tirto.id - “Saya diijinkan anjing saya untuk menyukai Susi,” ujar Awal saat menyatakan cintanya kepada Susi Magdalena.
Tak mempan dengan rayuan pertama, Awal kemudian mengajak Susi jalan-jalan ke toko perhiasan dan memilihkan satu cincin. Susi tak menaruh curiga, rupanya cincin tersebut digunakan Awal untuk melamarnya.
“Dampingi saya, sampai saya mati. Saya ingin meninggal sebagai seorang suami,” Awal memohon.
Senin, 12 Januari 2009, mereka melangsungkan pernikahan di Masjid Tatar, Rusia. Seluruh proses ijab kabul dilaksanakan dalam bahasa Rusia. Empat hari setelah akad, mereka mengadakan resepsi di KBRI Rusia.
Tahun 2004, Susi pertama kali pergi ke Rusia untuk berlibur selama sebulan. Saat perayaan kemerdekaan Indonesia ia ikut merayakannya di KBRI. Di tengah-tengah orang Indonesia, ia tak menemukan kecocokan, asing belaka. Hanya Awal yang dirasanya nyambung dalam berbicara, mereka terlibat pembicaraan tentang literatur Rusia. Itulah pertemuan mereka yang mula-mula.
Putus Sekolah dan Dari Mana Awal Uzhara Bermula
Sebelum berangkat ke Rusia dan kuliah di VGIK, Awal hanyalah seorang pengangguran putus sekolah dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Karena kasihan kepada orangtuanya yang terus-menerus membiayai dia sekolah di rantau, tahun 1953 ia akhirnya memilih berhenti kuliah dan pergi ke Jakarta mencari pekerjaan.
Mula-mula ia bekerja di sebuah biro reklame sebagai pelukis poster film. Kemudian pindah kerja ke Perusahaan Film Negara (PFN) sebagai pelukis dekor dan berpangkat sebagai tukang. Suatu waktu ia bertemu dengan Basuki Effendi—seorang sutradara film, dan ditawari pekerjaan sebagai property man atau bagian pengadaan barang untuk film Pulang (adaptasi dari novel karya Toha Mochtar) yang tengah digarap oleh Basuki.
Tahun 1960, saat ia masih kuliah di VGIK dan hubungan Rusia-Indonesia begitu mesra. Di Rusia pernah dibuat film—kalau diterjemahkan, berjudul Topan Kencang. Film tersebut berkisah tentang kapal laut Soviet yang mengantarkan bantuan makanan dari Indonesia ke Afrika. Topan Kencang terinspirasi peristiwa tahun 1946 saat Indonesia memberikan bantuan beras kepada India yang tengah dilanda bencana kelaparan.
“Waktu itu, orang-orang Indonesia yang berada di Moskow dibawa ke Odessa untuk syuting film,” tambahnya.
Di tengah produksi film Pulang, Awal ditawari untuk menjadi figuran sebagai guru yang tampil hanya beberapa menit saja. Di film Basuki berikutnya yang berjudul Sampai Berjumpa Pula (1955), ia naik pangkat dengan langsung menjadi asisten sutradara.
“Kerjasama dengan Basuki adalah fase penting dalam hidup saya. Mengapa? Selain karena saya diperkenalkan dengan isi dapur pembuatan film, Basuki juga sama sekali tidak mempertanyakan perihal surat keterangan tanat sekolah,” ujarnya.
Selain bekerjasama dengan Basuki Effendi, ia juga pernah bekerja dengan Bachtiar Siagian. Di film Corak Dunia dan Daerah Hilang, Awal bertugas sebagai asisten sutradara. Bahkan di film Melati Senja, ia diberi kesempatan untuk menajdi sutradara. Selain bekerjasama dengan kedua sutradara itu, ia juga sempat diajak oleh sutradara lain, yaitu Alam Surawijaya dan Nawi Ismail untuk membantu mereka sebagai asisten sutradara.
Saat menyutradarai film Hari Libur yang dibintangi Bing Slamet, Awal mendengar informasi tentang beasiswa dari pemerintah Uni Soviet yang diumumkan lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Awal tentu berminat untuk mengikuti beasiswa itu, tapi ia terganjal administratif: tak punya ijazah!
Namun atas bantuan kawan-kawannya semasa sekolah di INS Kayutanam, yaitu Nasrun A.S (pejabat di Kementerian Penerangan) dan Syamsuddin Syafe’i (sutradara di Teater Ratu Asia), yang memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa Awal adalah tamatan sekolah tersebut, akhirnya ia bisa melengkapi semua persyaratan beasiswa tersebut.
Saat revolusi pecah, Awal yang sebelumnya sekolah di Chugakou—sekolah menengah di zaman Jepang, pindah ke INS yang didirikan oleh Mohammad Syafei, seorang sarjana lulusan Belanda. Sementara permulaan sekolahnya, ia belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School).
Ia lahir dengan nama Awaluddin di Kayutanam, Sumatra Barat pada 17 November 1931. Uzhara adalah nama tambahan yang ia sematkan sejak remaja, akronim dari nama kedua orangtuanya, yaitu Umar dan Zahara.
Kisah Awal Uzhara ini terdapat dalam Nasib Manusia: Kisah Orang yang Tak Bisa Pulang (2014) karya Syarif Maulana berdasarkan wawancaranya dengan Awal.
“Mengingat masa lalu, kadang-kadang senang, tapi ada juga sedihnya. Ada pula orang yang berkata, katanya orang mengingat masa lalu selalu diperindah. Saya akan menceritakan apa adanya,” ujar Awal dalam Awal, Nasib Manusia, film dokumenter tentang dirinya.
Menjadi Manusia Tanpa Negara
Sebelum kembali ke Rusia, pasca lulus dari VGIK ia sebetulnya hendak menetap di Indonesia. Tanpa membawa dulu istri dan anaknya, ia berniat mencari pekerjaan di Indonesia. Tahun 1966 saat ia tiba di tanah air, alih-alih segera mencari pekerjaan, ia malah diperiksa oleh militer terkait peristiwa G30S. Setelah dinyatakan tidak terlibat, barulah ia mencari pekerjaan.
Ia mula-mula menemui Sjumandjaja, kawannya sewaktu belajar di VGIK. Namun Awal hanya menemui kekecewaan. Di sana ia tak mendapat pekerjaan.
“Sjuman hanya menggelengkan kepala, menyebut tidak ada pekerjaan, sambil tidak sedikitpun wajahnya melihat saya,” kenangnya.
Ia mencari ke sana ke mari, tapi pekerjaan tak kunjung didapat. Dalam kondisi seperti itulah kabar dari Rusia datang: anaknya sakit.
Tiba di Rusia ia segera menghadap ke KBRI yang waktu dipimpin oleh Manai Sopiaan (ayah aktor Sophan Sopiaan) untuk meminta izin tinggal sementara di Moskow karena anaknya sakit. Namun Manai Sopiaan menyuruhnya bertemu dengan pihak atase militer Indonesia. Di sana, Awal malah disuruh segera pulang ke Indonesia dan tidak boleh tidak lama di Moskow.
Tak punya pekerjaan, anak sakit, dan disuruh tidak tinggal lama di Moskow membuat Awal benar-benar kebingungan. Dalam kondisi seperti itu, ia tiba-tiba ditelpon oleh profesor Gerasimov, koleganya waktu belajar di VGIK. Bersama dosen-dosen yang lain, Ia diminta untuk membantu profesor tersebut menjadi asisten.
“Saya tidak pikir panjang untuk menerimanya karena nasib saya memang sedang terkatung-katung,” ujar Awal.
Di VGIK ia membantu profesor Gerasimov mengamati dan mendampingi mahasiswa yang hendak melakukan pementasan atau membuat film di jurusan penyutradaraan. Selama berkarir di VGIK, Awal membuat beberapa film, yaitu: On Tashkent Film Festival (film dokumenter tentang Festival Film Tashkent), Our School in Moscow (tentang sekolah untuk anak-anak keturunan Arab di Moskow), Exhibition (film dokumenter yang diambil dari berbagai kesenian rakyat Indonesia), dan Tapol (tentang nasib para tahanan politik di Indonesia).
Permulaan kuliah di VGIK, ia dan kawan-kawannya tidak hanya belajar tentang film, tapi juga sastra, seni rupa, musik, dan teater. Awal menambahkan, hal tersebut diajarkan karena film sebagai seni paling muda. Untuk memahami film, mahasiswa harus memahami dulu seni-seni yang lain sebelum film.
Selama belajar di VGIK, ia sempat mementaskan cerpen Nyanyian Sunda karya Nugroho. Tahun berikutnya, ia memilih mementaskan Keributan karya Anton Chekhov. Memasuki tahun ketiga, saat para mahasiswa diwajibkan membuat film, ia membuat film berjudul Tembakan dari karya Aleksander Sergeyevich Pushkin.
MGU dan Utuy T. Sontani
Sebelum berhasil pulang ke Indonesia pada tahun 2012, Awal mengajar di MGU sejak tahun 1995 atas ajakan Ludmilla Demijuk, dosen yang sudah lama mengajar bahasa Indonesia di kampus tersebut. Awal kemudian mengajar di sebuah fakultas di Institut Negeri-negeri Asia Afrika (ISAA) yang didirikan sejak tahun 1953 dan berisi pelajaran ekonomi, sejarah, dan Bahasa dari negara-negara di Asia dan Afrika.
Kehadiran Awal bagi Ludmilla dianggap penting, sebab ia sadar sebagai orang Rusia dan menjadi dosen bahasa Indonesia, ia tak mungkin mengajari pengucapan dan percakapan yang sempurna. Peran Awal meneruskan Utuy Tatang Sontani (meninggal tahun 1979) sebagai native speaker yang sebelumnya menjadi pengajar di kampus tersebut.
Awal kemudian memperkenalkan kebudayaan Indonesia lewat karya sastra yang ia pilih sedemikian rupa agar mewakili berbagai daerah di Indonesia. Ia memperkenalkan Bila Malam Bertambah Malam (Putu Wijaya: Bali), Raomanen (Mariannne Katoppo: Batak dan Menado), Sebuah Lorong di Kota Kami (N.H. Dini: Jawa Tengah), Lebaran di Karet (Umar Khayam: diambil dari beragam cerpen), dan Kemarau (A.A. Navis: Minangkabau).
Di Rusia, Awal biasa dipanggil Uzhara, termasuk oleh murid-muridnya di MGU (Universitas Negeri Moskow). Elizaveta Bleznova dan Maria Avdeeva menulis kesan tentang dosennya tersebut.
“Biasanya guru kita kasih kepada mahasiswanya nama panggilan Indonesia. Nama saya Liza, tapi Bapak Uzhara panggil saya Elizabeth Tailor atau Lisa. Kalau jujur, pada tahun ajaran pertama saya belajar sambil banyak bersenang-senang, tertawa dan bercanda, tapi sang guru kita selalu memperlakukan saya dengan baik dan ramah, sehingga saya mulai belajar dengan cara yang lebih serius dan dapatkan nilai terbaik,” tulis Elizaveta.
“Beliau tidak hanya membantu kami untuk lebih mengerti tata bahasa Indonesia, menghafal istilah-istilah yang berguna dan mempraktekkan Bahasa percakapan, tetapi juga selalu banyak bercerita tentang budaya Indonesia, adat dan tradisi masyarakatnya. Bapak Awal Uzhara juga selalu sangat kreatif dalam mengajar,” tulis Maria.
Di sela-sela kesibukannya mengajar, Awal beberapa kali mengantar orang-orang Indonesia yang hendak berziarah ke makam Utuy Tatang Sontani. Tahun 1996 ia mengantar Taufiq Ismail, dan tahun 2007 ia menemani Putu Wijaya. Saat Putu Wijaya berziarah, kata Awal, ia seolah berbincang akrab dengan Utuy dengan beberapa kali menyebut kata “Mang Utuy”. Saat mengantar Susanto Pudjomartono—Duta Besar Indonesia untuk Rusia, mengunjungi makam Utuy, Awal mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar makam sastrawan tersebut, tapi Susanto melarangnya.
“Tidak usah dicabuti. Biarkan saja. Itu adalah rumput yang tumbuh dari kebaikan-kebaikan dia. Biarkan kehidupan muncul dari pusaranya,” ujar Susanto.
Kesan Awal kepada Utuy yang pernah ditemuinya di Rusia cukup menyedihkan. Pengarang drama terkenal yang tak bisa pulang ke Indonesia karena G30S itu akhirnya menetap dan meninggal di Rusia.
“Dia orang yang sering menyunggingkan senyum di bibir, tapi tidak dengan matanya. Matanya tidak pernah ikut tersenyum,” ujarnya.
Dalam sebuah film dokumenter berdurasi 1,5 jam tentang kenangan orang-orang Rusia terhadap Indonesia, Ludmilla Demijuk, kolega Utuy di MGU mendatangi makamnya. Ia hendak berziarah sambil membawa bunga, tapi makam Utuy sudah tidak ada. Ia akhirnya melemparkan bunga-bunga yang dibawanya ke berbagai penjuru.
“Rohnya pasti melihat kami. Melihat dan merasakan bagaimana rasa hormat kami kepadanya […] Bapak Utuy pasti menyambut kedatangan kami,” ucap Ludmilla sambil melemparkan bunga-bunga.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono