet dengan Deddy Stanzah di album Higher and Higher. Pengamat musik Denny Sakrie mencatat bahwa Denny Sabrie, wartawan majalah musik Aktuil, yang menulis liriknya. Salah satu lagu mereka adalah "Do the Gito Dance", lagu funk yang ditulis Sabrie saat melihat gaya joget Gito.

"G-I-T-O. Do the Gito dance!" begitu reff-nya berbunyi.

Infografik Mozaik Gito Rollies

Uang dan popularitas semakin mengakrabi Gito setelah pindah ke Jakarta. Tetapi Gito juga menjadi pengguna aktif narkotika. Ia cukup lama menjadi pemakai. Saat ia menikah dengan perempuan keturunan Belanda, Michelle Van der Rest pada 1983, Gito disebut belum lepas dari narkotika.

Tapi Gito punya keinginan kuat untuk lepas dari jerat narkotika. Jalannya memang panjang, berliku, dan dramatis. Momen bertobatnya Gito ini pernah diceritakan Tio Pakusadewo saat diwawancara Alfred Pasifico Ginting.

Saat itu, sehari sebelum Gito berulang tahun ke 50, ia mengucap janji bahwa setelah usia menginjak 50, ia akan berhenti memakai segala jenis narkoba. Tapi Gito memasang syarat: biarkan ia "berbuat semaunya" dalam sehari. Iwa K dan Bucek Depp yang menemani Gito "berbuat semaunya' kemudian tumbang. Iwa K menggigil, dan Bucek terkapar. Sedang Gito masih segar.

"Begitu jam 12 malam, dia sujud dan salat. Sampai dia meninggal, enggak pernah dia melanggar apa yang pernah dia janjikan," kata Tio.

Baca juga:

Perubahan itu memang mengejutkan. Gito kemudian mendalami agama. Ia rutin mengikuti pengajian, bahkan kemudian mengisi pengajian. Gito hijrah, tapi ia tak lantas mengharamkan musik yang pernah membesarkan namanya. Ia berdamai dengan dirinya sendiri. Berdamai melalui agama. Dan ia masih bernyanyi atau bermain film.

Ia pernah membuat album religi, Kembali PadaMu. Sedangkan salah satu karakter yang cukup meninggalkan kesan adalah saat menjadi seorang pedagang buku loak langganan Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta, dan operator bioskop di film Janji Joni.

Gito menderita penyakit kanker getah bening pada 2005. Di masa-masa itu, ia sempat kembali ke Singapura. Tapi kali ini untuk menjalani kemoterapi. Tiga tahun Gito melawan kanker, sebelum akhirnya meninggal di Jakarta pada 28 Februari 2008.

Sebagai seorang penyanyi, Gito meninggalkan jejak yang sukar dilupakan. Karakter suaranya, personanya, juga cara bernyanyinya. Bersama The Rollies, ia bikin 18 album. Saat menjadi penyanyi solo, ia bikin setidaknya 15 album lain. Karena pencapaian-pencapaian itu, ia layak dikenang sebagai salah satu vokalis Indonesia terbaik sepanjang masa.

Baca juga artikel terkait BAND INDONESIA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS

Artikel Terkait