tirto.id - Bachtiar Siagian sedang mendokumentasikan jalannya konferensi perdamaian di Tokyo ketika berita kudeta 1 Oktober 1965 menggegerkan seisi Indonesia. Kompas (27/9/1965) melaporkan, dua minggu sebelumnya Bachtiar baru menyelesaikan pengambilan gambar di Sumatra Barat. Beberapa objek yang berhubungan dengan tambang batubara Ombilin di Sawahlunto, rencananya akan melengkapi film dokumenter terbarunya yang bertema pembangunan.
Paruh pertama dekade 1960-an adalah tahun keemasan dalam karier penyutradaraan Bachtiar. Sehabis membawa pulang penghargaan film terbaik Festival Film Indonesia tahun 1960 untuk film Turang, dia sudah berencana membuat film lain tentang pemberontakan ideologi dalam kehidupan masyarakat tradisional Bali. Restu pembuatan film yang diberi judul Karmapala ini kabarnya datang langsung dari Presiden Sukarno.
Malangnya, bagian terbaik dalam kariernya itu mendadak suram. Dikisahkan oleh Krishna Sen, Guru Besar Studi Indonesia di University of Western Australia, beberapa minggu setelah kembali dari Jepang, Bachtiar menyadari hidupnya dalam bahaya. Sebuah artikel surat kabar memberitakan bahwa pihak berwenang sedang memburu para anggota organisasi kebudayaan sayap kiri.
Bachtiar yang masih anggota aktif Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) lantas mengalihkan kegiatannya ke bawah tanah. Sambil berpindah-pindah dia masih berusaha bekerja yang malah membuat dirinya tertangkap pada awal 1966. Bachtiar dijebloskan ke Penjara Salemba bersama seniman-seniman Lekra lainnya tanpa berhasil menyelesaikan film terakhirnya.
Selama 12 tahun Bachtiar ditahan tanpa diadili atas tuduhan terlibat kudeta. Dari Salemba, dia sempat pula merasakan dinginnya lantai Penjara Nusakambangan, di lepas Pantai Selatan Jawa, hingga berakhir di Pulau Buru. Hidupnya selama dalam kurungan tidak terdokumentasikan, begitu pula dengan kehidupan serba kekurangan yang mengiringi setelahnya. Bachtiar baru dibebaskan pada Desember 1977 di usianya yang sudah menginjak 55 tahun.
Bachtiar Siagian, yang memulai debutnya pada tahun 1955, membuat sedikitnya 13 film cerita dan beberapa film dokumenter. Pasca 1965, penghancuran dan pengabaian yang disengaja dilakukan pemerintah Orde Baru telah menghapus jejak sebagian besar karyanya. Walhasil, nama Bachtiar tinggal kepingan dalam ingatan orang-orang tua, sementara generasi baru sekadar tahu sosoknya sebagai sutradara yang kelewat mempolitisasi film.
“Satu-satunya cara menduga mutu sinematis dari film Bachtiar Siagian adalah dengan membaca resensi yang ditulis pada masa film tersebut dilepaskan ke tengah masyarakat,” tulis kritikus film Salim Said dalam kumpulan tulisan Pantulan Layar Putih (1991: 61). Satu-satunya filmnya yang berhasil diselamatkan hanya Violetta yang diproduksi tahun 1962 bersama aktor Bambang Hermanto.
Dari Kebun ke Panggung
Bachtiar merupakan satu dari beberapa sutradara Indonesia angkatan 1950-an yang cukup berpengaruh. Dia selalu disandingkan dengan kepeloporan Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional, dalam upaya mengangkat derajat perfilman tanah air. Alih-alih menjadi kawan, mereka lebih kerap dijuluki musuh bebuyutan akibat kedekatan Bachtiar dengan lingkaran sineas sayap kiri.
Bachtiar sebetulnya memiliki banyak kesamaan dan sedikit perbedaan dengan Usmar. Keduanya lahir di Sumatra ketika gagasan nasionalisme sedang gencar dibicarakan kaum terpelajar Indonesia. Episode hidup keduanya ibarat dua sisi cermin yang dimulai dari dunia sastra, masuk penjara, hingga belajar membuat film dari orang Jepang. Perbedaannya, jika Usmar lahir di keluarga bangsawan Minang yang punya akses menonton film Barat, maka Bachtiar tumbuh dalam lingkungan keluarga kuli perkebunan yang tidak mengenal film.
Bachtiar Siagian lahir di Binjai, Sumatra Utara, tanggal 19 Februari 1923. Secara turun-temurun, keluarganya hidup mengais rezeki dari tanah perkebunan tembakau Deli. Ayahnya, Koempoel Siagian, adalah pegawai administrasi di gudang pengiriman tembakau tak jauh dari stasiun kereta api Binjai. Sementara kakek dan neneknya merupakan dua dari ratusan ribu kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa pada pengujung abad ke-19.
Kehidupan kuli perkebunan di Deli pada awal abad-20 sangatlah keras dan penuh diskriminasi. Saking susahnya kehidupan keluarganya saat itu, Bachtiar kecil harus ikut bekerja menjadi pelayan di rumah perempuan Belanda yang belakangan membiayainya belajar baca-tulis di sekolah dasar.
Sebelum mengenal dunia teater dan film, Bachtiar adalah penggemar musik Melayu dan lagu-lagu Mesir modern. Dalam memoarnya, dia mengaku belajar bermain alat musik harmonium dari ibunya sebelum ikut manggung dari pesta ke pesta bersama orkes gambus keliling. Selain bermain alat musik, Bachtiar juga menggemari syair-syair kisah lama yang mendorongnya bergabung ke dalam kelompok teater nasionalis radikal di Medan.
Bachtiar nyatanya memang berjiwa nasionalis tulen. Sebelum Indonesia merdeka, dia sudah mulai menulis naskah drama bermuatan nilai-nilai kebangsaan. Lakon empat babak bertema nasionalisme yang pertama kali dia tulis berjudul Dr. Darman. Dilanjutkan dengan sandiwara berjudul Angin Berkisar yang bercerita tentang konflik di sekitar rumah tangga laki-laki Indonesia dan perempuan peranakan Belanda. Gara-gara itu, Bachtiar pernah menjadi sasaran siksaan Kempetai, polisi militer Jepang yang terkenal kejam.
“Di situ aku diperiksa, disiksa. Di dalam kerangkeng tak memakai baju, hanya bercelana pendek. Setiap malam diperiksa dan dipukuli. Aku dituduh mengadakan propaganda Indonesia Merdeka dan anti Jepang,” kenang Bachtiar dalam memoarnya yang tidak pernah diterbitkan. “Aku dibolehkan pulang setelah meneken surat perjanjian bahwa aku tidak akan aktif lagi dalam gerakan politik.”
Bachtiar pertama kali terlibat dalam pembuatan film ketika Jepang memerintahkan dia dan kelompoknya membuat film propaganda tentang Tonary Gum. Produksinya dimulai pada tahun 1943 di bawah komando orang-orang Jepang. Dari mereka pula, Bachtiar mendapat pelajaran dasar membuat film.
Ketertarikan Bachtiar pada film semakin besar di masa Revolusi. Saat menjadi sekretaris Persatuan Perjuangan Langkat, dia mulai berkenalan dengan teori-teori sutradara film Rusia, Vsevolod Pudovkin. Dari sana, dia masuk ke dalam lingkaran seniman film sosialis dan bergabung dengan Lekra cabang Medan pada tahun 1951.
Terseret ke Pusaran Politik
Bergabung dengan Lekra tak serta-merta membuat Bachtiar punya keberanian membuat film sendiri. Dikisahkan Krishna Sen dalam Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (2009: 74), tawaran untuk berkecimpung dalam perfilman baru datang jelang medio 1950-an. Njoto, salah seorang pucuk pimpinan PKI sekaligus pendiri Lekra, mendesak Bachtiar pindah ke Jakarta dan bekerja di industri film.
Atas nasihat Saleh Umar, kawannya sesama dramawan yang duduk di DPR mewakili PNI, Bachtiar bersedia memenuhi panggilan Njoto dengan hijrah ke ibu kota pada 1954. Selain ditunjuk mengepalai Indonesia Film Institution di bawah Lekra, Bachtiar juga aktif dalam organisasi Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis). Berkat jabatannya itu, posisi Bachtiar dalam pefilman mulai mendapat sorotan.
Satu tahun setelah tiba di Jakarta, Bachtiar berkenalan dengan Adam Malik, politikus Partai Murba yang kala itu mengelola perusahaan impor film Cina bernama Muara Film. Berkat bantuan dana dari Muara, Bachtiar bisa menulis dan mengarahkan sendiri film pertamanya yang berjudul Kabut Desember (1955) dengan menggandeng bintang film Dhalia yang saat itu sedang kondang.
Selepas Pemilu 1955, ketertarikan Bachtiar terhadap film-film dengan tema yang lebih serius mulai terlihat. Film pertamanya tentang gerakan nasionalis, Turang (1957), memperoleh kesuksesan sekaligus mengawali ketertarikan para anggota PKI di bidang sinema. Turang yang berkisah tentang perjuangan Rakyat Karo melawan Belanda di masa Revolusi, dianggap berhasil memfasilitasi ideologi nasionalisme populis yang digandrungi Sukarno.
Celakanya, hal ini membawa pertentangan ideologi partai masuk ke ranah perfilman. Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982: 61) menilai pengesahan Konsepsi Presiden 1957 yang melahirkan Demokrasi Terpimpin turut memperburuk hubungan antara seniman film sosialis dengan yang demokratis.
“Beberapa pekan setelah Konsepsi Presiden diumumkan, sejumlah seniman dari kalangan Lekra, di bawah pimpinan Basuki Resobowo, Bachtiar Siagian, Amir Pasaribu, dan Henk Ngantung, melibatkan diri secara langsung dalam dunia film lewat organisasi yang dinamakan Panitia Seniman untuk Film,” tulisnya.
Di tengah kegaduhan yang menimpa dunia film kala itu, Bachtiar ditunjuk menjabat Sekjen Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), organisasi produser yang dibentuk Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada 1956. Menurut Misbach Yusa Biran dalam memoarnya, Kenang-Kenangan Orang Bandel (2008: 149), pengangkatan Bachtiar ke dalam kepengurusan PPFI semata-mata dilakukan untuk menghalangi agar sineas sayap kiri yang berbasis di Medan tidak membuat organisasi tandingan baru.
Sayangnya, perpecahan di kalangan masyarakat perfilman sudah berlarut-larut. Hal ini malah mendorong Persatuan Pers Film Indonesia mengadakan seminar bertema politik. Simposium berjudul “Artis Film dan Partai Politik” digelar pada 8 September 1957 dengan tujuan mempertemukan Bachtiar Siagian dengan Usmar Ismail dalam sebuah debat. Orang-orang menganggap kedua tokoh tersebut sudah benar-benar saling bermusuhan.
Menurut pengamatan Usmar sendiri, paruh pertama 1960-an bukanlah tahun yang baik bagi perfilman nasional. Film yang dibuat kala itu kebanyakan datang dari pesanan badan pemerintahan, perusahaan negara atau bank desa. Perusahaan Film Negara (PFN), misalnya, dimonopoli pemerintah untuk membuat film-film cerita propaganda.
“Orang-orang film tidak lebih tingkatnya dari orang suruhan,” keluh Usmar dalam antologi Usmar Ismail Mengupas Film (1983: 96).
Dalam tulisan yang sama, sutradara Tiga Dara itu mengaku awalnya cukup menaruh hormat pada Bachtiar Siagian dan mengakuinya sebagai pesaing yang tangguh. Lama-kelamaan, posisi Bachtiar yang semakin dalam tercebur ke dalam lumpur politik mengubah pandangan Usmar sama sekali. Ditambah lagi, orasinya soal pengganyangan film-film yang tidak bertema Manipol Usdek kerap kali menyasar Usmar dan kawan-kawannya di Perfini.
Bachtiar bukannya tidak menyadarinya rasa kebencian para sineas yang menuduhnya sebagai orang politik yang disusupkan ke film. Dalam catatan hidupnya yang disarikan Tempo (9/2/2015), Bachtiar mengaku tidak keberatan disebut orang politik. Dia dengan tegas menunjuk bahwa film-filmnya memang dibuat untuk menunjukan sikap politis rakyat kecil melawan ketidakadilan.
“Mungkin hati nuraniku banyak dipengaruhi lingkungan aku dilahirkan di perkebunan dan dibesarkan di lingkungan kuli kontrak yang diperlakukan sewenang-wenang,” katanya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi