tirto.id - Bambang Hermanto hanya punya satu harapan untuk mengisi hari tuanya. Dia ingin menarik diri dari hiruk-pikuk perkotaan dan menyepi di desa kelahirannya di Lereng Gunung Lawu, Batujamus, Jawa Tengah. Pilihannya menjalani masa senja sungguh berbanding terbalik dengan rutinitas glamor yang pernah menjadi bagian dirinya di masa muda.
“Saya ingin mati di sini,” demikian tekad Bambang.
Keputusannya untuk hidup ibarat petapa barangkali terdengar tidak masuk akal bagi sebagian orang. Padahal sebelumnya, pria bercambang yang pernah menyandang gelar Aktor Dunia Terbaik di Festival Film Moscow (1961) sekaligus penerima penghargaan Festival Film Indonesia (1955 dan 1984) ini memiliki kehidupan nyaris sempurna. Kariernya cemerlang, belum lagi digandrungi para perempuan.
Pada 1987, Bambang pernah mengungkapkan rasa frustasi dan sikapnya yang apatis terhadap hidup, terutama kehidupan serba modern. Ketika pertama kali tiba di desa, dia tidak mau membaca koran, menonton siaran berita, atau menonton film di televisi. Kesukaannya hanya mendengarkan acara karawitan yang disiarkan melalui radio.
Menurut laporan Kompas (20/12/1991), Bambang mengaku bosan dengan film Indonesia. Jelang tahun 1990-an, perfilman tanah air memang sedang gelap-gelapnya. Tren produksi film lebih berpihak pada film-film kultus yang lebih banyak mengumbar seks dan darah. Akibatnya, jumlah film Indonesia berkualitas menurun hingga berdampak pada jiwa kesenian Bambang.
“Tak ada peran yang cocok bagi saya. Saya tak mau peran om-om senang, apalagi dalam film-film yang mengeksploitir seks,” katanya tegas.
Sebagai aktor, Bambang memang punya standar tinggi. Dia mengaku hanya mau bermain film jika ceritanya benar-benar bermutu. Bambang hampir saja menjadi pemeran Sunan Kalijaga ketika kabar pembuatan film kolosal yang memakan biaya fantastis itu pertama kali dibicarakan pada awal tahun 1970-an.
Berkat sikap teguhnya itu, ia mampu bertahan di dunia film selama hampir 40 tahun lamanya. Kariernya memanjang sejak film nasional pertama kali dibuat pada 1950 hingga pengujung 1980-an. Berbagai macam posisi di balik layar pernah dilakoninya, termasuk menjadi produser, menulis naskah, hingga sutradara.
Werkudoro Lambang Kejantanan
Selama menyepi di desa, Bambang mengurusi semua kebutuhannya sendiri alih-alih mengandalkan bantuan ketiga istrinya. Setiap pagi, hanya dengan mengenakan sarung sambil bertelanjang dada, dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang semasa muda jarang disentuhnya. Penampilannya sehari-hari sama sekali tidak mengesankan sosok bintang film legendaris yang pernah dijuluki lambang kejantanan dekade 1950-an.
Bambang Hermanto lahir dengan nama Herman Dulong pada 1 Agustus 1925 di Batujamus, Jawa Tengah. Ayahnya keturunan Prancis berkebangsaan Belanda yang menikah dengan perempuan pribumi. Sejak kecil Herman bercita-cita menjadi insinyur dan tidak sedikitpun tebersit ingin berkecimpung di dunia seni peran.
Sebagai anak tunggal keluarga indo, Herman cukup beruntung di masa itu. Ketika Jepang menyerbu Indonesia, ayahnya dijebloskan ke kamp interniran dan meninggal tahun 1945. Sementara Herman lolos dari penahanan dengan menjadi anggota Heiho setelah lulus dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Sragen.
Dia sempat ditawari masuk Corps Polisi Militer (CPM) usai peristiwa Madiun tahun 1948. Namun, dia hanya bertahan dua tahun lantaran sifatnya yang tempramental dan suka mengumpat. Kebiasaannya mengatakan “buset” di segala situasi membuat dia dianggap sebagai orang yang kelewat ekspresif hingga membuatnya dijuluki Werkudoro.
Pertemuannya dengan dunia akting baru dimulai secara kebetulan di tahun 1951. Ibarat film fiksi murahan, Herman hampir saja menonjok seorang pria asing yang memandangnya dengan penuh selidik usai menonton film di Bioskop Menteng. Siapa sangka, orang itu ternyata seorang karyawan film. Peristiwa itu lantas membawanya bermain dalam film Lenggang Jakarta (1953).
Tidak berselang lama, paras balsteran dan akting penuh semangat khas Herman masuk juga ke dalam radar pencarian bakat sutradara kenamaan Usmar Ismail. Pada 1953, Usmar menjodohkan Bambang dengan aktris sensasional Nurnaningsih dalam film Harimau Tjampa. Atas anjuran Usmar pula, Herman mengubah namanya menjadi Bambang Hermanto.
Sepanjang kariernya, Bambang Hermanto tercatat pernah bermain di lebih dari 50 judul film. Watak yang sering dimainkannya adalah tokoh pria gagah, tampan, tetapi temperamental. Kepiawaian Bambang menghidupkan peranan komandan kharismatik dan berperangai keras dalam film-film berlatar revolusi seperti Lewat Djam Malam (1954), Perdjuang (1960), dan Teror di Sulawesi Selatan (1964) melambungkan popularitasnya sebagai lambang pria jantan.
Barangkali berkat aura kejantanannya itu, dia berhasil menikah sebanyak tiga kali. Dia berjumpa dengan istri-istrinya tak lama setelah terjun ke dunia akting. Di usianya yang ke-47 tahun, Bambang sempat menikah lagi Dien Novita, aktris muda yang pernah menjadi lawan mainnya dalam Mawar Rimba (1972). Bambang dan ketiga istrinya hidup harmonis bersama 14 anak dan 12 cucu.
“Mas Bambang adalah laki-laki cakep waktu itu. Dia adalah Don Juan, banyak pacarnya,” ungkap Detty Nafsiah, istri pertama Bambang Hermanto yang dinikahinya tahun 1953, seperti dilansir Kompas (20/12/1991).
Aktor yang Jadi Mata-Mata
Bambang termasuk orang yang luwes di awal kariernya sebagai aktor. Dia mau memainkan peran apa saja dan tidak tebang pilih soal naskah. Sepanjang dasawarsa 1950-an, rata-rata Bambang bisa muncul dalam 7 sampai 8 judul film setiap tahun. Sikapnya itu berubah drastis setelah menjadi anak didik Usmar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Menurutnya, Usmar telah mengajarkannya untuk pilih-pilih soal peran.
“Pak Usmar almarhum yang mengajar saya. Dia bilang jangan memerankan peranan yang sembarangan. Itulah saya harus hati-hati dalam film-film saya yang mendatang. Ini merupakan tantangan,” kata Bambang seperti dikutip dari majalah Ekspres (20/9/1971).
Nasehat Usmar kepada Bambang benar belaka. Di tengah kondisi politik Indonesia yang sedang krisis, Bambang pernah ditahan dan hampir mati hanya gara-gara peran dalam film. Pada 1965, ia sempat meringkuk di penjara setelah dituduh berpartisipasi dalam kegiatan Lekra yang di masanya dikenal dekat dengan PKI.
Pada tahun 1961, Bambang sempat bermandi pujian dan publikasi berkat kemenangan film Pedjuang arahan Usmar Ismail di Festival Film Moskow. Dirinya dianugerahi penghargaan Aktor Terbaik dan menerima medali kemenangan yang dibawa Usmar jauh-jauh dari Moskow dalam sebuah upacara kebesaran di Lapangan Terbang Kemayoran.
Di saat yang sama, Bambang ternyata sudah berencana bermain dalam film produksi bersama Angkatan Udara dan perusahaan film asal Cekoslowakia. Dalam film berjudul Aksi Kalimantan ini Bambang memainkan peranan Letnan Bintah, prajurit AURI yang ditugaskan dalam operasi di Kalimantan.
Nama besar Bambang Hermanto yang terasosiasikan dengan industri perfilman Blok Timur ternyata mengundang perasaan gelisah intelijen Amerika di Indonesia. Bill Palmer, direktur serikat distribusi American Motion Picture Association Indonesia (AMPAI), lantas mendekati Bambang lewat iming-iming bermain film Hollywood.
“Bill menceritakan kepadanya bahwa dua buah film produksi perusahaan Amerika telah dihubunginya. Bambang direncanakan bermain dengan bintang-bintang kelas satu seperti Marilyn Monroe dan Yul Brynner,” tulis majalah Ekspres (20/9/1971).
Nyatanya tawaran Palmer tidak datang tanpa syarat. Orang yang bertanggung jawab atas tingginya kurva impor film Amerika di Indonesia sejak 1950-an itu meminta Bambang secara sepihak memutus kontrak produksi Aksi Kalimantan. Alasannya, Palmer menjamin pintu menuju Hollywood akan tertutup selamanya jika Bambang bermain dalam film produksi negara komunis.
Perkataan Palmer membuat hati Bambang panas. Dia dengan segera sadar bahwa kariernya sebagai aktor sedang dipermainkan. Sambil uring-uringan, Bambang mengucapkan selamat tinggal dan pergi meninggalkan kantor AMPAI bersama Hamidy T. Djamil yang bertindak sebagai pengantarnya.
Pertemuan dengan Palmer tampaknya berhasil merubah sikap Bambang. Harapannya mempertinggi derajat perfilman tanah air membuat dia lebih banyak bergaul dengan sutradara-sutradara sosialis seperti Bachtiar Siagian dan Kotot Sukardi. Bersama Bachtiar, dia menghasilkan film berjudul Violetta (1962) di mana lagi-lagi dia memainkan peranan komandan militer.
Akibat kedekatannnya dengan seniman-seniman kiri, Bambang pun ikut terseret ke dalam intrik politik yang banyak menimpa orang-orang film kala itu. Pers sensasional menyebarkan tuduhan bahwa kemenangan Bambang di Moskow semata-mata berkat kegiatan politiknya bersama Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Padahal Bambang hanya anggota biasa pada saat itu.
Memasuki pertengahan 1964, Bambang menyadari bahwa PAPFIAS sudah terjun semakin jauh ke dalam propaganda politik PKI. Panitia yang awalnya bertugas memastikan film Indonesia mendapat tempat layak di bioskop, mulai disetir oleh orang-orang komunis yang dengan lugas suka merinci kejahatan film Amerika dengan sebutan “propaganda perang, raja rasialis internasional, politik garong dan cabul.”
Bambang yang mulai bimbang kemudian memilih keluar dari PAPFIAS mengikuti bintang-bintang film lain yang beramai-ramai hengkang atas desakan Persatuan Artis Film Indonesia. Sebelum niatan itu terlaksana, ia dihubungi oleh seorang perwira intel KOSTRAD. Episode hidup Bambang pun tiba-tiba berubah menyerupai film-film James Bond.
Seperti dipaparkan Bambang dalam wawancaranya dengan majalah Ekspres (20/9/1971), dirinya dinasihati agar tetap berkegiatan dalam PAPFIAS. Dia diminta mengemban tugas khusus untuk memata-matai kegiatan Lekra-PKI yang dilaksanakan oleh penitia itu. Kendati menyanggupi, gerak-gerik Bambang akhirnya tercium juga sehingga dia sangat jarang diikutkan dalam kegiatan.
Bambang tidak menduga partisipasinya yang tidak seberapa itu membuat dirinya kena gerebek usai peristiwa 30 September 1965. Dia yang saat itu sedang pulang kampung ditangkap atas tuduhan terlibat pemberontakan. Dia sempat ditahan selama beberapa bulan sebelum akhirnya dibebaskan dan kembali ke Jakarta pada April 1966. Bambang dinyatakan “bersih”, namun butuh waktu lima tahun bagi dirinya agar bisa kembali ke perfilman.
Djembatan Emas (1971) menjadi film pertama Bambang Hermanto setelah sekian lama menghilang. Film yang ditulis dan dimainkan sendiri oleh Bambang ini awalnya hendak diberi judul Dua Djantan. Berkisah tentang dua bekas pejuang yang berusaha membangun kembali jembatan menuju desa terpencil, tetapi terbunuh dalam sebuah insiden. Barangkali Bambang sedang berusaha membicarakan dirinya sendiri dan masa depannya sebagai pria jantan yang terbunuh oleh zaman.
Editor: Irfan Teguh