tirto.id - Kementerian Perhubungan resmi menerbitkan aturan ojek online (ojol) yang mengatur soal keselamatan, kemitraan, suspensi mitra driver, dan biaya jasa atau tarif ojek daring. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 yang diteken pada 11 Maret lalu.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan, saat ini lembaganya tinggal melakukan sosialisasi kepada masyarakat. “Akhir Maret dan awal April, kami ke daerah untuk menyampaikan sosialisasi,” kata dia dalam konferensi pers, di Kemenhub, Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Sementara aturan soal besaran biaya atau tarif ojek online dan pembagian zonasi akan didetailkan dalam Surat Keputusan (SK) Menteri yang akan dirampungkan dalam pekan ini.
Namun, Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas menilai, PM 12/2019 itu bukan berarti melegalkan sepeda motor sebagai angkutan umum. Sebab, berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 yang mengatur lalu lintas, motor tidak termasuk dalam kategori tersebut.
“PM itu mengatur 4 hal, soal tarif, keselamatan, suspensi dan kemitraan. Memang dibatasi soal itu. Kementerian Perhubungan tidak ingin membuat regulasi yang bertentangan dengan undang-undang. Jadi di PM itu enggak ada istilah motor jadi angkutan umum,” kata Darmaningtyas saat dihubungi reporter Tirto, Selasa kemarin.
Menurut Darmaningtyas, meski aturan baru itu tak melegalkan sepeda motor sebagai angkutan umum, tapi ia menilai terbitnya PM 12/2019 itu tetap diperlukan dan bisa dikatakan sudah sangat mendesak mengingat penggunaan sepeda motor di industri ojek online sudah sangat masif.
Sebab, kata Darmaningtyas, jika tak segera diatur, akan muncul beragam risiko dari mulai keselamatan hingga masalah sosial berkenaan hubungan ketenagakerjaan di industri ojek online ini.
“Secara de facto, kan, itu dipakai banyak orang. Tapi perlindungan keselamatannya, kan, enggak ada. Makanya yang diatur di PM itu soal keselamatan kemudian tarif suspend dan kemitraan saja,” kata Darmaningtyas.
Karena itu, kata dia, PM 12/2019 tidak mengatur soal legalitas sepeda motor sebagai angkutan umum. Sebab, selain berpotensi bertentangan dengan UU 22/2009, hal ini juga berpotensi akan menabrak kebijakan Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK).
Sejak dirilis pada 2011, misalnya, RUNK mendorong pemerintah untuk mengurangi angka kecelakaan fatal sampai 50 persen hingga 2020.
Sementara itu, Direktur Angkutan dan Multi Moda Kemenhub, Ahmad Yani mengatakan Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tidak hanya mengatur ojek online, melainkan juga ojek pangkalan. Lagi-lagi faktor keselamatan menjadi faktor yang menjadi titik beratnya.
“PM 12 [Permenhub] ini tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat mulai dari ketentuan umum, jenis dan kriteria kendaraannya,” kata Yani.
Menurut Yani, Kementerian Perhubungan berharap terbitnya aturan itu dapat mengakomodir sejumlah permasalahan di lapangan yang berkenaan dengan keberadaan ojek online.
Sebab, dalam PM 12/2019 ini, beberapa aturan ditulis secara rinci termasuk soal "ngetem" di pinggir jalan. Kebiasaan ini sudah jadi perhatian pemerintah karena di beberapa titik kerap kali ojek online membuat jalanan macet.
Dalam PM Nomor 12 tahun 2019 Pasal 8 misalnya tertulis, pengemudi harus berhenti, parkir, menaikkan dan menurunkan penumpang di tempat yang aman dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Aturan lebih rinci terkait ojek online ini pun terus dikebut oleh pemerintah. Salah satunya adalah aturan soal batas atas dan bawah tarif ojek online.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi mengatakan aturan turunan yang membahas tarif akan dirampungkan dalam pekan ini.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz