tirto.id - Waktu Axl Rose dan musisi pendukungnya datang ke Jakarta akhir 2012, Axl masih memegang bendera Guns N Roses. Tapi mereka bermain tanpa lengkingan gitar Slash juga cabikan bass Duff McKagan. Axl membawa musikus yang tak dikenal pecinta Guns N Roses di Indonesia.
Karenanya, sebagian pecinta rock Indonesia menyebut band yang konser itu bukan Guns N Roses, tapi Axl Band. Kebetulan saja mereka membawakan lagu-lagu legendaris Guns N Roses.
Orang-orang memang tahu Axl merasa sebagai pemegang hak cipta nama band yang berjaya di akhir dekade 1980an dan awal dekade 1990an itu. Sebagai pendiri dan vokalis utama, Axl merasa menjadi orang penting di dalam Guns N Roses.
Laki-laki yang bernama asli Wesley Bruce Bailey ini memang dicap sebagai pengatur dalam band. Tak jarang juga dicap egois. Kawan-kawannya yang dulu ikut membangun band ini angkat kaki, tak hanya Slash dan Duff.
Tapi perkembangan terbaru cukup menyenangkan bagi para fanatiknya sebab mereka sudah memulai tur konser reuni, termasuk di Singapura tahun depan. Tak hanya Guns N Roses, personel-personel band lain yang berseteru pun bisa disatukan dalam konser reuni. Pink Floyd, salah satunya.
Noel Diktator-nya Oasis
Jika Guns N Roses punya Axl yang besar sampai awal 1990an, pecinta brit pop dekade 1990an tak akan pernah lupa pada Oasis dengan Noel Gallagher-nya. Noel adalah tukang ngatur di Oasis, meski lucunya ia sendiri adalah yang terakhir bergabung. Adiknya, Liam Gallagher, lebih dulu bergabung dengan para personel The Rain di band ini.
Noel yang semula roadis dari band Inspiral Carpets itu mengamati band adiknya. Noel punya beberapa lagu yang dia tulis dan berpikir menjadikan band ini untuk membawakan lagu-lagunya.
“Dia memiliki segudang ide. Ketika dia baru masuk, kami hanyalah band yang membuat kegaduhan dengan empat macam suara. Tiba-tiba saja, banyak sekali ide baru,” kenang Paul Arthur, seperti dikutip John Harris dalam Britpop!: Cool Britannia and the Spectacular Demise of English Rock (2004).
Kawan-kawan adiknya di band menerima Noel yang menawarkan diri bermain gitar pada band itu, meskipun belum apa-apa ia sudah mengatur yang lain. Paul McGuigan diharamkan bermain bass memakai kord dasar. Begitu juga Paul Arthurs dalam bermain gitar. Sementara, Tony McCarroll harus bermain dalam ritme yang standar.
Kalah pengalaman membuat kawan-kawan Liam menurut. Alhasil mereka pun mendapat kontrak melalui Alan McGee dari Creation Record. Tak sampai tiga tahun bersama Noel, lagu “Supersonic” mereka sudah masuk ke posisi 31 tangga lagu Inggris di bulan April 1994. Lalu “Live Forever” masuk ke posisi 10 tangga lagu Inggris. September 1994, album Definitely Maybe dirilis, lalu merajai Inggris dan terjual laku dengan cepat. Tahun depannya, Tony McCarroll didepak dari band.
“Aku menyukai Tony sebagai seorang geezer tapi dia tidak akan mampu memainkan drum untuk lagu baru,” kata Noel.
Hingga kini, Oasis tak lagi menyelenggarakan konser karena permusuhan antara Gallagher bersaudara, Noel dan Liam.
Dominasi Waters Justru Menyelamatkan Kantong Rick
Band raksasa beraliran psikedelik Pink Floyd juga sempat punya Roger Waters. Semula, otak dari band ini adalah Syd Barret. Selain bermain gitar dan bernyanyi, Syd adalah penulis utama untuk lagu-lagu band ini. Sayangnya, dengan kejeniusannya yang diakui banyak orang dalam menulis lagu-lagu rock prograsif, Syd hanya bisa berkontribusi besar pada awal-awal Pink Floyd mulai terkenal.
Setelah Syd hanya berdiri diam dalam pandangan kosong dan tak memainkan gitarnya dalam sebuah konser, terpaksa sahabat Syd, David Gilmour, direkrut untuk bernyanyi dan bermain gitar. Ketika tak bisa manggung lagi, Syd hanya ditugasi menulis lagu saja. Syd yang doyan mengkonsumsi obat terlarang untuk 'melayang' lalu menjadi gila dan tak bisa diharapkan lagi untuk menulis lagu.
Roger Waters sang pencabik bass lalu turun tangan untuk menulis lagu. Lagu-lagu yang ditulisnya tergolong lagu-lagu penting Pink Floyd. Dalam beberapa album Pink Floyd, setelah tahun 1968 hingga 1985, Waters terbilang dominan dalam memimpin band. Terutama dalam menulis konsep lagu-lagu mereka.
Album Final Cut (1983), adalah puncak dominasi Waters. Album itu sejatinya begitu personal. Jika mendengar beberapa lagu dalam album tersebut, a nampaknya ingin bercerita soal keluarganya. Misalnya soal ibunya yang menjanda karena ayahnya gugur di Anzio Italia setahun sebelum Perang Dunia II selesai.
Waters bahkan pernah memecat Rick Wrigth, pemain keyboard Pink Floyd yang tak tergantikan. Meski dalam status dipecat, Rick tetap bermain untuk Pink Floyd dalam konser-konser yang memainkan album The Wall (1979), sebagai pemain upahan.
Pemecatan menyakitkan sebagai pendiri Pink Floyd itu tak membuat Rick Wright jatuh miskin. Konser-konser idealis berbudget besar untuk album The Wall itu harus menguras kantong semua yang masih berstatus personal sehingga bayaran dari hasil konser tak mereka nikmati. Hanya Rick saja yang menikmatinya.
Personel Dominan pada Band-Band Indonesia
Di Indonesia, anak band dan sebagian pecinta musik kenal Ahmad Dhani sang diktator Dewa 19. Dhani, bersama Andra Ramadhan, Erwin Prasetyo, dan Wawan Juniarso—selanjutnya bersama Ari Lasso dalam album Pandawa Lima—melejitkan band ini di awal dekade 1990an. Dhani adalah penulis lagu terpenting, seperti Paul McCartney dan John Lennon di The Beatles.
Dibanding John Lennon di Beatles, Dhani lebih dominan di Dewa. Lennon sendiri ketika sedang ribut dengan George Harisson, sudah berpikir untuk mengajak Eric Clapton jika George tak bisa diharapkannya. Namun George tak pernah dipecat Lennon hingga The Beatles bubar. Eric jadinya hanya ikut meramaikan rekaman The Beatles saja.
Dhani dalam soal ini lebih keras dari Lennon: Erwin si pencabik bass, yang pernah diskors, akhirnya kena tendang. Sebelumnya, Ari Lasso juga kena depak karena mencandu narkoba. Dari semua personel asli Dewa asal Surabaya, kini yang tinggal hanya Andra Ramadhan dan tentu saja Ahmad Dhani.
Dominasi Dhani makin terlihat jelas di album Bintang Lima dan setelahnya. Lagu-lagu mereka terkesan sufistik setelah album Pandawa Lima (1997). Dhani, yang sekarang gandrung berpolitik, ketika itu sedang gandrung pada sufisme. Bahkan beberapa lagu Dewa terdapat pengaruh, bahkan kutipan, dari Jalaludin Rumi, Al Ghazali bahkan Kahlil Gibran.
Lead gitar yang dimainkan Andra, di beberapa lagu amat terdengar mirip dengan permainan gitar Bryan May, gitaris Queen. Dan, bukan rahasia jika Dhani adalah pengagum Queen. Ini menarik, sebab saat bermain dalam Andra and The Backbones, pengaruh May seperti hilang dari gaya bermain gitar Andra.
Selain terkesan diktator, Dhani juga doyan bersesumbar. Ketika album-album band besar Indonesia hanya tembus di angka 1 juta kopi, Dhani pernah bilang album Dewa akan menembus 2 juta di album Cintailah Cinta (2002).
Jika Dewa punya Dhani—atau Dhani mempunyai Dewa—maka band asal Surabaya yang lain, Padi mempunyai Piyu. Jika Ahmad Dhani begitu terobsesi pada Queen, maka Piyu, dalam permainan gitarnya agak terpenguruh oleh Johnny Greenwood dari Radiohead. Di awal album Padi, Piyu tak begitu dominan menulis lagu, meski "single Sobat" yang melejitkan Padi adalah hasil karyanya. Tapi setelah album Lain Dunia (1999), peran Piyu makin dominan sebagai penulis lagu dan penentu arah band.
Pemimpin band lain yang kesohor tentu saja Bimbim dari Slank. Sedari awal sejarah Slank, Bimbim tak hanya jadi pemukul drum. Dia pemimpin dan rumahnya di Gang Potlot, Pancoran, Jakarta, adalah markas Slank. Dari 1983 hingga hari ini. Tak hanya jadi markas Slank tapi juga tempat nongkrong anak-anak band atau musisi lain yang belakangan juga terkenal. Seperti Oppie Andaresta atau Lobo.
Bimbim membangun band ini dari bawah sejak band ini hanya membawakan lagu-lagunya The Rolling Stones, dengan nama Cikini Stone Complex. Setelah bongkar pasang pemain, band ini berkembang ketika formasi mereka terdiri dari Bimbim pada drum, Bongki pada bass, Pay pada gitar, Indra pada keyboard, dan Kaka bernyanyi. Mereka melejit dengan album Suit... Suit... He... He.. (Gadis Sexy) (1990) lalu disusul Kampungan (1991) dan lainnya.
Pada 1997, jelang krisis moneter di Indonesia yang disusul bermacam krisis lain juga melanda Slank. Krisis kepercayaan terhadap sesama personel juga terjadi di Slank memunculkan cerita tak sedap. Bimbim memecat Bongky, Pay, dan Indra. Tinggallah dia bersama Kaka. Pemain gitar dan bass lalu dicari untuk menggantikan ketiga personil yang belakangan mendirikan BIP itu.
Dhani, Piyu, Bimbim, adalah wakil anak band setelah era 1990an yang dicap dominan. Tentu saja orang juga mengenal Rhoma Irama di Sonetha di era 70-80an sebagai pemimpinnya. Rhoma bermain gitar dan juga bernyanyi dan semua tahu julukannya adalah Raja Dangdut.
Dalam film-filmnya, semua berpusat pada Rhoma. Musikus lain yang dominan di band, tentu saja Ucok Harahap dari AKA. Tak hanya pendiri, pemain keyboard dan bernyanyi, alat-alat band mereka awalnya berasal dari uang ayah Ucok yang pengusaha Apotek Kali Asin, yang juga tempat berlatih mereka. Nama apotek itu pun menjadi akronim nama band anak Ismail Harahap itu.
Bicara soal kepemimpinan di band, yang jadi pemimpin band biasanya adalah penyanyi atau mencipta lagu paling banyak atau paling paham musik ketimbang yang lain. Hal ini terjadi juga di Koes Plus atau Koes Bersaudara. Di band ini, Tonny Koeswoyo-lah yang dominan.
Ketika dua band itu berjaya, dia adalah anak tertua Koeswoyo yang sedari awal mengajari adik-adiknya bermusik. Di awal-awal album mereka, Tonny-lah yang menulis lagu. Setelah band ini rajin merilis album, personel lain ikut menyumbang lagu. Ayah mereka, Koeswoyo bahkan ikut menyumbang lagu “Penyanyi Tua”.
Peran Tonny mirip Barry Gibbs dari Bee Gees, band keluarga lain yang tentu saja lebih mendunia. Band ini pernah mandeg hanya gara-gara porsi bernyanyi antarsaudara itu.
Tapi soal kepemimpinan, barangkali The Rollies adalah band paling adil dalam menunjuk siapa pemimpin band mereka. Meski alat-alat band ini awalnya dari orang tua Deddy Stanzah yang tergolong tajir, namun Deddy tidak dominan. Ia bahkan pernah dipecat.
Di cover album-album mereka tertulis: “Band Rollies Pimpinan Bersama.”
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani