tirto.id - Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) penyandang disabilitas mental berinisial DH menggugat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Pertimbangan ASN ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.
Gugatan dilayangkan pada pada 15 November 2021 oleh DH. Gugatan tersebut karena Kemenkeu memecat DH saat kondisinya tengah sakit skizofrenia paranoid.
Pada Rabu, 6 April 2022, sidang berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan Penggugat untuk mengonfirmasi gejala-gejala disabilitas mental yang dialami DH.
"DH yang telah bekerja lebih dari 10 tahun di Kemenkeu diberhentikan pada 2020 dianggap mangkir dari pekerjaannya, padahal hal itu diakibatkan dirinya mengidap skizofrenia paranoid yang saat itu tidak tertangani," kata kuasa hukum DH cum anggota LBH Jakarta, Charlie melalui keterangan tertulis, Kamis (7/4/2022).
Selain LBH Jakarta, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) juga ikut mendampingi DH dalam gugatan terhadap Kemenkeu dan BPASN.
Pada persidangan lanjutan pemeriksaan saksi ini, penggugat menghadirkan saksi-saksi fakta yang mengonfirmasi kondisi gangguan kesehatan yang dialami DH saat dianggap mangkir dan saat ia tidak dapat mengajukan upaya banding tepat waktu.
Terdapat dua saksi fakta, tiga ahli dan puluhan bukti surat yang akan dihadirkan Penggugat untuk membuktikan dalilnya. Dalam pemeriksaan ini, para tergugat menyatakan tidak akan menghadirkan saksi maupun ahli.
Charlie menjelaskan DH baru mendapatkan penanganan dan perawatan psikologis pada pertengahan 2021. Setelah kondisinya dinyatakan membaik, dirinya langsung mengajukan permohonan untuk dapat kembali bekerja dengan menjelaskan kondisinya disertai hasil diagnosis skizofrenia yang diidapnya.
Sayangnya, permohonan tersebut ditolak dan DH disarankan menempuh proses banding administratif melalui BPASN.
"Tidak hanya itu, DH juga diminta mengganti kerugian negara ratusan juta rupiah karena dianggap melanggar ikatan dinas dengan pemberhentian tersebut," tuturnya.
Pada September 2021, DH mengajukan banding administratif kepada BPASN. Namun sayangnya, sebulan kemudian BPASN menyatakan menolak permohonan tersebut karena dianggap telah lewat waktu (kadaluarsa) dan DH dianggap harus menerima putusan tersebut.
Dengan penolakan oleh BPASN tersebut, berdasarkan ketentuan PP Nomor 79 Tahun 2021, upaya yang dapat dilakukan adalah mengajukan gugatan melalui PTTUN.
Terkait permasalahan ini, Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat, Ratna Dewi berpandangan bahwa DH seharusnya dapat dipulihkan haknya sebagai ASN dan terbebaskan dari tuntutan ganti rugi.
Ratna mengatakan bila keputusan pemberhentian ini dipertahankan, maka akan menjadi preseden buruk dan ancaman bagi disabilitas mental lainnya. Mereka rentan mendapatkan sanksi serupa di tengah minimnya akomodasi yang layak di lingkungan pekerjaan, khususnya bagi ASN.
"Kemenkeu sebagai instansi pemerintahan seharusnya dapat mencontohkan perlindungan terhadap disabilitas di lingkungan kerjanya, bukan justru memberikan contoh buruk bagi upaya perlindungan hak disabilitas," kata Ratna.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan