tirto.id - Australia dalam waktu dekat akan membatasi penjualan rokok elektrik atau vape, dimana nantinya hanya akan diizinkan dijual terbatas melalui apotek. Merujuk CNN, Negeri Kanguru mengambil keputusan tersebut karena banyak remaja yang terjebak dalam lingkaran adiktif konsumsi rokok elektrik.
Perdana Menteri Australia, Mark Butler, menyampaikan bahwa aktivitas vaping merupakan bentuk terapi yang baik bagi perokok jika digunakan dengan benar. Meskipun begitu, aktivitas yang sama juga telah menjadi masalah perilaku teratas di SMA dan bahkan mulai menjadi masalah serius di tingkat SD.
“Itu (vaping) tidak dijual sebagai produk rekreasi - khususnya bukan untuk anak-anak kita. Tapi itulah yang terjadi – momok terbesar dalam sejarah Australia,” ujar Butler.
Tak hanya melarang peredaran, Australia juga melarang impor segala produk yang berkaitan dengan vape, termasuk produk yang tidak mengandung nikotin sekalipun. Bahkan untuk standarnya yang meliputi warna, rasa, dan komposisi lain juga akan diatur secara lebih ketat.
Lebih jauh lagi, seluruh produk vape sekali pakai akan dilarang sepenuhnya. Australia sudah mengambil langkah besar dalam melakukan pelarangan ini. Apakah Indonesia akan mengambil langkah yang sama dalam waktu dekat?
Rokok dan Masyarakat Indonesia
Rasanya hubungan antara rokok dan sejenisnya dengan masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan pada periode 2015 – 2021 setidaknya sepertiga penduduk yang berusia 15 tahun ke atas adalah perokok.
Pemerintah berupaya menekan perokok dengan mengurangi konsumsi melalui kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) rokok sebanyak 23% pada tahun 2020 dan kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% untuk mengurangi konsumsi rokok.
Sebagai komparasi, nilai konsumsi rokok pada tahun 2013 rata-rata perokok menghabiskan sekitar Rp43.930 per bulan. Selang delapan tahun, tepatnya tahun 2022, para perokok sudah menghabiskan sekitar Rp82.183 per bulan.
Meskipun harga rokok sudah melonjak hampir dua kali lipat dalam jangka waktu kurang dari satu dekade dan bisa dikatakan jumlah perokok di Indonesia masih tergolong besar.
Interaksi sosial di masyarakat Indonesia ternyata memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kemunculan kebiasaan dalam merokok di berbagai kalangan. Budaya ngobrol saat makan siang, bahkan “nongkrong” selepas pulang sekolah maupun kerja memiliki pengaruh terhadap kontribusi munculnya populasi perokok baru di Indonesia.
Dari 723 responden survei lebih dari 50% menyampaikan alasan mulai merokok karena ingin mencoba hal baru dan mengikuti rekan sejawatnya yang juga merokok. Uniknya banyak juga yang mencoba setelah mengikuti kegiatan yang disponsori oleh perusahaan rokok.
Kontribusi Rokok Terhadap Ekonomi Indonesia
Berdasarkan analisa Statista pangsa pasar industri tembakau global mencapai USD941,1 miliar atau setara Rp13.928 triliun di tahun 2023 (asumsi kurs Rp14.800/USD). Industri ini juga diprediksi mencatatkan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 2,5% hingga tahun 2027.
Mayoritas pendapatan dari industri tembakau berasal dari segmen rokok yang memiliki pangsa pasar USD834,7 miliar atau Rp12.354 triliun. Sebuah angka yang jauh lebih besar dibandingkan PDB Malaysia dan Singapura, negara sejawat Indonesia. Kemudian, bagaimana kontribusinya di Indonesia?
Jika kita melihat trennya saja, orang Indonesia yang mengonsumsi rokok sudah mencapai taraf 29% dari jumlah penduduk, maka sejatinya tidak dapat dipungkiri bahwa industri rokok sangat berkontribusi terhadap perekonomian Ibu Pertiwi.
Secara umum, kontribusi produk tembakau, yang umumnya adalah rokok, terus mengalami tren yang sangat positif dengan menyumbang ribuan triliun rupiah selama lebih dari delapan tahun.
Jika diakumulasikan dari tahun 2014 hingga tahun lalu, total PDB dari sektor pengolahan tembakau berdasarkan Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) ada di kisaran Rp1.123 triliun. Pendapatan paling besar diraih pada tahun 2019 sebesar Rp140,97 triliun sebelum adanya pemberlakuan kenaikan CHT dan HJE yang cukup besar pada tahun 2020.
Kenaikan CHT dan HJE rokok ini terus berlanjut dari tahun ke tahun dengan persentase yang secara gradual menurun. Tentunya ada pertimbangan, mengingat jika CHT dan HJE terus ditingkatkan secara masif, maka berpotensi mengancam para pekerja industri rokok.
Dilansir dari Bea Cukai pada tahun 2021 dan 2022, CHT naik sebanyak 12,5%. Untuk mengatasi kekhawatiran keberlangsungan kerja para petani tembakau, pemerintah telah membuat kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang berfungsi untuk subsidi harga, peningkatan kualitas bahan baku, sampai kepada sarana-prasarana produksi.
Adaptasi Gaya Hidup ke Konsumsi Rokok Elektrik
Selain dari pada konsumsi rokok tembakau, masyarakat Indonesia mulai menemukan alternatif baru yang bisa menjadi pendamping rokok tembakau dan mungkin suatu saat bisa menjadi pengganti, yaitu rokok elektrik atau vape.
Saat ini sudah banyak merek baru bermunculan untuk berkompetisi di pasar rokok elektrik. Tak luput juga para produsen rokok tembakau besar pun berupaya mengikuti tren pasar yang menggeliat.
Di Indonesia, pasar rokok elektrik semakin meningkat setiap tahunnya. Dilansir dari Kementerian Perindustrian RI (Kemenprin), diperkirakan rokok elektrik sudah mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 2010. Dari pernyataan tersebut, itu berarti sudah lebih dari satu dekade peredaran rokok elektrik di Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) menyampaikan bahwa merujuk hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey/GATS) Tahun 2021, menunjukkan bahwa saat ini sekitar 3% atau 6,2 juta penduduk Indonesia mengonsumsi rokok elektrik, terlepas dari itu berdampingan dengan rokok tembakau ataupun tidak.
Angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2011 yang hanya sekitar 0,3%. Banyak yang menganggap rokok elektrik ini sebagai alternatif dari mengonsumsi rokok tembakau.
Statista melakukan semacam forecasting terhadap tren pendapatan dari industri rokok elektrik yang menunjukkan gambaran betapa besarnya potensi dari rokok elektrik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pendapatan dari industri rokok elektrik diperkirakan akan menembus USD411,5 juta di tahun 2023 atau setara Rp6,09 triliun, dimana pangsa pasarnya diperkirakan akan mencatatkan rerata pertumbuhan tahunan 2,74%.
Perlu diketahui perkiraan ini dapat berubah tergantung dengan perkembangan iklim bisnis, regulasi, serta gaya hidup dari masyarakat di kemudian hari.
Gelagat Pemerintah Menanggapi Peredaran Rokok Elektrik
Lain halnya dengan Australia yang melakukan pembatasan terhadap peredaran rokok elektrik dan juga pelarangan terhadap rokok elektrik sekali pakai, di Indonesia tidaklah demikian.
Pemerintah sepertinya belum dapat memutuskan untuk membuat kebijakan setara dengan Australia. Tak dapat dipungkiri bahwasanya industri rokok, baik itu rokok konvensional ataupun rokok elektrik memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan negara.
Oleh karena itu, pertimbangan rumusan kebijakan yang tepat memang harus dipikirkan secara matang dan mempertimbangkan semua pihak yang terlibat.
Kemenkes sudah sejak lama menyerukan bahaya rokok elektrik ini bagi kesehatan dan tidak menganjurkan untuk dikonsumsi. Kementerian Keuangan melalui Direktorat jenderal Bea dan Cukai pun juga sudah menetapkan adanya kenaikan CHTdan HJE dengan tujuan menekan konsumsi.
Selain itu, Kemenprin juga turut berkontribusi dengan membuat sebuah Standar Nasional Indonesia agar kualitas produk sesuai dengan kondisi nasional. Tak lama, Wakil Presiden Ma’ruf Amiin juga sempat menyerukan bahwa rokok elektrik akan dilarang apabila terbukti berbahaya dan melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Melihat gelagatnya, pemerintah sebetulnya sedang melakukan pendekatan yang gradual untuk bermuara kepada keputusan pengambilan kebijakan seperti Australia. Namun sepertinya akan membutuhkan waktu yang lama.
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas