Menuju konten utama

AWARE: Solusi Sistemik Atasi Perundungan pada Dokter Residen

Kita tidak butuh sistem yang mencetak dokter tangguh karena biasa disakiti, tapi dokter yang tangguh karena dididik dengan martabat. AWARE menawarkan itu. 

AWARE: Solusi Sistemik Atasi Perundungan pada Dokter Residen
Header Perspektif Putri Malahayati. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Perundungan adalah sebuah bentuk tindakan yang memiliki tujuan menyakiti atau merendahkan orang lain. Praktik ini dapat terjadi di berbagai macam lingkungan, tak terkecuali di ekosistem pendidikan kedokteran. Di lingkungan pendidikan kedokteran, perundungan lazim menimpa dokter residen yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

Laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, pada akhir Maret 2025 terdapat 2.621 laporan mengenai perundungan pada residen PPDS. Dokter residen sering kali menerima perundungan dari senior atau atasan mereka, baik dalam bentuk verbal maupun fisik dengan pemberian tugas-tugas di luar batas wajar.

Permasalahan ini tidak berlaku di Indonesia saja. Data Journal of Occupational Health menunjukkan, dari 44.566 dokter residen di dunia, sebagian besar (51%) mengalami perundungan.

Dunia kedokteran dikenal sebagai dunia yang menuntut pesertanya untuk memiliki semangat dan dedikasi tinggi, ketahanan mental, serta kemampuan fisik yang mumpuni. Dampak dari perundungan dapat mempengaruhi individu dalam berbagai aspek, terutama secara mental. Studi yang dilakukan Ayyala dkk (2019) di Journal of the American Medical Association (JAMA) menyebutkan, 57% korban perundungan mengalami burnout, 39% mengalami penurunan kinerja, dan 27% mengalami depresi.

Permasalahan perundungan terhadap dokter residen bukan sekadar masalah bagi individu yang menjadi korban, tetapi juga masalah bagi banyak orang karena dapat berdampak luas dan sistemik. Perundungan terhadap dokter residen tidak hanya berimplikasi pada individu korban, tetapi juga merupakan ancaman serius terhadap keselamatan pasien (patient safety).

Residen yang mengalami tekanan mental kronis dan ketakutan dalam lingkungan kerja berisiko terganggu fokusnya sehingga mempengaruhi proses belajar dan pengambilan keputusan klinis. Pada akhirnya, ini merugikan pasien dan menurunkan kualitas pelayanan rumah sakit secara keseluruhan.

Siklus Buruk Dianggap Tradisi

Perundungan pada dokter residen merupakan masalah yang sering kali terjadi di banyak institusi. Meski demikian, banyak yang menganggap praktik ini sebagai tradisi atau budaya senioritas yang “wajar”, sehingga acap kali dihiraukan.

Survei yang dilakukan oleh Canadian Association of Interns and Residents National Survey (2012) menyebutkan, perundungan lebih cenderung dilakukan apabila hal tersebut merupakan bagian dari sebuah budaya yang sudah diterima dalam lingkungan tersebut. Hal ini didukung oleh sebuah teori yang disebut sebagai Legacy of Abuse: korban perundungan memiliki kecenderungan menjadi pelaku perundungan di masa depan. Apabila perundungan dibiarkan, ia akan membentuk sebuah siklus yang terus berlanjut antargenerasi dokter.

Sadar akan masalah ini, Kemenkes mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes pada 25 Oktober 2024. Surat berisi imbauan untuk mencegah perundungan di lingkungan PPDS ini menyatakan, grup percakapan di sosial media perlu terdaftar resmi agar dapat dipantau lebih lanjut. Alih-alih diapresiasi, solusi tersebut dinilai tidak efektif karena dianggap dapat mengganggu privasi dan ranah pribadi PPDS.

Keberatan akan Surat Edaran tersebut tampak pada pernyataan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek). Pemantauan secara langsung dari pihak eksternal maupun pemerintahan dianggap sebagai solusi yang tidak bisa diaplikasikan.

Mengubah Budaya, Mencabut Akar Masalah

Saat ini, peraturan yang digunakan untuk melindungi korban perundungan masih menghadapi banyak kendala. Meskipun secara normatif aturan mengenai sanksi terhadap pelaku perundungan sudah ada, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang (UU) No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, implementasinya di lapangan masih sangat lemah.

Contohnya, kasus perundungan residen anestesi di Universitas Diponegoro. Penegakan hukum tidak efektif terutama dalam memberikan efek jera, dan keluarga korban tidak merasa mendapatkan keadilan melalui sanksi yang diberikan pada pelaku. Analisis Kumparan (2024) menyimpulkan, norma sosial dan budaya senioritas lebih dominan dibandingkan dengan normal hukum, sehingga undang-undang saja tidak cukup menyelesaikan permasalahan perundungan ini.

Fakta tersebut membuktikan, untuk menyelesaikan permasalahan perundungan pada dokter residen perlu solusi yang dapat mengubah budaya dan sistem yang lebih aplikatif dalam menyelesaikan akar permasalahan. Salah satu solusi yang terbukti potensial adalah penerapan kaderisasi berbasis model AWARE (Altering Workplace Attitudes for Resident Education).

Konsep ini dijelaskan oleh Leisy dan Ahmad (2016) pada BMC Medical Education sebagai sistem yang menekankan pentingnya edukasi, pelatihan soft skills, pembentukan komite anti-perundungan, dan pengaturan umpan balik yang sehat. Melalui kaderisasi yang terstruktur, diharapkan tercipta perubahan budaya di lingkungan pendidikan kedokteran sehingga praktik perundungan dapat dicegah dan diatasi secara berkelanjutan.

Untuk memastikan efektivitas jangka panjang program ini, perlu sistem umpan balik yang terstruktur, pelaporan berkala dari peserta kaderisasi, serta evaluasi berkala terhadap dampak implementasi di berbagai institusi. Selain itu, pelibatan aktif dari praktisi senior sebagai agen perubahan budaya akan menjadi kunci penting dalam meruntuhkan siklus perundungan yang telah mengakar.

AWARE merupakan pendekatan dengan prinsip edukasi dan perubahan budaya, bukan sekadar penerapan aturan formal. Fokus pengaplikasian AWARE ada pada edukasi terhadap dokter residen dan staf medis mengenai perundungan, cara mengenali perundungan, pelaporan perundungan, bagaimana membangun lingkungan kerja yang lebih suportif dan kolaboratif, serta membentuk jiwa kepemimpinan individual.

Tiga Tahapan Kaderisasi AWARE

Ada tiga tahapan kaderisasi agar AWARE optimal.

Pertama, pelatihan. Dalam pelatihan ini peserta diberikan informasi mengenai definisi serta jenis-jenis perundungan, kemudian penegasan tentang pentingnya kesadaran mengenai perundungan yang terjadi di sekitar.

Kedua, pelatihan soft skills. Materi dalam pelatihan ini mencakup kecerdasan emosional, komunikasi efektif, kepemimpinan, manajemen konflik, serta pengelolaan stres. Kegiatan ini perlu dukungan dari instansi pendidikan kedokteran serta organisasi asosiasi terkait, seperti Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) maupun IDI untuk menerapkan pendidikan ini sebagai kurikulum serta turun langsung dalam menentukan materi dan prosedur pelaksanaan.

Pelatihan soft skills ini diharapkan dapat meningkatkan jiwa kepemimpinan, sehingga siklus perundungan di dunia kedokteran bisa lekas diputus.

Terakhir, pengaturan umpan balik yang sehat dan transparan. Demi menghilangkan budaya hierarki yang kaku dan mengintimidasi, perlu dilakukan evaluasi berkala. Setiap kali tahapan kaderisasi AWARE selesai dilalui, residen PPDS mengumpulkan laporan dan tanggapan mereka.

Agar seluruh rangkaian berjalan lancar, perlu adanya komite khusus serta tim pengawas yang bertugas mengawasi dan menangani laporan perundungan. Rangkaian evaluasi ini dilakukan oleh penanggung jawab yang ditunjuk pihak komite. Pihak penanggung jawab berkewajiban menyampaikan laporan kepada komite dengan komitmen menjaga baik kerahasiaannya.

Jika terbukti ada perundungan, Informed consent sebelum pelaporan dan informasi mengenai perkembangan penanggulangan mesti dilakukan secara berkala agar korban paham bahwa kasusnya sedang diproses.

Komite yang terpilih dan penanggung jawab kaderisasi harus menandatangani surat perjanjian penjagaan integritas dan selalu menjunjung tinggi keadilan untuk korban. Sebelum pelaksanaan AWARE, calon komite maupun penanggungjawab harus sudah menyelesaikan kegiatan pelatihan juga.

Implementasi alur kaderisasi serta alur pelaporan ini telah dilakukan di salah satu program pendidikan kedokteran di Amerika Serikat, sebagaimana yang dijabarkan oleh Fleit dkk (2017) pada jurnal BMC Medical Education. Data di jurnal tersebut membuktikan, penerapan sistem ini mampu meningkatkan kesadaran mengenai perundungan dari 67% hingga ke 100%, serta penurunan sebesar 12% dalam kasus perundungan.

Alur pelaporan AWARE juga sudah sejalan dan dapat dikolaborasikan dengan sistem pelaporan perundungan yang telah disediakan Kementerian Kesehatan pada Instruksi Menteri Kesehatan tahun 2023, sehingga dapat memperluas jangkauan implementasi secara nasional sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara luas.

Katalisator Perubahan

Putri Malahayati

Finalis Putri Malahayati saat melakukan presentasi di Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025. foto/dok.Bakti Djarum Foundation

Pengalaman saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya menunjukkan, kaderisasi berjenjang yang jelas dan didukung pengawas serta pembina yang berintegritas dapat menciptakan lingkungan yang bebas senioritas dan perundungan. Kegiatan kaderisasi seperti Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM) yang diadakan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) memperkuat kebersamaan dan kepedulian antarmahasiswa. Dengan sistem kaderisasi yang sehat, solidaritas dan komunikasi terbuka dapat terwujud, sehingga perundungan dapat dicegah sejak dini.

AWARE diharapkan dapat membentuk program yang mampu menjadi solusi aplikatif, katalisator perubahan sikap, serta menjadi tradisi untuk mencegah dan menangani perundungan melalui edukasi, pelatihan, pengawasan, dan penerapan kebijakan tanpa toleransi terhadap perundungan.

Sudah saatnya dunia pendidikan kedokteran Indonesia bertransformasi, tidak hanya mengandalkan aturan hukum, tetapi juga membangun sistem kaderisasi yang berorientasi pada pembinaan, solidaritas, dan profesionalisme.

Dengan komitmen bersama, penerapan kaderisasi berbasis AWARE dapat menjadi katalisator perubahan budaya di dunia kedokteran Indonesia untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, suportif, dan bermartabat, demi melahirkan dokter-dokter masa depan yang unggul secara ilmu, sehat mental, dan berintegritas.

Kita tidak butuh sistem yang mencetak dokter tangguh karena terbiasa disakiti, tapi dokter yang tangguh karena dididik dengan martabat. Maka, sekarang sudah saatnya berhenti diam. AWARE bukan hanya model program belaka, tetapi sebuah panggilan nurani untuk masa depan dunia kesehatan yang lebih berarti.

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter Universitas Sriwijaya, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025.

Baca juga artikel terkait BESWAN DJARUM atau tulisan lainnya dari Putri Malahayati

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Putri Malahayati
Editor: Zulkifli Songyanan